Liputan6.com, Jakarta - Kasus kebocoran keamanan yang terjadi di layanan Yahoo , akhirnya memasuk babak akhir.
Yahoo telah setuju mengganti biaya ganti rugi kepada para pengguna yang menjadi korban pencurian data.
Dikutip dari ABC News, Jumat (26/10/2018), perusahaan akhirnya mau membayar ganti rugi US$ 50 juta (setara dengan Rp 759 miliar) dan menyediakan layanan pengawasan bebas biaya pada 200 juta pengguna yang menjadi korban.
Sekadar kilas balik, kasus peretasan ini terungkap pada 2016. Kasus pencurian data pengguna Yahoo disebut-sebut sebagai salah satu kejahatan siber terbesar yang pernah ada.
Baca Juga
Advertisement
Nantinya, Verizon akan membayar setengah biaya ganti rugi ini sebagai pemilik Yahoo.
Sementara, sisanya akan dilimpahkan ke Altaba, perusahaan yang dibuat untuk menampung investasi Yahoo termasuk aset lainnya usai penjualan ke Verizon.
Adapun biaya ganti rugi ini akan diberikan pada para pemilik akun yang dianggap memenuhi syarat.
Jadi, perusahaan akan mengganti rugi para pengguna yang identitasnya dicuri termasuk kemungkinan adanya masalah lain dari informasi pribadi dari Yahoo.
Sidang untuk menyetujui putusan akan dilakukan pada 29 November 2018. Jika disetujui, pemberitahuan ganti rugi akan dikirimkan pada para pemegan akun yang menjadi korban, termasuk dipublikasikan di majalah National Geographic dan People.
Sekadar informasi, Yahoo percaya bahwa pihak di balik kejadian ini adalah "aktor yang disponsori pemerintah". Artinya, ini merupakan suatu tindakan individual atas nama pemerintah.
"Informasi akun yang dicuri meliputi nama, alamat email, nomor telepon, tanggal lahir, kata sandi dan, dalam beberapa kasus, pertanyaan dan jawaban keamanan terenkripsi atau tidak terenkripsi," kata Yahoo kala itu.
Ups, Yahoo Masih Intip Email Pengguna untuk Jualan ke Pengiklan
Sebelumnya, Yahoo ternyata masih memindai email penggunanya untuk dijual ke pengiklan. Padahal, praktik ini sudah ditinggalkan sejak lama oleh perusahaan teknologi, demikian menurut laporan The Wall Street Journal.
Sebagaimana dikutip Tekno Liputan6.com dari The Verge, Kamis (30/8/2018), pemilik baru Yahoo, Oath, tengah dalam proses pembicaraan dengan pengiklan untuk menyediakan sebuah layanan yang mampu menganalisa inbox pengguna Yahoo Mail guna mendapatkan data mereka.
Kepada media, Oath hanya menyebut, platform tersebut bakal memindai email-email promosi dari pelaku retail. Selain itu, pengguna juga punya opsi untuk tidak mengaktifkan fitur ini.
Oath menyebut, email merupakan sistem yang sangat mahal dan pengguna tidak bisa berharap bakal mendapatkan layanan gratisan tanpa timbal balik apapun.
Menurut Oath, pengguna Yahoo Mail premium yang dikenai biaya USD 3,49 per bulan juga merupakan subjek dari analisa ini.
Oath diketahui menggunakan algoritma untuk mengurutkan email Yahoo berdasarkan preferensi konsumen yang berbeda serta menempatkan cookie yang mampu menunjukkan iklan serupa di kemudian hari.
Misalnya, pengguna yang sering membeli tiket pesawat akan diberi label tertentu oleh algoritma Oath. Pengguna lain yang sering pakai layanan Lyft akan dikategorikan sebagai wiraswasta, dan lain-lain.
Dari data ini, pengiklan bisa menargetkan kelompok pengguna ini ketika hendak jualan produk. Oath menjanjikan seluruh email personal Yahoo Mail tidak akan ikut dipindai ataupun diberikan ke pengiklan.
Advertisement
Review Email dengan Bantuan Manusia
Adapun proses review email-email ini menggunakan bantuan manusia, sekaligus algoritma. Sekadar diketahui, privasi Oath sebelumnya memungkinkan perusahaan membaca email AOL dan Yahoo untuk keperluan iklan.
Sumber anonim menyebut, perwakilan Yahoo mengetahui berapa banyak pengguna yang memakai email Yahoo sebagai akun spam. Artinya, email hanya dipakai untuk menumpuk pesan tidak penting yang berasal dari merek atau layanan tertentu.
Email-email itulah yang dikumpulkan dan dipakai untuk kepentingan iklan. Sayangnya, pengiklan menyebut, Yahoo Mail terlalu besar untuk mengirimkan iklan tertarget.
(Dam/Jek)
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini: