Liputan6.com, Jakarta Bagi beberapa mahasiswa di Amerika Serikat, pemilihan presiden 2016 menimbulkan trauma psikologis. Hal tersebut terkait dengan kemenangan Donald Trump pada pilpres tersebut.
Advertisement
Sebuah studi yang diterbitkan di Journal of American College Health menemukan, dari 800 mahasiswa AS, satu dari empat orang di antaranya menganggap kemenangan Donald Trump sangat mengecewakan.
Mereka bahkan mengembangkan sebuah "gejala klinis yang signifikan" dan dianggap sebagai prediktor dari PTSD (Post- Traumatic Stress Disorder).
Melansir New York Post pada Rabu (24/10/2018), para peneliti dari San Fransisco State University, University of California di San Fransisco, dan Arizona State University, mensurvei sekelompok mahasiswa Arizona State dengan beraneka ragam budaya dan pendapat politis pada Januari hingga Februari 2017 mengenai kemenangan Donald Trump tersebut.
Saksikan juga video menarik berikut ini:
Melaporkan Gejala Trauma
Mereka menggunakan alat yang juga digunakan dalam pengukuran kesedihan subyektif korban trauma. Para peneliti mengeksplorasi pemikiran dan perilaku mahasiswa seputar pilpres. Penilaian juga memeriksa hubungan interpersonal mereka.
66 persen mengatakan pilpres AS yang memenangkan Donald Trump tidak berdampak pada kehidupan pribadi mereka. Sementara, 24 persen melaporkan efek negatif ringan hingga parah.
Gejala trauma yang muncul seperti percobaan untuk menjauhkan diri dari rangsangan negatif serta intrusi atau ketidakmampuan untuk melarikan diri dari pikiran yang tidak diinginkan.
Advertisement
Ras, Gender, dan Agama Mempengaruhi
Selain itu, ras, gender, dan agama berkaitan dengan tanggapan para mahasiswa tersebut. Siswa Hispanik kulit hitam dan non- kulit putih melaporkan dampak yang lebih besar daripada mereka yang berkulit putih.
Wanita juga 45 persen lebih mungkin mengalami gejala daripada pria. Sementara, mahasiswa Non-Kristiani juga cenderung melaporkan efek negatif. Walaupun begitu, lebih dari 18 persen melaporkan puas akan hasil pilpres tersebut.
Peneliti utama, Melissa Hagan, seorang Asisten Profesor Psikologi di San Fransisco State mengatakan, retorika Trump yang didasarkan pada serangan pribadi daripada kebijakan abstrak, kemungkinan memperkuat dampak yang dirasakan.
Namun, partisipan hanya disurvei satu kali. Sehingga penelitian tidak mengetahui apakah efeknya bertahan lama atau tidak.