Goldman Sachs: Harga Minyak Tak Bakal Sentuh USD 100 per Barel

Proyeksi harga minyak tembus USD 100 per barel diragukan Goldman Sachs. Kenapa?

oleh Tommy K. Rony diperbarui 21 Okt 2018, 13:11 WIB
Ilustrasi Tambang Minyak (iStock)

Liputan6.com, New York - Firma keuangan Goldman Sachs tidak percaya harga minyak bisa menyentuh USD 100 per barel. Pandangan Goldman Sachs ini melawan kekhawatiran sejumlah analis yang meyakini harga minyak bakal terus melambung tinggi.

"Kami tidak mengatakan harga USD 100 tidak bisa terjadi. (Tetapi) itu bukan skenario dasar kami, kami pun tidak berpikir skenario itu sangat mungkin terjadi," ucap Kepala Komoditas Goldman Sachs Jeffrey Currie seperti dikutip oilprice.com.

Currie berargumen, ekspor Iran tidak akan jatuh ke nilai nol dan berkurangnya ekspor negara itu tidak akan jatuh seburuk sebelumnya, serta produksinya pun bertambah. Sementara, Arab Saudi telah melaporkan menaikkan produksi lebih cepat dari yang diperkirakan.

Upaya Saudi memperkuat harapan akan ada cukup suplai minyak meski sanksi AS terhadap Iran mulai memberikan efeknya. "Dalam empat bulan terakhir, kami melihat 20 persen kenaikkan pengeboran minyak Arab Saudi," ujar Currie.

Dia melanjutkan, pengeboran minyak di Arab Saudi telah naik 20 persen walaupun kehilangan ekspor minyak Iran sebanyak 700 ribu barel per hari. Dengan itu, persediaan minyak di pasar masih banyak.

Produksi minyak dari anggota OPEC juga sedang bertumbuh, dan di Libya pun produksi minyak sudah makin stabil. Faktor-faktor tersebut menambah kemungkinan harga minya yang cenderung bearish.

Currie menambahkan, skenario yang paling mungkin adalah harga minyak berada di kisaran USD 80 per barel pada kuarter IV. Estimasi itu sama seperti periode yang sama di tahun sebelumnya ketika departemen komoditas Goldman Sachs memprediksi harga minyak Brent akan sekitar USD 60 sampai USD 80.


Harga Minyak Merosot Imbas Persediaan AS Melonjak

Presiden AS, Donald Trump meninjau prototipe tembok perbatasan AS dan Meksiko yang kontroversial di San Diego, Selasa (13/3). Prototipe tembok perbatasan Trump memiliki tinggi sekitar 9 meter, dengan puncak yang tebal dan bundar. (MANDEL NGAN / AFP)

Harga minyak melemah dengan harga minyak Amerika Serikat (AS) di bawah USD 70 per barel untuk pertama kali dalam satu bulan.

Hal itu dipicu pasokan minyak AS naik 6,5 juta barel. Angka itu tiga kali lebih besar dari perkiraan analis. Selain pasokan, ekspor juga tertekan.

Harga minyak cenderung naik pada pekan ini didorong kekhawatiran sanksi Iran dan ketegangan meningkat antara AS dan Arab Saudi. Hal ini usai kematian jurnalis Arab Saudi Jamal Khashoggi. Sentimen kenaikan pasokan dorong harga minyak AS melemah USD 2,17 atau tiga persen ke posisi USD 69,75 per barel.

"Penurunan harga hari ini di bawah level support yang diharapkan pada level USD 70. Ini akan tampak untuk harga yang lebih lemah dari yang diperkirakan," ujar Jim Ritterbusch, Presiden Direktur Ritterbusch and Associates, seperti dikutip dari laman Reuters, Kamis, 18 Oktober 2018.

Direktur Mizuho, Bob Yawger, menuturkan sejumlah spekulan mungkin tertarik untuk keluar ketika harga di bawah USD 70 yang dapat tonjolkan aksi jual. Volume berada di atas rata-rata dengan lebih dari 627 ribu kontrak minyak mentah berpindah tangan, dibandingkan dengan rata-rata harian 10 bulan sekitar 583 ribu kontrak.

Selain itu, harga minyak mentah Brent turun di bawah USD 80 per barel. Akan tetapi, pada penutupan, harga minyak berada di posisi USD 80,05.

Harga minyak Brent melemah USD 1,36 atau 1,7 persen. Sebelumnya harga minyak tertinggi dalam empat tahun di posisi USD 86,74 pada 3 Oktober.

Adapun stok minyak mentah AS naik 6,5 juta barel pada pekan lalu. Kenaikan stok minyak mentah itu terjadi dalam empat minggu berturut-turut. Ini seiring ekspor turun menjadi 1,8 juta barel per hari. Hal tersebut berdasarkan the USD Energy Information Administration.

Persediaan naik tajam ketika produksi minyak mentah AS turun 300 ribu barel per hari menjadi 10,9 juta barel per hari pada pekan lalu. Ini seiring dampak dari fasilitas lepas pantai yang ditutup sementara karena terjadi Badai Michael.

"Aktivitas penyulingan meningkat dan penurunan produksi karena aktivitas badai di teluk tak cukup untuk menghentikan laju kenaikan persediaan," ujar Direktur ClipperData, Matt Smith.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya