HEADLINE: Sontoloyo hingga Kampanye Depan Bocah, Elektabilitas Jokowi dan Prabowo Terdampak?

Pada masa kampanye jelang Pilpres 2019, dua capres Jokowi dan Prabowo sama-sama keceplosan. Bakal berdampak?

oleh SunariyahPutu Merta Surya PutraIka DefiantiRatu Annisaa Suryasumirat diperbarui 26 Okt 2018, 00:07 WIB
Dua calon presiden Prabowo Subianto (kiri) dan Joko Widodo (kanan) berbincang saat pengambilan nomor urut peserta Pemilu 2019 di Kantor KPU, Jakarta, Jumat (21/9). Prabowo mendapat nomor urut 01, sedangkan Jokowi 02. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Presiden Joko Widodo tak kuasa menahan kemarahannya. Dengan nada tinggi, dia mengecam politikus yang hanya bisa mengkritik kebijakan pemerintah, tanpa mau melihat manfaatnya. Presiden yang akrab disapa Jokowi itu bahkan menyebut politikus semacam itu sebagai 'sontoloyo'.

Tak hanya itu, dalam pidatonya saat penyerahan sertifikat tanah kepada warga di Lapangan Sepakbola Ahmad Yani, Kebayoran Lama, Jakarta Pusat, Selasa 23 Oktober lalu, Jokowi juga memperingatkan masyarakat untuk berhati-hati terhadap politikus sontoloyo.

"Kenapa setiap hal dihubungkan dengan politik? Itulah kepandaian para politikus mempengaruhi masyarakat. Hati-hati saya titip ini hati-hati, hati-hati, hati-hati," kata Jokowi, mengucap kata 'hati-hati' hingga empat kali.

Kemarahan Jokowi ini dipicu oleh munculnya penolakan terhadap rencana pemerintah memberikan dana bagi kelurahan. Dana itu dialokasikan untuk memperbaiki kualitas lingkungan dan sumber daya manusia (SDM) di perkotaan.

Namun, sejumlah politikus melihat pengucuran dana kelurahan itu sebagai hal yang berbeda. Sebab, dilakukan jelang pemilihan presiden dan pemilihan legislatif.

Di masa kampanye Pilpres 2019 ini, ternyata bukan hanya Jokowi yang keceplosan.

Lawan Jokowi yakni calon presiden nomor urut dua Prabowo Subianto, kelepasan berkampanye di depan anak-anak saat deklarasi Gerakan Emak dan Anak Minum Susu, di Stadion Klender, Jakarta Timur, Rabu, 24 Oktober lalu.

Acara ini bukanlah kampanye politik melainkan gerakan memopulerkan minum susu. Sejak awal, panitia acara sudah mewanti-wanti agar peserta tidak mengacungkan dua jari selama acara berlangsung, namun justru Prabowo lah yang tak sadar melanggar.

Prabowo mengumbar janji akan melaksanakan gerakan minum susu sampai ke seluruh desa jika ia dan pasangannya, Sandiaga Uno, terpilih jadi presiden dan wakil presiden di Pilpres 2019. Total Prabowo sudah berpidato selama 10 menit, sampai akhirnya dia berhenti setelah adiknya, Hasyim Djohohadikusumo, membisikkan sesuatu.

"Saya kira cukup, saya mungkin tadi keceplosan, tapi itu cita-cita saya," tandas Prabowo.

Aksi Prabowo ini tentu menjadi sorotan. Sebab, berdasarkan Pasal 15 dan Pasal 76 H Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, melakukan aktivitas politik di depan anak dilarang.

Namun, Juru Bicara Prabowo-Sandiaga, Andre Rosiade, melihat apa yang dilakukan Prabowo itu bukan kesalahan.

"Presiden ngomong sontoloyo aja enggak ada masalah, masa Pak Prabowo salah, Presiden ngomong sontoloyo aja enggak ada orang yang berani mempermasalahkannya," kata Andre kepada Liputan6.com, Kamis (25/10/2018).

Soal politikus sontoloyo, dia menilai, pernyataan itu sebagai makian dan bukan contoh yang baik.

"Ini menyedihkan, sebagai presiden kepala negara, kepala pemerintahan yang harusnya memberikan contoh, menjadi suri tauladan kita semua, bicara makian kepada orang, ini kan engga baik, ini mengkhawatirkan demokrasi kita kalau Presiden dikritik lalu memaki orang, jadi terkesan antikritik," papar Andre.

Menanggapi hal ini, tim sukses Jokowi dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Maman Imanulhaq menegaskan, pernyataan Jokowi soal politikus sontoloyo wajar dan tidak mengada-ada. Sebab, saat ini, kata dia, politik di Indonesia lebih kepada mengumbar hoaks daripada menggunakan fakta dan data yang jelas.

Karena itu, dia tidak khawatir pernyataan keras itu akan berdampak terhadap elektabilitas Jokowi.

"Saya tidak khawatir ini menjurus ke elektoral, kalaupun nanti ada kenaikan elektabilitas bukan karena pernyataan sontoloyo, tapi lebih pada kerja nyata Jokowi," papar Maman kepada Liputan6.com, Kamis (25/10/2018).

 

Infografis Kala Jokowi & Prabowo Keceplosan (Liputan6.com/Triyasni)

Siapa Politikus Sontoloyo?

Sempat memicu pro kontra, Jokowi pun mengungkapkan alasannya mengeluarkan kata sontoloyo. Dia mengaku kelepasan karena jengkel.

"Kemarin saya kelepasan, saya sampaikan politikus sontoloyo. Ya itu, jengkel saya. Saya enggak pernah pakai kata-kata seperti itu. Karena sudah jengkel, ya keluar. Saya biasanya ngerem tapi sudah jengkel, ya bagaimana," jelas Jokowi saat membuka pertemuan pimpinan Gereja dan Rektor/Ketua Perguruan Tinggi Agama Kristen Seluruh Indonesia, Rabu, 24 Oktober 2018, yang berlangsung di Istana Negara, Jakarta.

Meski Jokowi mengaku ucapannya itu lebih karena keceplosan, namun Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Wiranto mengungkapkan, bahwa politikus sontoloyo itu ada. Wiranto bahkan mengaku tahu orangnya. 

"Kalau saya ketua parpol, saya tahu," jelas Wiranto. "Ada (sosoknya). Ya sudah cukup ya," lanjutnya.

Siapa politikus sontoloyo yang dimaksud Jokowi? Jubir Prabowo-Sandiaga, Andre Rosiade, menantang pihak Jokowi untuk menunjukkannya.

"Bahaya ini narasi yang dibuat Presiden, tunjuk hidung aja siapa dari pihak kami kalau benar, biar kita klarifikasi," ujar Andre kepada Liputan6.com, Kamis (25/10/2018).

Dia justru menuding pernyataan Jokowi itu sebagai sikap panik karena hasil survei elektabilitas Prabowo-Sandi terus naik.

"Beliau mulai panik dan keluar lah itu kata-kata menuduh politik kebohongan beberapa hari lalu, terus politikus sontoloyo dua hari berturut-turut itu menandakan kepanikan," jelasnya.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Manusiawi

Presiden Joko Widodo (depan) meninjau venue-venue untuk Asian Games 2018 di kawasan Gelora Bung Karno, Senin (25/6/2018). (Instagram/Jokowi)

Dimintai pendapatnya, Direktur Program Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Sirojudin Abbas mengatakan, kalau dilihat dari tone pembicaraannya, politikus sontoloyo adalah politikus yang tidak fair melihat kondisi nasional

"Cenderung melihat dari satu sisi, dari sisi defisitnya sementara dari surplus dan progres kemajuannya kurang diapresiasi. Intrik didahulukan ketimbang kerja sama, mengeksploitasi perbedaan ketimbang memperkuat persamaan. Itu semuanya bisa dimasukkan dalam itung-itungan politik, banyak politikus yang menggunakan yang begitu-gituan untuk mencapai tujuan politik," papar Sirojudin saat dihubungi Liputan6.com, Kamis (25/10/2018).

Dia pun memastikan pernyataan Jokowi soal politikus sontoloyo bukan by design tapi manusiawi.

"Itu normal sekali, umpatan, itu reaksi yang sangat manusiawi siapapun dalam posisi psikologis yang underpressure, kadang-kadang bisa keluar kata-kata yang jarang sekali dikeluarkan," ujar Sirojudin.

Dia juga yakin hal ini tidak berpengaruh pada elektabilitas. Menurut Sirojudin, elektabilitas Jokowi tidak akan tergerus atau sebaliknya melambung gara-gara pernyataan itu. Sebab, saat ini masyarakat saat ini sudah bisa membedakan mana yang serius dan mana yang sifatnya manusiawi.

Hingga saat ini, kata Sirojudin, elektabilitas Jokowi masih tinggi. Bahkan kepuasan rakyat terhadap pemerintahan Jokowi jauh lebih tinggi dibandingkan saat Susilo Bambang Yudhoyono memerintah pada 2008 lalu, 7 atau 6 bulan menjelang pemilu.

Terkait ucapan kasar, menurut dia, banyak pemimpin yang karena tekanan kuat bisa saja melakukannya. Dia mencontohkan Presiden Amerika Serikat Donald Trump.

Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh juga mengungkapkan bahwa Jokowi bukan satu-satunya pemimpin Indonesia yang pernah mengatakan sontoloyo. 

"Wajar sekali, saya pikir enggak ada yang salah yah. Bung Karno juga menyebutkan istilah sontoloyo itu," kata Paloh di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (25/10/2018).   

Sementara terkait aksi Prabowo berkampanye di depan anak-anak, Sirojudin juga memastikan, hal itu tidak akan berpengaruh pada elektabilitas. Dia menilai, apa yang dilakukan Prabowo itu lebih karena terlalu bersemangat.

"Dia (Prabowo) mungkin kurang begitu aware dengan lingkungannya. Ini soal self control di depan forum,kadang bisa kontrol kadang tidak bisa. Itu manusiawi yang tidak selalu dibingkai dalam skenario peran," papar peraih gelar doktor dari University of California, Berkeley, Amerika Serikat ini.

 


Waspada Emosi Massa

Hasil penelitian Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA saat dirilis di Kantor LSI, Jakarta, Kamis (4/10). Survei LSI Denny JA ini dilaksanakan pada tanggal 14 hingga 21 September 2018. (Merdeka.com/Iqbal Nugroho)

Meski ada hal-hal yang memicu pro kontra, namun Tim Kampanye Jokowi-Ma'ruf Amin, yakin bisa menang dalam Pilpres 2019.

Tim sukses Jokowi dari PKB, Maman Imanulhaq, kepada Liputan6.com, Kamis (25/10/2018), mengatakan, keyakinan itu datang dari hasil survei 7 lembaga yang memenangkan Jokowi.

"Kami yakin dengan 7 lembaga survei yang memenangkan kami, tapi kami tidak lengah, terutama di daerah-daerah," ujar Maman.

Dia juga menegaskan bahwa sikap keras Jokowi bukan sebagai taktik baru dalam berkampanye. Sejak awal, kata dia, politik yang dijalankan Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi adalah politik kegembiraan, positif, dan menghindari cara-cara yang yang sifatnya emosional.

"Saya barusan ketemu Pak Moeldoko di Istana Kepresidenan, kita lebih diskusi bagaimana kampanye mengandung unsur-unsur edukasi politik, lebih kepada kita ingin partisipasi masyarakat mencoblos, memberikan ide dan gagasan, itu menjadi bagian penting yang kami support di TKN," papar Maman.

Menurut Maman, saat ini timses Jokowi telah begerak ke daerah-daerah untuk berkampanye dengan cara-cara lebih kreatif, seperti membuat mural dan tulisan-tulisan menarik di mobil truk, mengadakan lomba membuat lagu Jokowi, lomba vlog, dan lomba dai Nusantara.

Hal ini disesuaikan dengan pola kampanye Jokowi-Ma'ruf Amin yang menggunakan rakyat sebagai konsultan.

"Konsultan kampanye kami ya rakyat. Mereka yang paling bagus dan paling tahu," ujar Ketua Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma'ruf, Erick Thohir, di kantor Bawaslu, Jakarta Pusat, Kamis (25/10/2018).

Erick menegaskan, pihaknya tidak memiliki konsultan politik selain rakyat. Apalagi menggunakan konsultan asing. "Enggak usah pakai konsultan, enggak usah pakai impor atau konsultan asing," kata Erick.

Hingga saat ini, berdasarkan hasil survei, elektabilitas capres-cawapres Jokowi-Ma'ruf Amin masih lebih tinggi dibandingkan lawannya, pasangan Prabowo-Sandiaga.

Dari hasil survei Populi Center yang dirilis Rabu, 24 Oktober lalu, Jokowi-Ma'ruf Amin mendapatkan elektabilitas sebesar 56,3 persen, sementara Prabowo-Sandiaga masih di angka 30,9 persen.

Elektabilitas Jokowi ini naik sekitar 1 persen dibandingkan pada Agustus lalu, di mana Jokowi-Ma'ruf berada di angka 55,1 persen, sementara Prabowo-Sandiaga 30,3 persen.

Meski demikian, Sirojudin Abbas mengingatkan, agar kubu Jokowi tidak lengah. Sebab, masih ada peluang lawan untuk merebut suara pemilih yakni dari sisi psikologis atau emosi.

"Soal identitas, agama, dan soal yang sifatnya terkait langsung dengan emosi massa. Saya masih melihat ada kemungkinan sebagian pihak menggunakan isu itu untuk memobilisasi dukungan publik," ucap Sirojudin.

Dia mengingatkan peristiwa di Pilkada DKI 2017, di mana Ahok terpaksa harus lengser karena kasus penodaan agama.

"Saya masih melihat ada risiko bahwa beberapa pihak mungkin melihat itu sebagai angle yg bisa digunakan. Kita lihat kasus pembakaran bendera HTI (Hizbut Tahrir Indonesia), ini mulai ada yang memainkan, entah siapa," kata Sirojudin mengingatkan.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya