Liputan6.com, Ponorogo - Mengajar mengaji bagi ibu-ibu di desanya sudah menjadi kegiatan sehari-hari Soiran. Warga Desa Baosan Kidul, Kecamatan Ngrayun, Ponorogo ini merupakan penyandang disabilitas tunanetra. Sejak tahun 2012 lalu, Soiran mengalami kebutaan akibat ada saraf matanya yang rusak.
Profesi guru dipilih pria berusia 38 tahun ini karena ingin mengabdikan diri untuk masyarakat. Selain mengajar mengaji para ibu-ibu, Soiran juga mengajar di Madrasah Diniyah dan Madrasah Tsanawiyah di desanya.
Advertisement
"Pagi saya di MTs, sore di madrasah diniyah bergantian dengan jadwal ibu-ibu mengaji dan malam hari mengaji di musala," tutur Soiran kepada Liputan6.com, Jumat 26 Oktober 2018.
Lahir dari keluarga sederhana, Soiran sejak kecil memang dikenal pandai dan ramah kepada siapapun. Anak pertama dari dua bersaudara ini sejak lulus kuliah tahun 2014 lalu sudah mengabdikan diri di desanya. Bahkan sejak tahun 2009, ia sudah membuka madrasah diniyah seorang diri.
Alumni STAIN Ponorogo ini menguasai sejumlah mata pelajaran agama, seperti bahasa Arab, fiqih, tajwid, akidah akhlak hingga Al-Quran Hadits. Sedangkan sore harinya, ia mengajar di Madrasah Diniyah dengan berbagai kitab Alala, nahwu sharaf, dan berbagai pelajaran kitab lainnya.
"Saya mengajar sendiri kalau di madrasah diniyah, tiap Sabtu-Rabu," terang dia.
Sementara jadwal Kamis-Jumat ia gunakan untuk mengajar ibu-ibu di desanya mengaji Al-Quran. Muridnya pun tidak sedikit, setidaknya ada 12 ibu-ibu yang sudah belajar mengaji. Bahkan peminatnya pun membludak, namun Soiran menolak dengan alasan, angkatan pertama ibu-ibu ini harus pandai dulu baru nanti membuka kelas baru.
Setiap hari, Soiran berjalan menuju sekolahnya tempat mengajar yang berjarak 1,5 km dari rumahnya. Dibantu dengan tongkatnya, Soiran berjalan perlahan menuju MTs di kampungnya. Disana puluhan murid menunggunya untuk diajar olehnya.
"Saya berangkat dari rumah lebih awal, pukul 06.00 WIB saya sudah berangkat soalnya sebelum masuk sekolah saya mengajar anak-anak untuk mengaji," jelasnya.
Jalan Terjal yang Dilewati Soiran
Jalan yang dilalui Soiran pun tidaklah mudah, jalan masih berbatu dan khas pegunungan yang berbukit-bukit jadi tantangan sendiri baginya. Meski sempat tersandung-sandung, akhirnya Soiran menghafal bagian jalan mana saja yang aman dilalui olehnya. Pun juga dengan di sekolah tempat ia mengajar, Soiran mampu menghafal setiap sudut sekolahnya.
Beruntung saat berangkat atau pulang dari mengajar selalu ada siswanya atau masyarakat desanya yang berbaik hati membonceng serta mengarahkan jalannya.
Bahkan saat berada di masjid atau musala banyak muridnya yang membetulkan posisi sandalnya agar mudah dipakai olehnya.
"Masih banyak yang peduli sama saya, alhamdulilah," imbuh dia.
Soiran ini mengisahkan awalnya ia tumbuh seperti anak normal pada umumnya. Saat menginjak kelas 3 SD, mata kanannya mengeluarkan air dan tidak bisa melihat. Menyusul saat tahun 2012, mata kirinya pun mengalami kejadian serupa dan berakhir dengan kebutaan.
Menariknya, meski mengalami kebutaan alumni jurusan Pendidikan Agama Islam ini malah mengaku bersyukur dan bahagia. Dengan keterbatasannya ini justru ia terhindar dari perbuatan buruk.
"Sudah diperiksakan kemana-mana katanya syarafnya yang rusak dan tidak bisa diobati," tukasnya.
Namun Soiran menyayangkan hobinya melukis dan kaligrafi harus pupus karena keterbatasannya. "Darah seni di dalam diri saya jadi tidak berkembang, tapi tidak apa-apa. Asal saya bermanfaat untuk orang sekitar saya sudah bersyukur," tegasnya.
Soiran pun berharap seluruh murid yang ia ajar bisa menambah pengetahuan. Sekaligus belajar agama, bisa membedakan mana yang baik dan buruk, mana yang halal dan yang haram. Selain itu, ia juga berharap ke pemerintah agar lebih memperhatikan nasib ruang kelas madrasah Diniyah yang seadanya.
"Saya ingin agar tempatnya lebih layak agar anak-anak bisa nyaman belajarnya, meski tempatnya di tengah hutan seperti ini. Sekaligus saya ingin ada teman untuk mengajar," katanya.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Advertisement