Liputan6.com, Jakarta Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyebutkan jika dalam empat tahun pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, kondisi defisit Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) semakin kecil.
Pada 2014, defisit APBN mencapai 2,3 persen terhadap PDB. Saat ini 2,1 persen dan di 2019 ditargetkan berada pada angka 1,8 persen terhadap PDB.
"Defisit APBN setiap tahun menurun dari tahun 2014, di mana saat itu kondisi harga komoditas drop, sehingga perekonomian mendapat tekanan. Waktu itu defisit APBN 2,3 persen terhadap PDB dan sekarang menuju 2,1 persen tahun 2018," ujarnya di Kantor Sekretariat Negara, Jakarta, Selasa (23/10/2018).
Baca Juga
Advertisement
"Bahkan, kini outlook untuk 2018 bisa mendekati 2 persen. Tahun 2019, untuk pertama kalinya, akan didesain di bawah 2 persen, yakni 1,8 persen," sambungnya.
Sri Mulyani menjelaskan, penurunan defisit APBN sejalan dengan penurunan defisit keseimbangan primer. Penurunan ini telah terjadi sejak 2014 dari Rp 93,3 triliun menjadi Rp 648 triliun.
“Waktu saya kembali menjadi Menteri Keuangan, saya yang mengingatkan keseimbangan primer kita perlu untuk dikoreksi. Sekarang saya dianggap sebagai orang yang tidak memelihara (keuangan negara). Aneh, politik itu,” jelas dia.
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia tersebut menambahkan, APBN sehat karena penerimaan perpajakan meningkat. Dengan kontribusi, 74 persen dari total pendapatan negara 2014 dari sektor perpajakan.
Kemudian pada 2018 meningkat jadi 81 persen. APBN makin mengandalkan penerimaan perpajakan, sehingga kontribusi dari penerimaan perpajakan menyebabkan defisit turun.
"Dengan penerimaan perpajakan makin baik, defisit makin turun dan pembiayaan utang semakin menurun. Pembiayaan utang kita tahun 2018, growth-nya negatif 9,7 persen, berarti kontraksi atau makin kecil. Dibanding tahun 2014 yang growth pembiayaan utangnya 14,5 persen. Jadi, sudah mulai menurun," jelas Sri Mulyani.
Reporter: Anggun P Situmorang
Sumber: Merdeka.com
Sri Mulyani Buka-bukaan soal Utang Indonesia Selama 4 Tahun Terakhir
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menjelaskan kondisi utang Indonesia selama 4 tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo- Wakil Presiden Jusuf Kalla. Pemerintah dikatakan telah mengelola utang dengan baik untuk menghasilkan hal yang produktif.
Selama empat tahun, utang Indonesia tumbuh sekitar Rp 1.329 triliun. Angka ini memang tumbuh jika dibandingkan dengan periode 2012 hingga 2014 sebesar Rp 799,8 triliun. Meski demikian, pertumbuhan utang disertai dengan balanja produktif diberbagai sektor.
"Ada juga yang mempertanyakan apakah utang kita untuk hal yang produktif. Ada beberapa pengamat menyampaikan. Periode 2012 sampai 2014, kenaikan utang antara Rp 799,8 triliun dan periode 2015 sampai 2017 adalah Rp 1.329 triliun. Nominalnya besar, dan orang membuat cerita itu. Sengaja ceritanya diputus di situ saja. Dipakai untuk apakah ini? Lihat sisi belanjanya," ujar dia di Kantor Sekretariat Negara, Jakarta, Selasa (23/10/2018).
Baca Juga
Sri Mulyani menjelaskan, pada periode 2012 hingga 2014 belanja infrastruktur hanya Rp 456 triliun selama 3 tahun. Saat ini, belanja infrastruktur mencapai Rp 904,6 triliun atau tumbuh dua kali lipat.
Sementara untuk dana pendidikan, bila dulu hanya Rp 983 triliun untuk 3 tahun, sekarang Rp 1.167 triliun atau naik 118 persen.
"Belanja pendidikan kan bukan belanja yang tidak produktif, jadi jangan dilihat cuma infrastruktur. Belanja kesehatan juga naik, dari Rp 146 triliun menjadi Rp 249,8 triliun atau naik 170 persen. Itu juga belanja produktif, walaupun bentuknya bukan jembatan atau jalan. Belanja untuk melindungi masyarakat miskin, jelas produktif," jelasnya.
Selanjutnya, perlindungan sosial pada 2012 hingga 2014 hanya Rp 35 triliun. Saat ini belanja sampai Rp 299,6 triliun, artinya tumbuh 8 kali lipat.
"Makanya kalau dilihat kemiskinan turun, gini ratio makin mengecil artinya makin merata. Wong hasilnya jelas, kok. Penurunan kemiskinan tidak datang begitu saja, tapi melalui program," kata Sri Mulyani.
Selain melakukan pembiayaan terhadap sektor tersebut, pemerintah juga mengalokasikan belanja terhadap transfer ke daerah. Pemerintahan sebelumnya, transfer ke daerah (TKD) hanya Rp 88 triliun, sekarang menjadi Rp 315,9 triliun.
"Ada juga beberapa pengamat yang lupa kami , sering itu tidak dihitung sebagai belanja produktif. Dalam TKD, ada mandatori 25 persen untuk infra, 20 persen untuk pendidikan, 10 persen untuk kesehatan. Kalau TKD dulu hanya Rp 88 triliun, sekarang jadi Rp 315,9 triliun. Kalau mau membandingkan apel dengan apel, tidak hanya tambahan utang. Tapi, bandingkan untuk apanya. Jadi, menggambarkan seluruh cerita secara menyeluruh," kata Sri Mulyani.
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia tersebut menambahkan, dari jumlah belanja tersebut pemerintah tidak mengandalkan utang untuk menopang belanja. Dia menugaskan, utang hanya suplemen sementara bagian utama penopang belanja adalah penerimaan pajak.
"Kalau belanja segitu banyak, apakah APBN tetap baik? Ya buktinya defisit makin kecil, berarti kami membelanjakan lebih banyak dari penerimaan perpajakan. Utang hanya suplemen, bukan yang utama. Penerimaan perpajakan kita jadi backbone perekonomian kita," tandasnya.
Reporter: Anggun P. Situmorang
Sumber: Merdeka.com
Tonton Video Ini:
Advertisement