Liputan6.com, Jakarta - Gerak Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat signifikan selama sepekan. Hal itu ditopang mulainya laporan keuangan emiten dan nilai tukar rupiah stabil terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Mengutip laporan PT Ashmore Assets Management Indonesia, seperti ditulis Sabtu (20/10/2018), IHSG naik 1,45 persen ke posisi 5.837 pada Jumat 19 Oktober 2018 dari periode Jumat 12 Oktober 2018 di posisi 5.756.
Penguatan IHSG itu didorong saham-saham masuk indeks LQ45 naik 1,51 persen dan saham kapitalisasi kecil mendaki 0,46 persen. Selain itu, rilis data neraca perdagangan September surplus sekitar USD 230 juta. Investor asing beli saham USD 79,7 juta atau sekitar Rp 1,21 triliun (asumsi kurs Rp 15.186 per dolar Amerika Serikat) selama sepekan.
Baca Juga
Advertisement
Sementara itu, indeks obligasi hanya naik 0,4 persen selama sepekan. Imbal hasil obligasi pemerintah bertenor 10 tahun berada di posisi 8,55 persen. Nilai tukar rupiah menguat ke posisi 15.187 per dolar AS. Investor asing jual obligasi USD 118,8 juta hingga perdagangann Kamis.
Sejumlah sentimen pengaruhi pasar keuangan termasuk IHSG. Dari eksternal, bursa saham global menguat seiring dimulai laporan keuangan perusahaan di Amerika Serikat (AS). Investor global pun berani ambil risiko ke investasi saham usai terjadi aksi jual pada pekan lalu.
Sejumlah lembaga keuangan AS antara lain JP Morgan Chase and Co, Morgan Stanley dan Bank of America Corp mencatatkan kenaikan laba bersih.
Sentimen lainnya dari hasil notulensi rapat bank sentral AS atau rapat the Federal Reserve (the Fed) yang cenderung agresif.
Pejabat the Fed masih melihat seberapa besar kenaikan suku bunga. Hal ini mengingat mayoritas pejabat the Fed menyukai kenaikan bertahap sehingga kenaikannya berada di posisi yang netral bagi ekonomi dalam jangka panjang.
Di sisi lain Presiden AS Donald Trump menyatakan tak suka langkah bank sentral AS menaikkan suku bunga.Dari Eropa, Komisi Eropa mengatakan, rencana anggaran Italia berlebihan. Komisi Eropa pun meminta penjelasan terkait anggaran Italia.
Selanjutnya
Di Asia, bursa saham China mencatatkan penurunan tajam. Mata uang China yuan alami pelemahan terdalam dalam dua tahun. Hal ini menguji kemampuan pemerintah untuk meredam kekhawatiran investor.
Pemerintah China baru rilis pertumbuhan ekonomi pada kuartal III 2018. Ekonomi China tumbuh 6,5 persen pada kuartal III 2018, dan melambat dari yang diperkirakan sekitar 6,6 persen.
Dari sentimen internal, rilis data ekonomi pengaruhi laju IHSG. Indonesia mencatatkan surplus neraca perdagangan pada September. Tercatat surplus neraca dagang USD 230 juta pada September dibandingkan perkiraan defisit USD 500 juta. Ekspor dan impor cenderung melambat.
Sentimen lainnya yaitu pemerintah menetapkan kenaikan upah minimu provinsi (UMP) 2019 sebesar 8,03 persen. Angka tersebut berdasarkan tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional yang dilaporkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS).
Kemudian hingga akhir September 2018, penerimaan pajak tumbuh 16,5 persen dan belanja pemerintah naik 16,1 persen. Defisit anggaran tercatat Rp 200,2 triliun atau 1,35 persen dari produk domestik bruto (PDB) per 30 September 2018 dibandingkan periode sama tahun lalu defisit Rp 272 triliun.
Pemerintah perkirakan defisit anggaran sekitar 1,83 persen-2,04 persen terhadap PDB pada akhir 2018 atau lebih rendah dari target sekitar 2,19 persen.
Lalu hal apa yang dicermati ke depan?
Salah satu yang dicermati Ashmore terkait dampak suku bunga. Tingkat bunga acuan makin tinggi, Ashmore melihat dampaknya relatif tidak terlalu signifikan terhadap pasar obligasi.
Namun, ada sejumlah faktor yang masih mempengaruhi investasi. Hal itu antara lain suku bunga dan siklus inflasi belum mencapai puncak, pergerakan rupiah masih berfluktuasi, ketidakpastian dari perang dagang dan suku bunga bank sentral AS. "Di tengah ketidakpastian, diversifikasi jauh lebih tepat dibandingkan menaruh investasi dalam satu keranjang,” tulis Ashmore.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Advertisement