5 Kepala Daerah Ini Nyambi Jual Jabatan ke Bawahannya

KPK menangkap Bupati Cirebon Sunjaya Purwadisastra. Dia tertangkap basah KPK saat tengah bertransaksi. Sekarung uang pecahan lima ribuan dan dua puluh ribuan disita komisi antirasuah tersebut.

oleh Liputan6.com diperbarui 26 Okt 2018, 14:33 WIB
Petugas KPK menunjukkan barang bukti uang saat jumpa pers terkait OTT Bupati Cirebon Sunjaya Purwadi Sastra di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (25/10). KPK menetapkan Sunjaya sebagai tersangka suap jual beli jabatan. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Liputan6.com, Jakarta - Sebagai seorang kepala daerah yang dipilih oleh rakyat, seorang kepala daerah harusnya patuh dan amanah. Bukan malah mengeruk keuntungan dengan posisi yang dijabatnya.

Misalnya saja, praktik korupsi dengan modus jual beli jabatan. Tentunya praktik culas seperti ini yang akan mengakibatkan efek pemerintahan yang korup. Yakni bagaimana jabatan di atasnya akan mengeruk keuntungan dari jabatan di bawahnya dan terus berantai seperti itu.

Beberapa kali Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK mengungkap praktik seperti ini. Namun, praktik ini rupanya tidak menjadi contoh atau peringatan kepada para kepala daerah lainnya, meski tersiar luas melalui media massa.

Terakhir, KPK menangkap Bupati Cirebon Sunjaya Purwadisastra. Dia tertangkap basah KPK saat tengah bertransaksi. Sekarung uang pecahan lima ribuan dan dua puluh ribuan disita komisi antirasuah tersebut.

Penyidik mendapati bahwa uang-uang tersebut diduga hasil jual beli jabatan. "Dari kasus Cirebon, KPK mengidentifikasi dugaan adanya tarif-tarif yang berbeda untuk pengisian jabatan tertentu. Misalnya, kisaran camat Rp 50 juta, eselon 3 Rp 100 juta, eselon 2 Rp 200 juta," kata juru bicara KPK Febri Diansyah saat dikonfirmasi, Jumat (26/10/2018).

Febri mengatakan tarif uang dipasang Bupati Sunjaya tersebut berlaku relatif, tergantung strategis atau tidaknya jabatan.

"Tarif tersebut berlaku relatif tergantung tinggi rendah dan strategis atau tidaknya jabatan di Cirebon. Kami juga menduga, penerimaan hampir selalu terjadi setelah seseorang menduduki jabatan," jelas Febri.

Tidak hanya Sunjaya, Liputan6.com mencatat empat bupati atau kepala daerah ini terlibat praktik jual beli jabatan. Berikut rangkumannya:

 


1. Bupati Cirebon, Jawa Barat

Tersangka Bupati Cirebon, Sunjaya Purwadi Sastra kenakan rompi tahanan usai menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (26/10). Sunjaya ditahan KPK terkait mutasi jabatan, proyek, perizinan dan gratifikasi. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

KPK menetapkan Bupati Cirebon Sunjaya Purwadisastra sebagai tersangka kasus dugaan suap jual beli jabatan dan penerimaan gratifikasi proyek di Pemerintah Kabupaten Cirebon.

Sunjaya terjerat operasi tangkap tangan (OTT) KPK, Rabu (24/10/2018). Selain Sunjaya, KPK juga menangkap Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kabupaten Cirebon Gatot Rachmanto yang ditetapkan sebagai tersangka pemberi suap jual beli jabatan.

Sunjaya diduga menerima suap terkait jual beli jabatan senilai Rp 100 juta dari Sekretaris Dinas PUPR Gatot Rachmanto. Uang diberikan agar Sunjaya melantik Gatot dalam jabatan tersebut.

Sebagai gantinya, Sunjaya diduga menerima uang gratifikasi total senilai Rp 6,4 miliar. Uang tersebut disimpan dalam rekening atas nama orang lain yang dikuasai oleh Sunjaya.

 


2. Bupati Jombang, Jawa Timur

Bupati Jombang Nyono Suharli Wihandoko menaiki tangga saat akan menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (9/2). Nyono mendapat jatah lima persen dari Rp 434 juta kutipan selama 2017 di puskesmas seluruh Jombang. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Bupati Jombang Nyono Suharli Wihandoko terjerat kasus dugaan korupsi suap untuk menetapkan Inna Silistyowati sebagai kepala Dinas Kesehatan definitif. Ia tertangkap OTT KPK pada Sabtu (3/2/2018).

Total suap yang diberikan kepada Nyono Suharli berjumlah Rp 275 juta. Pihak KPK menyita uang Rp 25 juta dan 9.500 dolar AS dalam bentuk pecahan. Selain Nyono, KPK juga mengamankan pemberi suap Inna Silistyowati yang menjabat sebagai Plt Kepala Dinas Kesehatan Jombang.

Mantan Ketua DPD Partai Golkar Jatim itu divonis penjara selama tiga tahun enam bulan dengan denda sebesar Rp 200 juta, Selasa (4/9/2018). Selain itu, majelis hakim juga menjatuhkan hukuman tambahan berupa pencabutan hak politik selama tiga tahun terhitung setelah menjalani masa hukuman.

Hukuman yang diberikan kepada Nyono terbilang ringan dari tuntutan jaksa KPK yang menuntut delapan tahun penjara dengan denda Rp 300 juta, subsider tiga bulan kurungan penjara.

Majelis hakim Unggul Warso Mukti menyatakan putusan tersebut salah satunya disebabkan oleh sikap koorperatif dan pengembalian kerugian negara senilai Rp 1,2 miliar kepada KPK yang dilakukan oleh Nyono.

"Adapun yang meringankan terdakwa, selama ini dia telah kooperatif dan mengembalikan sejumlah kerugian negara. Adapun yang memberatkan terdakwa adalah kewenangannya sebagai kepala daerah yang tidak mendukung program pemerintah dalam memberantas korupsi," Unggul menjelaskan.

Terkait putusan tersebut, jaksa KPK menyatakan banding.

"Kami ajukan banding yang mulia," ujar jaksa penuntut umum KPK, Wawan Yunarwanto.

 


3. Bupati Halmahera Timur, Maluku Utara

Bupati Halmahera Timur nonaktif, Rudi Erawan saat menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (1/8). Rudi merupakan terdakwa kasus suap proyek Kementerian PUPR tahun 2016. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Bupati Halmahera Timur Rudi Erawan menjadi terdakwa kasus suap senilai Rp 6,3 miliar dari mantan Kepala BPJN IX Maluku dan Maluku Utara, Amran HI Mustary.

Di 2015, Rudy bertemu Sekretaris DPD PDIP Provinsi Maluku Utara Ikram Haris, di satu cafe di Jakarta. Dalam pertemuan itu, Ikram menyampaikan keinginan Amran kepada Rudy agar dipindah kantor ke Kementerian Pekerjaan Umum Provinsi Maluku Utara, lantaran saat itu Amran sedang tidak menduduki jabatan. Permintaan Amran dikabulkan oleh Rudi.

Atas perbuatanya, Rudi dinilai terbukti telah melanggar Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Rudi divonis pidana penjara 4 tahun 6 bulan oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat. Hak politik Rudi juga dicabut selama lima tahun usai menjalani pidana pokok. Ia juga harus membayar denda Rp 250 juta atau diganti pidana kurungan 6 bulan.

Vonis ini lebih ringan dari tuntutan jaksa pada KPK, yang menuntutnya 5 tahun penjara.

 


4. Bupati Nganjuk, Jawa Timur

Kadis Dikbud Pemkab Nganjuk, Ibnu Hajar keluar di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (1/11). Ibnu Hajar diperiksa sebagai saksi dugaan suap mutasi dan promosi jabatan di lingkungan Pemkab Nganjuk dengan tersangka Suwandi. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Bupati Nganjuk Taufiqurrahman menjadi tersangka kasus dugaan suap jual beli jabatan setelah terjaring OTT oleh tim KPK pada Rabu (25/10/2017). Saat itu, Taufiqurrahman tengah menerima uang suap dalam dua tas berwarna hitam sebesar Rp 298 juta.

Selain Taufiqurrahman, KPK juga menetapkan empat orang lainnya sebagai tersangka dalam kasus suap tersebut, Yakni Kepala Sekolah SMPN 2 Ngronggot Suwandi (SUW), dan Kadis Pendidikan dan Kebudayaan Nganjuk Ibnu Hajar (IH).

Kemudian Kepala Bagian Umum RSUD Nganjuk Mokhammad Bisri (MB) dan Kepala Dinas (Kadis) Lingkungan Hidup Nganjuk Hariyanto (H).

 


5. Bupati Klaten, Jawa Tengah

Tersangka dugaan suap terkait promosi dan mutasi jabatan di lingkungan Kabupaten Klaten, Sri Hartini usai menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (11/1). (Liputan6.com/Helmi Afandi)

Bupati Klaten Sri Hartini tertangkap KPK akibat kasus penerimaan suap dan gratifikasi terkait promosi jabatan PNS Tahun Anggaran 2016 atas perubahan Struktur Organisasi Tata Kerja (STOK) sebesar Rp 2,995 miliar.

Gratifikasi terkait pemotongan dana aspirasi atau bantuan keuangan untuk desa, penerimaan pegawai pada BUMD, mutasi dan promosi Kepala Sekolah SMP dan SMA/SMK serta pelaksaan proyek pada Disdik Klaten.

Sri divonis 11 tahun penjara oleh Majelis hakim pengadilan tipikor Semarang.

"Menyatakan terdakwa terbukti bersalah secara sah melakukan korupsi lebih dari satu kali dan berlanjut. Dengan ini menjatuhkan vonis 11 tahun penjara dan denda Rp 900 juta subsider 10 bulan penjara" kata Hakim Ketua, Antonius Widijantono, di Pengadilan Tipikor Semarang, Rabu (20/9/2017) 

(Liputan6.com/Melissa Octavianti)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya