Liputan6.com, Jakarta - PT Krakatau Steel (Persero) Tbk (KRAS) mampu mencatatkan peningkatan volume penjualan sebesar 14,21 persen pada kuartal III 2018 dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu menjadi 1.595.260 ton.
Kontribusi kenaikan ini disumbang oleh kenaikan penjualan baja lembaran panas dan long product sebesar 26,2 persen dan 12,92 persen menjadi 913.619 ton dan 216.738 ton dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.
Kenaikan volume pendapatan ini, mendorong Perseroan meraih pendapatan bersih sebesar USD 1.274,10 juta atau meningkat 22,71 persen dibanding kuartal III periode sama 2017.
Baca Juga
Advertisement
Direktur Utama PT Krakatau Steel (Persero) Tbk (KRAS), Silmy Karim, mengatakan pendapatan bersih ini ditopang oleh kenaikan harga baja pada M9 2018.
"Puncak kenaikan harga HRC terjadi pada awal bulan Juni 2018 yang mencapai USD 740 per ton. Memasuki M9 2018 harga jual rata-rata HRC naik 5,67 persen di kisaran harga USD 640-680 per ton dibanding harga pada periode yang sama tahun lalu di harga USD 599 per ton,” ujar Silmy kepada wartawan, Jumat (26/10/2018).
Beberapa peningkatan kinerja tersebut juga diiringi oleh menurunnya rugi dari entitas anak usaha dan afiliasi secara signifikan hingga kerugian pada September 2018 mencapai USD 7,73 juta dari yang sebelumnya USD 37,55 juta di tahun sebelumnya.
"Dari hasil ini kinerja Perseroan kembali membaik pada September 2018 ini. Rugi Perseroan kembali turun secara tajam 50,85 persen yakni USD 36,89 juta dibanding periode yang sama tahun lalu yang mencapai USD 75,05 juta. Raihan ini kembali menumbuhkan optimisme di Perseroan untuk terus memperbaiki kinerjanya di masa mendatang,” ungkap Silmy.
Selain itu, dalam rangka melakukan ekspansi kapasitas produksi dilakukan dengan membangun pabrik baja lembaran panas #2 atau HSM#2, saat ini kemajuan konstruksi fisiknya sudah mencapai 86,83 persen per September 2018. Direncanakan proyek ini menambah kapasitas sebesar 1,5 juta ton per tahun yang akan rampung pada kuartal III 2019.
Kemajuan pembangunan blast furnace juga telah menunjukkan hasil yang menggembirakan, pada 16 Oktober yang lalu telah dilakukan pemanasan tungku blast stove yang merupakan tahapan penting dari beroperasinya keseluruhan pabrik Blast Furnace Complex. Pabrik ini akan melakukan produksi perdananya atau first blow in pada 20 Desember 2018.
Untuk peningkatan pemasaran, Perseroan kembali memperkuat pasar di wilayah Timur pulau Jawa dengan melakukan Long Term Supply Agreement (LTSA) dengan PT Sunrise Steel pada 3 Oktober lalu.
Sepanjang 2017, PT Krakatau Steel Tbk menyuplai baja lembaran dingin ke PT Sunrise Steel sebesar 62.000 ton dan diproyeksikan akan meningkat untuk pasokan pada 2018.
Modus Eksportir Baja Luar Negeri Hindari Bayar Bea Masuk
Sebelumnya, Ketua Umum Asosiasi Industri Besi dan Baja Indonesia (IISIA), Mas Wigrantoro Roes Setiyadi, membeberkan modus yang kerap dilakukan para pengusaha baja agar dapat lolos dari keharusan membayar bea masuk ke negara tujuan ekspor.
Di industri baja, salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan mengganti nomor Harmonized System atau biasa disebut HS.
"Yang dilakukan oleh para pemain dari luar negeri adalah dengan mengalihkan kode harmonis number sehingga menjadi bukan carbon steel tetapi alloy steel," ujar dia di Hotel Ritz-Carlton Mega Kuningan, Jakarta, Senin 25 Juni 2018.
Perubahan kode HS ini berdampak pada kewajiban membayar bea masuk. Jika baja masuk sebagai baja karbon (carbon steel) maka bea masuk sebesar 15 persen. Kalau dalam bentuk alloy carbon maka bea masuk adalah 0 persen.
"Ketentuan yang berlaku di indonesia, kalau impor alloy steel maka dia dibebaskan bea masuk. Persoalannya, kalau mereka masuk biasa, carbon steel, mereka akan kena 15 persen," dia menuturkan.
Dirut PT Krakatau Steel ini pun menjelaskan, tindakan mengubah nomor HS ini sangat merugikan. Selain menggerus potensi pendapatan negara, praktik ini juga menyerang industri baja di negara yang menjadi tujuan ekspor (negara yang melakukan impor).
"Artinya dengan mengubah HS number maka banyak negara di dunia ini yang dirugikan karena potensi dia mendapat bea masuk hilang. Jadi isunya sebenarnya pendapatan negara yg hilang dan isu bagi industri domestik," jelas.
"Hal ini membuat 4 perusahaan baja besar di Amerika tutup, di Eropa sudah puluhan, di India ada 5, dampak dari praktek pengalihan HS number ini sudah mewabah. Inilah yang menjadi concerndunia, dan tentu kita tidak ingin penutupan pabrik terjadi di asean," tegasnya.
Saksikan video pilihan dii bawah ini:
Advertisement