Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah masih melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Bahkan rupiah tembus 15.200 per dolar.Meski demikian, ekonomi Indonesia saat ini dinilai masih kuat.
Kondisi ekonomi Indonesia pada 2018 berbeda dengan 1998 meski nilai tukar rupiah cenderung melemah terhadap dolar Amerika Serikat. Hal ini ditopang sistem keuangan Indonesia jauh lebih baik.
Hal itu disampaikan Ekonom Senior Raden Pardede saat dihubungi Liputan6.com, seperti ditulis Senin (22/10/2018).
"Kondisi seperti 1998 tidak akan terjadi. Punya keyakinan ekonomi kita jauh lebih baik. Mesin ekonomi dan sistem perbankan sudah jauh lebih baik," ujar Raden.
Baca Juga
Advertisement
Raden menuturkan, kondisi sistem perbankan jauh lebih baik dilihat dari tata kelola perbankan dibandingkan pada 1998. "Pemilik dengan pengelola sudah terjadi pemisahan yang ketat,”"kata dia.
Selain itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menurut Raden dalam mengawasi perbankan juga lebih baik. Ini ditunjukkan dari penyaluran kredit. "Bank tidak bisa salurkan kredit ke perusahaan sendiri. Dulu jantung tidak berfungsi dengan baik yaitu perbankannya," ujar dia.
Meski demikian, Raden mengingatkan agar pemerintah dan Bank Indonesia tetap waspada. Pemerintah dinilai harus disiplin dalam mengelola anggaran.
Seperti diketahui, berdasarkan referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) atau kurs tengah BI, pada 20 Oktober 2014 berada di posisi 12.041 per dolar AS atau menguat dari posisi 17 Oktober 2014 di kisaran 12.222.
Rupiah pun melemah 12,39 persen sepanjang tahun berjalan 2018. Nilai tukar rupiah sempat di posisi 13.542 per dolar AS pada 2 Januari 2018 ke posisi 15.221 per dolar AS pada 19 Oktober 2018. Rupiah sempat berada di level terendah di posisi 15.253 per dolar AS pada 11 Oktober 2018.
Sebelumnya, Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandiaga Uno, Handi Risza Idris, menuturkan hal penting yang harus dilakukan pemerintah dalam menekan laju depresiasi rupiah dengan benahi kondisi ekonomi domestik.
Ia menuturkan, dengan perbaiki kualitas ekonomi dalam negeri, tentu Indonesia dapat lebih tahan ketika terjadi ketidakpastian ekonomi global.
"Stabilitas dipengaruhi beberapa faktor eksternal dan internal. Itu faktor eksternal itu tidak bisa kita kontrol, tapi harus dilihat PR internal yang harus dikerjakan dalam beberapa tahun," kata dia dalam diskusi pada Sabtu 20 Oktober 2018.
Beberapa kebijakan yang menurut dia dapat dijalankan oleh pemerintah di tengah depresiasi rupiah dengan perkuat ekspor serta ketahanan industri nasional. “Internal ada bauran kebijakan, ada hal diperbaiki tapi belum maksimal,” kata dia.
Jika ekspor Indonesia bagus, meski pun rupiah melemah tapi Indonesia tetap bisa mendapatkan keuntungan dari naiknya nilai ekspor.
"Contoh, ketika rupiah melemah harusnya dampaknya bisa kita ambil keuntungan, harusnya ekspor kita melonjak, karena produksi pakai rupiah tapi ekspor pakai dolar AS. Itu tidak terjadi tapi peningkatan impor jauh lebih tinggi,” kata dia.
Reporter: Wilfridus Setu Embu
Sumber: Merdeka.com
Rupiah dan Lifting Minyak Meleset dari Target APBN 2018
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan mengenai realisasi Anggaran dan Belanja Negara 2018 (APBN 2018) hingga posisi September. Dalam catatan Kementerian Keuangan, ada tiga realisasi asumsi makro ekonomi dalam APBN 2018 yang melenceng jauh dari target pada asumsi APBN 2018.
Sri Mulyani mengatakan, hal pertama yang melenceng dari asumsi adalah nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Per 31 September 2018, rata-rata nilai tukar rupiah di angka 14.119 per dolar AS, meleset dari asumsi dasar yang dipatok 13.400 per dolar AS.
"Nilai tukar rata-rata 14.119 per dolar AS sampai September meskipun terjadi penguatan dolar AS," kata Menkeu Sri Mulyani di Kantor Pusat Dirjen Pajak, Jakarta, Rabu 17 Oktober 2018.
Kedua, asumsi yang meleset adalah harga minyak mentah Indonesia (ICP) mencapai USD 68 per barel. Sementara asumsi ICP adalah USD 48 per barel.
Ketiga adalah lifting minyak dan gas (migas). Untuk lifting minyak yang mencapai 774 ribu barel per hari atau meleset dari asumsi 800 ribu barel per hari (bph).
Untuk lifting gas mencapai 1,14 juta barel setara minyak per hari, sedangkan asumsi 1,2 juta barel setara minyak per hari.
"Tetapi kami tetap berhati-hati karena volume produksi kami tertahan tetapi permintaan domestik kami meningkat. Kami akan melihat dalam neraca pembayaran kami mengimpor minyak dan gas," ujar dia.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Advertisement