Liputan6.com, Jakarta Ada tiga manfaat dalam membangun bendungan, memproduksi energi listrik, ketahanan pangan dengan mengairi irigasi persawahan, dan penyediaan air baku untuk masyarakat.
Hal itu diutarakan oleh Kepala Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Citanduy, Danang Baskoro, saat meninjau bendungan Leuwikeris, Tasikmalaya, Rabu, (17/10/2018).
Advertisement
Secara lokasi, Bendungan ini sangat strategis, pasalnya bendungan itu terletak di antara kabupaten Ciamis dan Kabupaten Tasikmalaya, tutur Danang Baskoro.
Bendungan Leuwikeris merupakan salah satu proyek demi mewujudkan Nawa Cita Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, yang menargetkan pembangunan 65 bendungan yang terdiri dari 16 bendungan lanjutan dan 49 bendungan baru.
Melalui Direktorat Jenderal Sumber Daya Air (Ditjen SDA) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) bakal ditargetkan selesai sampai 2021.
Perlu diketahui, bahwa bendungan Leuwikeris menggunakan tipe bendungan urugan batu zonal dengan inti gerak. Bendungan itu mampu menampung air sebesar 81,44 juta meter kubik.
Selain itu, bendungan tersebut memiliki kapasitas penampungan efektif sekitar 45 Juta meter kubik dan memiliki tampungan mati sebesar 36 Juta meter kubik. Selain itu, bendungan Leuwikeris memiliki panjang 388 meter dan lebar bendungan sebesar 14,50 meter.
Tipe bendungan ini berbentuk trapesium dengan konstruksi kokoh yang tidak boleh bocor sedikit pun bahkan sehelai rambut pun tidak boleh, tutur Danang Baskoro.
Mengenai manfaat yang diberikan Leuwikeris, Danang Baskoro melanjutkan bahwa nantinya bendungan itu akan menyediakan air sawah atau irigasi di Lakbok Utara 6.600 hektar dan Lakbok Manganti 4.616 hektar.
Selain itu, bendungan tersebut bakal menyediakan sumber air baku sebesar 845 liter/detik untuk masyarakat Kota Banjar, Kabupaten Tasikmalaya, dan Kabupaten Ciamis.
Untuk saat ini wilayah ini memiliki pola tanam yakni, menanam padi dua kali dan satu kali palawija. Namun, kalau bendungan Leuwikeris sudah terbangun, petani bisa menanam 3 kali padi, imbuh Danang Baskoro.
Danang menambahkan, bendungan Leuwikeris juga bermanfaat untuk mengendalikan banjir periode 25 tahunan. Selain itu, bendungan itu memiliki potensi pembangkit listrik tenaga air melalui turbin sebesar 2x10 Megawatt.
“Saat ini progress bendungan Leuwikeris sudah 38 persen. Dari semua yang dijalankan semua diprioritaskan,” tutur Danang Baskoro.
Bendungan Leuwikeris juga akan memiliki dua terowongan sepanjang 1.500 meter untuk mengalirkan air bendungan.
“Saat ini satu terowongan sudah rampung, tinggal menunggu satu lagi yang ditargetkan selesai secepatnya,” imbuh Danang Baskoro.
Tantangan
Proses pembuatan dan pembangunan Bendungan Leuwikeris tak semudah membalikkan telapak tangan. Butuh kerjasama antar semua pihak termasuk dengan masyarakat.
Maka dari itu, Danang Baskoro mengatakan bahwa secara teknis dalam pembuatan bendungan tidak memiliki masalah. Namun, tantangan yang sebenarnya dalam hal pemeliharaan dari masyarakat.
Sebagai contoh, Danang Baskoro melalui BBWS Citanduy kerap membuat tanggul untuk menyediakan air. Namun, acap kali masyarakat kurang paham bahwa tanggul tersebut tidak boleh rusak. Jadi, aliran air tidak sesuai bahkan berujung tidak teralirkan dengan baik.
“Ada beberapa masyarakat yang kurang paham mengenai manfaat tanggul. Tanggul tersebut kerap rusak karena dicangkul. Akibatnya, air tidak mengalir ke tempatnya dan rusak,” imbuh Danang Baskoro.
Selain tantangan tersebut, lanjut Danang, ada pula mengenai pembebasan tanah. Pengadaan lahan yang luasnya mencapai sekitar 241 hektar dari lahan tersebut, nantinya diproyeksikan untuk kawasan genangan air.
“Ada beberapa masyarakat yang menolak mengenai pengadaan lahan. Maka dari itu kami sering melakukan sosialisasi yang turut dibantu oleh Unit Pelaksana Teknis (UPT) Provinsi agar bisa memberikan pemahaman kepada masyarakat sekitar,” imbuh Danang Baskoro.
Ia berharap, bendungan Leuwikeris nantinya bisa memberikan manfaat nyata kepada masyarakat. “Selain tiga manfaat tersebut, Leuwikeris bisa juga dijadikan pariwisata bagi masyarakat sekitar,” tutur Danang Baskoro.
(*)