Kendaraan Listrik Bakal Tekan Pemakaian BBM Mulai 2025

BPPT menyatakan penggunaan kendaraan listrik, baik mobil maupun motor akan berdampak pada penurunan penggunaan BBM di Jabodetabek.

oleh Merdeka.com diperbarui 23 Okt 2018, 15:44 WIB
BPPT menyatakan penggunaan kendaraan listrik baik mobil dan motor listrik berdampak pada penurunan penggunaan BBM (Foto:Merdeka.com/Wilfridus S)

Liputan6.com, Jakarta - Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menyatakan penggunaan kendaraan listrik, baik mobil maupun motor akan berdampak pada penurunan penggunaan bahan bakar minyak (BBM) di Jabodetabek.

Deputi Bagian Teknologi, Informasi, Energi dan Mineral (TIEM) BPPT, Eniya Listiani, mengatakan penggunaan kendaraan listrik akan sangat berguna untuk mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil.

"Jadi di kelistrikan produksi kita tinggi sehingga kita melihat sektor transportasi bagaimana kita memanfaatan kelistrikan ini untuk menjawab liquid fossil fuel," kata dia, di Kemenko Perekonomian, Jakarta, Selasa (23/10/2018).

Dalam 'Outlook Energi Indonesia 2018' yang dikeluarkan BPPT, tercatat total penghematan BBM pada 2025 hingga 2050 untuk bensin sebanyak 3,8 juta kl dan untuk solar sebesar 0,3 juta kl. 

Pada kajian BPPT, mobil dan motor listrik diasumsikan mulai digunakan 2025, dengan pangsa sebesar satu persen dari total penjualan kendaraan baru di Jabodetabek dan meningkat secara bertahap menjadi 100 persen pada 2050. 

"Kita perhitungkan angka dari Kementerian Perindustrian, prediksi kendaraan listrik berapa," ujar dia.

Dengan asumsi tersebut, jumlah mobil listrik pada 2025 sebanyak 21 ribu unit, sedangkan motor listrik sebanyak 34 ribu unit. Kemudian meningkat menjadi sebesar 2,10 juta unit mobil listrik dan sebanyak 3,40 juta unit motor listrik pada 2050.

Konsumsi energi spesifik dari mobil penumpang di Jabodetabek sebesar 8,3 liter/100 km dan mobil listrik sebanyak 15,58 kWh/100 km, sedangkan untuk motor sebesar 2 liter/60 km dan motor listrik sebesar 3 kWh/60 km. 

Dengan demikian, pemanfaatan kendaraan listrik di Jabodetabek, selain berpotensi mengurangi konsumsi BBM, juga menurunkan tingkat kebutuhan energi mobil penumpang dan sepeda motor dari 86 juta SBM menjadi 67 juta SBM atau menurun sebesar 22 persen pada 2050. Adapun kebutuhan listrik akan meningkat dari 11,5 GWh pada 2025 menjadi 9,14 TWh pada 2050.

Tentu saja jawaban dari masalah transportasi ini kalau mensubstitusi BBM itu dengan energi yang berkelanjutan. Dengan dimanfaatkannnya kendaraan listrik (mobil penumpang dan sepeda motor), diharapkan pihak PLN dapat mengembangkan 1.000 stasiun pengisian listrik umum (SPLU) tipe fast charging, sehingga memudahkan dalam proses pengisian baterai. 

Pemerintah juga perlu segera memikirkan penanganan dari limbah baterai yang sudah tidak digunakan lagi, sehingga tidak menyebabkan masalah lingkungan.

Tidak kalah pentingnya, pemerintah perlu mendorong pengkajian dan pengembangan baterai kendaraan listrik agar pelaksanaan kebijakan pemanfaatan kendaraan listrik tidak menjadikan Indonesia hanya sebagai penonton masuknya impor beragam produk baterai listrik.

 

Reporter: Wilfridus Setu Embu

Sumber: Merdeka.com

 

 


Kemenperin Selesaikan Kajian Aturan Mobil Listrik

Toyota Prius Plug-in Hybrid (Liputan6.com/Yurike)

Sebelumnya, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) telah menyelesaikan kajian terhadap rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang kendaraan bermotor listrik. 

Kemenperin juga telah mengirim resmi draf kebijakan tersebut kepada Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman pada 15 Oktober 2018 untuk dikoordinasikan dan dimintakan persetujuan dari Presiden Joko Widodo.

"Dalam proses penyusunan Perpres kendaraan Listrik, diperlukan kajian, koordinasi dan pembahasan yang intensif dengan melibatkan berbagai pihak,” ujar Direktur Industri Maritim, Alat Transportasi, dan Alat Pertahanan Kemenperin, Putu Juli Ardika di Jakarta, Kamis 18 Oktober 2018.

Menurut dia, beberapa pihak yang dilibatkan, antara lain dari akademisi, pelaku industri dan institusi terkait untuk menyempurnakan substansinya serta menyelaraskan dengan peta jalan pengembangan industri kendaraan bermotor yang diinisiasi oleh Kemenperin.

"Sehingga untuk mengharmonisasikan masukan-masukan yang ada, memang membutuhkan proses pembahasan yang cukup lama agar memastikan bahwa arah kebijakan dapat dilakukan dengan sebaik-baiknya dalam mendukung tumbuhnya industri otomotif nasional," ujar dia.

Dalam proses pembahasan terkait kendaraan bermotor listrik termasuk mobil listrik di Kemenperin, lanjut Putu, pihaknya melakukan rapat dan diskusi untuk mendapatkan masukan secara menyeluruh dari seluruh stakeholder atau pemangku kepentingan terkait. 

Misalnya, asosiasi industri otomotif nasional yang meliputi Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (GAIKINDO), Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI), Gabungan Industri Alat Mobil dan Motor (GIAMM), serta Perkumpulan Industri Kecil-Menengah Komponen Otomotif (PIKKO).

Selain itu, institusi independen seperti Persatuan Insinyur Indonesia (PII) dan Institut Otomotif Indonesia (IOI). "Kami juga melakukan pembahasan dengan para peneliti, institusi pendidikan seperti LPEM UI dan ITB, serta pelaku industri lokal di antaranya GESITS, Molina, Aplikabernas, dan MAB," kata dia.

Putu menjelaskan, melalui kesepakatan antar kementerian pada April 2018 lalu di kantor Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, pembahasan rancangan Perpres kendaraan listrik yang sebelumnya di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dialihkan pembahasannya ke Kemenperin. 

"Karena dalam draft Perpres masih terdapat pasal-pasal khususnya yang terkait dengan Bab mengenai pengembangan industri, yang kami anggap belum sejalan dengan arah dan kebijakan industri otomotif nasional sehingga perlu diselaraskan dengan peraturan dan perundangan yang mengaturnya," tutur dia.

Kemenperin melihat, industri otomotif di Indonesia masih menunjukkan geliat positif dalam upaya meningkatkan kinerjanya di tengah tekanan dinamika perekonomian global. Sektor strategis ini semakin memperdalam struktur manufakturnya sehingga diyakini akan lebih berdaya saing global serta mampu memenuhi kebutuhan di pasar domestik dan ekspor.

Pada 2017, industri otomotif berkontribusi kepada perekonomian nasional sebesar 10,16 persen serta mampu menyerap tenaga kerja langsung sekitar 350 ribu orang dan tenaga kerja tidak langsung sebanyak 1,2 juta orang.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya