Liputan6.com, Jakarta - Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira, menilai nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD) yang terus melemah hingga saat ini menjadi salah satu catatan buruk dalam kepemimpinan Presiden RI Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (Jokowi-JK) selama empat tahun ini.
Dia mengatakan, untuk mengevaluasi capaian pemerintah di bidang ekonomi dasarnya adalah Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019.
Dalam RPJMN itu, ia menyebutkan, hampir sebagian besar target ekonomi tidak tercapai, salah satunya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
Baca Juga
Advertisement
"Minus sekali, karena targetnya Rp 12 ribu (per USD tahun 2019). overall 0-10 nilainya 5.5," ujar dia saat diajak berbincang dengan Liputan6.com, Sabtu (20/10/2018).
Berdasarkan referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) atau kurs tengah BI, pada 20 Oktober 2014 berada di posisi 12.041 per dolar AS atau menguat dari posisi 17 Oktober 2014 di kisaran 12.222.
Rupiah pun melemah 12,39 persen sepanjang tahun berjalan 2018. Rupiah sempat di posisi 13.542 per dolar AS pada 2 Januari 2018 ke posisi 15.221 per dolar AS pada 19 Oktober 2018. Rupiah sempat berada di level terendah di posisi 15.253 per dolar AS pada 11 Oktober 2018.
Penyebab Rupiah Melemah
Bhima menyebutkan, ada peran faktor eksternal yang membuat nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar AS, antara lain perang dagang, kenaikan suku bunga The Fed, dan instabilitas geopolitik.
"Tapi secara fundamental memang ada hal yang harus jadi evaluasi. Defisit transaksi berjalannya berada di 3 persen pada kuartal II 2018, sehingga makin bergantung pada pembiayaan portfolio asing untuk mencukupi kebutuhan valas,” ujar dia.
Di sisi lain, ia menambahkan, dana asing yang keluar dari bursa saham sejak awal 2018 mencapai Rp 56 triliun. "Kondisi perfect storm atau tekanan hebat ini bukan tidak mungkin makin menggerus cadangan devisa ke depannya," sambungnya.
Faktor minus lainnya, dia menyatakan, realisasi pertumbuhan ekonomi dalam 4 tahun ini hanya berada di kisaran 5 persen. "Pemerintah pada awalnya terlalu overshoot dengan mengesampingkan fakta bahwa ekonomi Indonesia sangat bergantung pada harga komoditas," kata dia.
"Baru di ujung 2017 harga minyak kembali naik. Sayangnya kali ini tidak diikuti oleh harga-harga komoditas unggulan misalnya sawit dan karet," dia menambahkan.
Apresiasi Pencapaian Jokowi-JK dalam 4 Tahun Ini
Namun begitu, Bhima juga tak lupa mengapresiasi pencapaian Jokowi-JK yang mampu mengendalikan inflasi yang turut disumbang oleh turunnya harga minyak pada 3 tahun awal masa kepemimpinannya.
"Adanya satgas pangan, pembangunan infrastruktur berkorelasi dengan terjaganya harga kebutuhan pokok, khususnya harga pangan yang mengalami deflasi dalam 2 bulan terakhir yakni Agustus dan September. Target RPJMN inflasi ada di 3,5 persen, cukup realistis," sebut dia.
Selain itu, dia pun turut memuji langkah pemerintah yang berhasil mengakuisisi 51 persen saham Freeport. Meski begitu, Bhima mengimbau pemerintah agar memperbesar nilai divestasi saham Freeport pada tahun depan.
"Tapi kendala dari sisi pembiayaan, beberapa bank masih keberatan terkait kasus lingkungan yang dialami Freeport, termasuk kerugian Negara hasil penyelidikan BPK. Jadi untuk tahun 2019 divestasi 51 persen belum final," ujar dia.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Advertisement