Puluhan Ribu Warga Taiwan Desak Referendum untuk Merdeka dari China

Puluhan ribu warga Taiwan telah melaksanakan demo di Taipei, guna mendesak terselenggaranya referendum untuk merdeka dari China.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 21 Okt 2018, 13:01 WIB
Peserta demo di Taipei, Taiwan pada 20 Oktober 2018. Puluhan ribu partisipan mendesak diadakannya referendum nasional agar Taiwan dapat memerdekakan diri dari China (Chiang Ying-ying / AP PHOTO)

Liputan6.com, Taipei - Puluhan ribu warga Taiwan telah melaksanakan demo di Taipei pada 20 September 2018, guna mendesak terselenggaranya referendum untuk memerdekakan diri dari China.

Ini adalah protes besar pertama yang menyerukan referendum sejak Taiwan menjadi demokrasi lebih dari 20 tahun yang lalu.

Protes yang akan dipusatkan di Taipei itu merupakan tanggapan ketika Tiongkok (RRC) semakin mendesak klaim atas negara pulau yang bernama resmi Republik China itu (ROC).

"Agresi China hanya akan mendorong kami untuk membela diri," kata seorang pengunjuk rasa perempuan pada demo kemarin, seperti dikutip dari Al Jazeera, Minggu (21/10/2018). "Kami akan melindungi hak kami untuk menentukan nasib sendiri."

Massa berkumpul di luar markas Partai Progresif Demokrat (DPP) --partai pemerintahan saat ini-- di Taipei, meneriakkan slogan-slogan seperti "Inginkan referendum!" dan "Menentang aneksasi!"

Diselenggarakan oleh Aliansi Formosa, yang didukung oleh dua mantan presiden Taiwan yang mendukung kemerdekaan, protes itu merupakan tuntutan besar-besaran guna terlaksananya referendum untuk memerdekakan diri dari China.

"Kami ingin memberitahu China untuk menghentikan perundungan terhadap Taiwan," kata pemimpin aliansi, Kuo Pei Horng (63) kepada kerumunan, kantor berita AFP melaporkan.

"Orang Taiwan ingin menjadi tuan mereka sendiri," tambahnya.

Fan Yun, anggota Partai Sosial Demokrat, mengatakan kepada Al Jazeera bahwa "referendum adalah cara demokratis untuk memberitahu China dan untuk memberitahu seluruh dunia bahwa, sebenarnya, kami ingin menjadi negara yang merdeka".

Penyelenggara mengatakan bahwa lebih dari 100.000 orang Taiwan berpartisipasi dalam demonstrasi tersebut, meskipun polisi setempat memperkirakan jumlahnya 10.000, menurut laporan berbagai kantor berita.

China dan Taiwan telah memerintah secara terpisah sejak perang sipil di Daratan Tiongkok pada 1949.

Taiwan menganggap dirinya sebagai negara berdaulat, dengan mata uang, sistem peradilan dan politiknya sendiri. Beijing, bagaimanapun, melihat Taiwan sebagai bagian dari China dan telah memperingatkan akan menggunakan kekuatan untuk menyatukan kembali Taipei dengan RRC jika diperlukan.

Dalam beberapa tahun terakhir, Beijing telah meningkatkan tekanan diplomatik, ekonomi dan militer pada pemerintahan Presiden Taiwan Tsai Ing Wen dalam upaya untuk memaksanya menyetujui bahwa pulau itu adalah bagian dari 'One China Policy' atau 'Kebijakan Satu China'.

Langkah itu juga berhasi menekan perusahaan global untuk mendaftarkan Taiwan sebagai bagian dari China di situs web perusahaan mereka.

 

Simak video pilihan berikut:


Mengkritik Presiden Taiwan

Tsai Ing-wen, presiden wanita pertama Taiwan yang disumpah pada Mei 2016 (AP Photo/Chiang Ying-ying)

Para pengunjuk rasa juga menantang pendirian Presiden Taiwan Tsai Ing Wen terkait desakan referendum memerdekakan diri dari China. Di bawah tekanan yang meningkat dari Beijing, Tsai berusaha untuk menyeimbangkan antara kelompok pro-kemerdekaan dan tetangga kuat Taiwan.

Sementara itu, Partai Progresif Demokrat (DPP) yang berkuasa secara terbuka melarang para pejabat dan kandidatnya menghadiri unjuk rasa hari Sabtu 20 Oktober di Taipei.

Sebagai gantinya, mereka mengadakan protesnya sendiri terhadap "aneksasi" China Taiwan di kota selatan Kaohsiung.

Namun unjuk rasa tidak menyerukan pemungutan suara kemerdekaan dan dalam sebuah pernyataan menjelang protes, DPP menekankan bahwa pihaknya tidak ingin "mengubah status quo kedaulatan independen Taiwan".

Penyelenggara mengatakan bahwa sekitar 10.000 orang menghadiri acara di Kaohsiung.

Tag Terkait

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya