Liputan6.com, Jakarta - Genap berusia empat tahun pada 20 Oktober 2018, pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla melalui sejumlah rintangan. Yang paling membuat deg-degan banyak pihak adalah tahun politik seiring helatan pilkada serentak dan pemilu.
Tapi, setidaknya setengah jalan telah berhasil dilalui. Menurut Politikus PKB Abdul Kadir Karding, penyelenggaraan dua gelombang pilkada serentak lancar.
Advertisement
"Kita bisa membangun satu sistem demokrasi yang terus diperbaiki menjadi demokrasi Pancasila yang semakin matang," katanya kepada Liputan6.com, Selasa (23/10/2018).
Demokrasi juga disebut stabil dengan tingkat partisipasi yang tinggi. Data sementara yang dirujuk tim pemerintah dalam Laporan 4 Tahun Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla juga memperkuat argumentasi itu. Temuan Badan Pusat Statistik menunjukkan, indeks demokrasi Indonesia membaik. Indeks kebebasan berpendapat berada di angka 78,75; lembaga demokrasi 72,49; kaderisasi partai politik 68,91.
Di tengah perbedaan aspirasi masyarakat, menurut Karding, Jokowi sukses mereduksi upaya-upaya yang mengancam persatuan. Meski ia menyadari, politik Indonesia belum bisa lepas dari pragmatisme. Belum lagi tantangan politik aliran yang masih kuat.
Namun, pengamat politik LIPI, Indria Samego, menilai kesuksesan pilkada serentak tak cuma andil pemerintah. Ia menengarai, ada peran para elite politik di dalamnya.
Ada kecenderungan para elite punya kesepahaman yang sama agar tak ada riak besar yang muncul dalam pilkada serentak. Konsesi ini membuat pemerintah lebih mudah mengendalikan dinamika selama pilkada serentak.
"Karena saya percaya chaos dalam politik adalah kelakuan para elite," kata Indira kepada Liputan6.com, Selasa (23/10/2018).
Tantangan terbesar tahun politik, menurutnya, justru menjelang Pemilu 2019. Sebab, ketegangan mulai terjadi. Meski sampai saat ini semua masih dalam taraf wajar.
Aspek Hukum dan Keamanan
Dalam aspek hukum dan keamanan, Indria menilai pemerintahan Jokowi cukup sukses. Salah satu faktor yang ia soroti adalah relasi harmonis TNI dan Polri. Kedua institusi tampak bisa berbagi peran.
Soliditas itu bisa menjadi modal berharga pemerintah menyambut 2019. Hal itu diamini Abdul Kadir Karding. Ia berpendapat, pemerintah semakin bisa mendorong pada penegak-penegak hukum bekerja berdasarkan kewenangan mereka tanpa dicampuri.
"Kita tidak melihat dan mendengar hal-hal yang besar dalam hal keamanan. Kriminalitas juga berkurang jauh," kata Mantan Sekjen PKB itu.
Dalam Laporan 4 Tahun pemerintahan Jokowi-Kalla, tim pemerintah mengutip temuan Legal Roundtable. Di sana tampak peningkatan kinerja Indonesia sebagai negara hukum. Pada tahun 2016, indeks menunjukan angka 5,31. Di 2017 terjadi perbaikan, angkanya meningkat menjadi 5,84.
Karding tak menampik masalah korupsi masih menjadi momok pemerintah. Pasalnya, kasus korupsi yang melibatkan pejabat negara masih terjadi.
Kabar baiknya, indeks persepsi korupsi Indonesia mengalami perbaikan. Pada 2013, berdasarkan data Transparency International, yang dikutip tim pemerintah, angkanya 32. Pada 2017 perlahan naik menjadi 37. Pemerintah juga berusaha bersih-bersih dengan membuat satuan tugas saber pungli yang telah menerima 36.343 aduan.
Tak cuma pemberantasan korupsi, pemerintah juga fokus mengimbanginya dengan upaya pencegahan. Berbagai cara ditempuh, dari reformasi birokrasi yang bersandar pada peningkatan kualitas SDM aparatus dan pengawasan internal, peningkatan efektivitas kelembagaan, serta pelibatan elemen masyarakat dalam mengawasi jalannya pemerintahan.
Menurut Karding, aspek yang masih belum tuntas diselesaikan adalah kasus pelanggaran HAM. Ia berharap pemerintah segera membongkarnya kasus-kasus yang seharusnya dituntaskan.
"Kasus HAM masa lalu, termasuk kasus besar. Membangun sistem hukum yang mengeliminasi pelanggaran HAM," ia berujar. Pun masih ada kasus dengan sorotan publik besar yang belum bisa terpecahkan, misalnya penganiayaan terhadap penyidik KPK, Novel Baswedan.
Di bidang politik, hukum dan keamanan, Karding masih punya catatan khusus. Baginya, kinerja pemerintah masih harus lebih dimaksimalkan.
Karding menggarisbawahi koordinasi antarlembaga yang belum padu dalam satu narasi. Ego sektoral masih terasa.
"Tidak bisa efektif dan cepat karena kabupaten, propinsi dan desa bahkan memiliki kewenangan-kewenangan yang sepenuhnya. Tidak bisa diselaraskan dan disinergikan," kata Wakil Ketua Timses Jokowi ini.
Pengamat Politik Indira Samego sedikit memakluminya. "Jokowi banyak dihadapkan masalah warisan masa lalu," katanya.
Masalah seperti koordinasi pusat-daerah, penegakan hukum dan ketengangan kekuatan politik merupakan masalah menahun yang tak bisa begitu saja disingkirkan.
Saksikan video pilihan di bawah ini
Advertisement
Kejelasan Konsep Ekonomi
Di sisi ekonomi, menurut Direktur Riset Centre of Economic Reform (CORE), Piter Abdullah, kinerja Jokowi-JK terbilang baik. Dukungan kejelasan konsep ekonomi yang digagas menjadi faktor penyebabnya yang dominan.
"Walaupun tidak bisa dibilang luar biasa, tapi secara keseluruhan saya nilai cukup baik. Ada dua hal yang kemudian mewarnai kebijakannya yaitu investasi dan daya saing yang didukung oleh kemudahan berusaha, serta ketersediaan infrastruktur," tutur dia saat berbincang dengan Liputan6.com.
Menurut Piter, keberanian dan komitmen Jokowi-JK dalam menggenjot ekonomi Indonesia lewat pembangunan infrastruktur patut diapresiasi. Jokowi juga dinilainya berani menaikan harga BBM bersubsidi secara drastis di awal pemerintahan.
Yang jadi catatan Pieter, dunia investasi dan daya saing RI masih belum berdampak signifikan dalam periode 4 tahun itu.
"Kemudahan berusaha membaik, diikuti kenaikan peringkat daya saing namun semua tidak berarti apabila tidak diikuti oleh lonjakan pertumbuhan investasi. Dampaknya pertumbuhan ekonomi tertahan di kisaran 5 persen," kata dia.
Setali tiga uang dengan Piter, ekonom Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira, menilai produktivitas dan daya saing masih menjadi pekerjaan rumah besar bagi tim ekonomi Jokowi-JK.
"Dalam Indeks Daya Saing Global terbaru 2018, posisi Indonesia ada di 45. Dibandingkan Negara tetangga ASEAN Malaysia menduduki posisi 25 teratas, Thailand 38, dan Singapura peringkat 2," papar Bhima.
Ia melanjutkan, daya saing pasar international juga dapat dilihat dari target pertumbuhan ekspor nonmigas Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) pemerintah yakni baru 14,3 persen di 2019. Realisasinya Januari-September 2018 baru tumbuh 9,29 persen.
"Jadi untuk mencapai 14 persen butuh kerja ekstra, ditengah proteksi dagang yang dilakukan negara mitra seperti India dan AS. Jadi targetnya masih overshoot," ujar dia.
Yang jelas, berdasarkan statistik, Jokowi sukses menurunkan angka kemiskinan. Prestasi ini menjadi salah satu yang dibanggakan pemerintah.
Berdasarkan data BPS, angka kemiskinan ditekan hingga single digit menjadi 9,82 persen atau sekitar 25,95 juta jiwa pada Maret 2018 di masa pemerintahan Jokowi-JK.
Padahal pada Maret 2015 angka kemiskinan masih 28,59 juta jiwa atau 11,22 persen. Tidak hanya itu, angka pengangguran juga merosot.
Pada Maret 2018 angka pengangguran sebesar 6,87 juta jiwa atau 5,13 persen. Dibandigkan pada Maret 2015, saat itu masih 6,18 persen atau 7,4 juta jiwa.
"Kita bersyukur apa yang kita kerjakan membuahkan hasil, kualitas kehidupan manusia dalam empat tahun terakhir terus membaik," ucapan Presiden RI Joko Widodo dalam Pidato Sidang Tahunan 2018 pertengahan tahun lalu.
Sementara itu, mengenai angka ketimpangan (gini ratio), pada Maret 2018 tercatat hanya 0,389. Sementara pada Maret 2015, angka gini ratio masih 0,408.
Hal ini tak terlepas dari pemerataan pembangunan yang dilakukan selama ini. Hasilnya, meski tipis, ekonomi Indonesia terus tumbuh di tengah gejolak sentimen global.
Pada 2015, pertumbuhan ekonomi RI 4,88 persen, pada 2016 5,03 persen, di 2017 sebesar 5,07 persen dan terakhir hingga semester 1 2018 pertumbuhan ekonomi RI 5,17 persen.
Di aspek inflasi pemerintahan Jokowi-JK juga mendapat pujian. Direktur Eksekutif Economic Action (ECONACT) Indonesia Ronny P Sasmita menganalisisnya sebagai salah satu keberhasilan pemerintah selama empat tahun ini.
"Kalau mengacu kepada Nawacita, dari sepuluh targetnya, inflasi yang bisa dikatakan berhasil terjaga," kata Ronny kepada Liputan6.com, Sabtu (20/10/2018).
Bank Indonesia (BI) menargetkan inflasi 3,5 persen plus minus satu persen pada 2018. Hingga September 2018, inflasi tercatat 2,88 persen. Tercatat deflasi September sebesar 0,18 persen.
Inflasi cenderung terjaga selama empat tahun pemerintahan Jokowi-JK. Hanya saja, inflasi ini nampaknya tidak cukup untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dalam negeri. Sebagian besar Nawacita, menurut dia, masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan.
Memang hal ini, menurut Ronny, harus dilihat dari beberapa sisi. Cenderung stagnannya pertumbuham ekonomi tidak hanya faktor dalam negeri, melainkan adanya sentimen dari luar negeri.
Catatan yang Mengganggu
Tapi ada catatan yang mengganggu dari kinerja Jokowi selama empat tahun. Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira, menilai nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD) yang terus melemah hingga saat ini menjadi salah satu catatan buruk dalam kepemimpinan Presiden RI Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Dia mengatakan, untuk mengevaluasi capaian pemerintah di bidang ekonomi dasarnya adalah Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. Dalam RPJMN itu, ia menyebutkan, hampir sebagian besar target ekonomi tidak tercapai, salah satunya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
Namun begitu, Bhima juga tak lupa mengapresiasi pencapaian Jokowi-JK yang mampu mengendalikan inflasi yang turut disumbang oleh turunnya harga minyak pada 3 tahun awal masa kepemimpinannya.
"Adanya satgas pangan, pembangunan infrastruktur berkorelasi dengan terjaganya harga kebutuhan pokok, khususnya harga pangan yang mengalami deflasi dalam 2 bulan terakhir yakni Agustus dan September. Target RPJMN inflasi ada di 3,5 persen, cukup realistis," sebut dia.
Selain itu, dia pun turut memuji langkah pemerintah yang berhasil mengakuisisi 51 persen saham Freeport. Meski begitu, Bhima mengimbau pemerintah agar memperbesar nilai divestasi saham Freeport pada tahun depan.
"Tapi kendala dari sisi pembiayaan, beberapa bank masih keberatan terkait kasus lingkungan yang dialami Freeport, termasuk kerugian negara hasil penyelidikan BPK. Jadi untuk tahun 2019 divestasi 51 persen belum final," ujar dia.
Tambang emas di tanah Papua itu sebelumnya dikuasai oleh PT Freeport Indonesia (PTFI) di bawah PT Freeport-McMoran asal Amerika Serikat (AS) dan PT Rio Tinto Indonesia di bawah Rio Tinto Group asal Inggris.
Jauh sebelum Presiden Jokowi berkuasa, isu Freeport sudah lama menjadi topik panas di medan perpolitikan nasional. Akhirnya, setelah bernegosiasi panjang, penandatanganan untuk membeli saham Freeport dilakukan pada Kamis 12 Juli 2018. Adapun efeknya, 51 persen saham Freeport akan dimiliki Indonesia.
"Setelah 50 tahun dimiliki pihak asing, Indonesia akhirnya menguasai 51 persen saham Freeport. Negosiasi panjang demi anak-anak negeri," tulis Laporan 4 Tahun Jokowi-JK.
Di antara dampak positifnya adalah kelangsungan operasi PTFI yang membuat ekonomi Papua terus aktif, meningkatnya pendapatan negara, terbangunnya smelter dan meningkatnya penggunaan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) oleh Freeport, serta adanya transfer pengelolaan tambang.
Advertisement