Australia Beri Sanksi 5 Jenderal Myanmar Terkait Krisis Kemanusiaan Rohingya

Australia memberlakukan sanksi dan larangan perjalanan terhadap lima jenderal militer Myanmar yang dituduh memimpin kekerasan terhadap Rohingya.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 25 Okt 2018, 13:02 WIB
Salah satu potret pengungsi Rohingya di India (AFP/Dibyangshu Sarkar)

Liputan6.com, Canberra - Australia telah memberlakukan sanksi dan larangan perjalanan terhadap lima jenderal militer Myanmar yang dituduh memimpin kekerasan terhadap warga Rohingya di negara itu tahun lalu.

Menteri Luar Negeri Australia, Marise Payne, membuat pengumuman itu dalam sebuah pernyataan pada Selasa 23 Oktober 2018, setelah bulan lalu mengisyaratkan bahwa Australia kemungkinan akan mengambil tindakan.

"Kini, saya telah memberlakukan sanksi keuangan dan larangan perjalanan terhadap lima perwira militer Myanmar yang bertanggung jawab atas pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh unit di bawah komando mereka," katanya, seperti dikutip dari ABC.net.au, Kamis (25/10/2018).

Langkah ini terjadi setelah misi pencarian fakta Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Myanmar merilis laporan yang menuduh upaya sistematis militer yang menargetkan warga sipil, yang termasuk pemerkosaan massal dan penghilangan paksa.

Laporan itu merekomendasikan bahwa petinggi militer harus diselidiki dan dituntut atas kejahatan kemanusiaan dan genosida terhadap Rohingya.

Dua dari jenderal yang ditargetkan oleh sanksi Australia tidak lagi bertugas di militer Myanmar (Tatmadaw).

Maung Maung Soe dipecat dari jabatannya sebagai komandan Biro Operasi Khusus pada Juni setelah Uni Eropa menjatuhkan sanksi kepadanya sementara Aung Kyaw Zaw, kepala Komando Barat, diizinkan mengundurkan diri pada bulan Mei.

Tiga pejabat militer lainnya: Aung Aung, Than Oo dan Khin Maung Soe, tetap bersama Tatmadaw, nama resmi Angkatan Darat Myanmar.

Sementara Panglima Tertinggi Min Aung Hlaing tidak mendapat sanksi oleh Australia dalam pengumuman ini.

Menteri Payne mengatakan Australia akan "terus mendukung kebutuhan kemanusiaan mereka yang terkena dampak" dan bekerja dengan Myanmar untuk "mendorong upaya menuju solusi jangka panjang dan tahan lama" terhadap krisis Rohingya.

Zaw Htay, juru bicara Pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi, menolak menjawab pertanyaan dari ABC.

 

Simak video pilihan berikut:


Mengikuti Langkah AS, Inggris dan Uni Eropa

Anak-anak pengungsi Rohingya bermain ayunan di taman bermain di kamp pengungsi Thangkhali, dekat Cox's Bazar, Bangladesh, Kamis (9/8). (Ed JONES/AFP)

Australia menjatuhkan sanksi jauh lebih lambat daripada Uni Eropa, Inggris dan Amerika Serikat setelah krisis Rohingya tahun lalu menyebabkan 700.000 warga minoritas Muslim mengungsi ke Bangladesh.

Diana Sayed, juru kampanye krisis Amnesty International Australia, menyambut pengumuman Menteri Payne, tetapi juga, meminta Pemerintah Australia untuk menarik dukungan keuangan bagi Tatmadaw dan mempertimbangkan memperluas sanksi kepada beberapa individu lain yang telah terlibat.

Australia mengalokasikan hampir 400.000 dolar Australia (berkisar Rp 4 miliar) untuk melatih militer Myanmar dalam anggaran terakhir, yang menurut Sayed membuat Australia "tak sejalan dengan warga dunia lainnya."

"Kami tak bisa mengumumkan sanksi dan dengan cara yang sama terlibat dengan militer melalui departemen pertahanan kami," katanya kepada ABC.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya