Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat bahwa sampai Oktober 2018 sebanyak 2,53 juta kilo liter (kl) biodiesel dicampur dengan Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Solar.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Rida Mulyana mengatakan, tahun ini Kementerian ESDM menargetkan penyerapan biodiesel sebesar 3,92 juta Kl. Sampai dengan kuartal III 2028, penyerapannya baru mencapai 2,53 juta Kl.
Baca Juga
Advertisement
"Sampai Oktober 2018 itu penyerapannya, 2,53 juta Kl, jadi kurang lebih 60 persen," kata Rida, di Kantor Ditjen EBTKE, Jumat (26/10/2018).
Pelaksanaan pencampuran 20 persen biodiesel dengan Solar (B20) belum optimal sebab masih terkendala logistik. Sementara untuk pasokan biodiesel yang dicampur Solar cukup memenuhi kebutuhan.
"Kami mengakui B20 belum optimal tapi sudah lebih baik. Ini penyebabnya logistik. Sementara sisi produksi mencukupi," ujarnya.
Dengan penyerapan 3,9 juta Kl, negara berpotensi menghemat USD 2,10 miliar atau setara Rp 30,590 triliun. Penghematan tersebut tercipta dari penggantian porsi Solar 20 persen dengan acuan harga minyak Singapura (Mean Of Platts Singapura/MOPS).
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Belum Ada Keluhan
Sebelumnya, Direktorat Jenderal EBTKE Kementerian ESDM menyatakan hingga kini belum menerima keluhan terkait penerapan aturan Biodiesel 20 persen (B20) yang mulai dilaksanakan sejak 1 September 2018.Rida Mulyana, mengatakan B20 bukan merupakan program tiba-tiba. Program ini mulai diidekan sejak 2006. Adapun kebijakan ini baru diintensifkan pada 2016 setelah dibentuknya Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP).
"Program ini pas 2006 masih bergantung APBN, karena biodiesel-nya mahal jadi dapat tambahan subsidi APBN. Makanya jalannya tidak begitu mulus. Dengan adanya BPDP, jadi ada kerangka pembiayaan dari sana," ungkap dia saat berjumpa dengan wartawan di Jakarta, Rabu (26/9/2018).
BACA JUGA
Dalam mengelola dana B20, ia melanjutkan, pemerintah mengandalkan nilai jual minyak kelapa sawit atau Crude Palm Oil (CPO) yang kini di pasaran global rendah.
"Uangnya berdasarkan hasil iuran ekspor sawit. Uangnya terus muter untuk digunakan buat sawit juga. Jadi ini bukan program yang ujug-ujug (tiba-tiba)," sambungnya.
Dia pun mengaku, selama ini Kementerian ESDM belum mendapat keluhan terhadap regulasi Biodiesel 20 persen yang telah diimplementasikan sejak awal September ini.
"Alhamdulillah setelah 2,5 tahun, kami sebagai lead sector belum menerima keluhan. Saya belum dengar ada kejadian, truk mogok karena B20," ujar dia.
"Pada saat pak Jokowi menyetujui ini, dia bilang manfaat biodiesel bisa untuk multisektor. Jadi ini harus dipaksakan, dan semua sektor terkait harus mendukung. Beberapa pihak seperti Gaikindo pada saat itu langsung mendukung," tambah dia.
Selain itu, Rida menyampaikan, implementasi aturan ini secara momentum sangat pas, lantaran turut ditopang oleh berbagai kondisi yang sedang tidak memungkinkan seperti kenaikan harga minyak dan pelemahan rupiah.
"1 September kenapa ada? Karena momentumnya pas. Ini didorong neraca perdagangan negatif? Saya bisa bilang yes. Karena impor subsektor migas juga pengaruhi neraca perdagangan yang defisit," ujar dia.
Advertisement