Liputan6.com, Jakarta - Daftar kepala daerah yang terjerat operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali bertambah. Kali ini Bupati Cirebon Sunjaya Purwadisastra yang diciduk oleh KPK.
Sunjaya terjerat OTT KPK pada Rabu 24 Oktober 2018. Selain Sunjaya, KPK juga menangkap Sekretaris Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kabupaten Cirebon Gatot Rachmanto yang ditetapkan sebagai tersangka pemberi suap jual beli jabatan.
Advertisement
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan, penangkapan keduanya berdasarkan laporan dari masyarakat.
Menurut Alex, pada Rabu, 24 Oktober 2018, tim KPK menerima informasi akan terjadi transaksi suap jual beli jabatan dan gratifikasi kepada Sunjaya. Tim kemudian menuju kediaman ajudan Sunjaya berinisial DS dan mengamankan uang Rp 116 juta dalam pecahan Rp 100 ribu dan Rp 50 ribu.
"Tim juga mendapatkan bukti setoran ke rekening penampungan milik Bupati yang diatasnamakan orang lain senilai Rp 6.425.000.000," ujar Alex di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta, Kamis (25/10/2018).
Kemudian, sekitar pukul 16.30 WIB, tim penindakan menuju kediaman Gatot dan menangkapnya. Secara paralel, tim juga mengamankan Sunjaya dan ajudannya yang berinisial N di kantor pendopo Bupati.
"Tim juga kemudian mengamankan Kabid Mutasi berinisial SD. Kemudian, pukul 17.30 WIB, Kepala BKPSDM berinisial SP tiba di kantor bupati dan diamankan tim," kata Alex.
Setelah itu, tim penindakan membawa mereka yang diamankan ke Gedung KPK.
"Kamis (25/10/2018), sekitar pukul 15.30 WIB, sekretaris Sunjaya berinisial S mendatangi Gedung KPK dan membawa uang Rp 296.965 dan menyerahkan kepada KPK," kata Alex.
Sebelum ditetapkan sebagai tersangka, Sunjaya sempat mengembalikan uang senilai Rp 269.965.000 kepada KPK yang diantarkan oleh Sekretarisnya yang berinisial S.
Yang menarik, berbeda dengan kasus-kasus korupsi lain, yang kerap menggunakan mata uang dollar Amerika atau Singapura. Kali ini, uang suap Bupati Cirebon Sunjaya itu dibungkus dalam karung yang terdiri dari pecahan Rp 5.000 dan Rp 20.000.
Dalam kasus ini, Alex mengindikasikan, uang suap yang diterima Bupati Cirebon, Jawa Barat periode 2014-2019 Sunjaya Purwadisastra juga untuk kepentingkan Pilkada Serentak 2018.
"Dalam proses penyelidikan ini, KPK mengidentifikasi dugaan aliran dana untuk kepentingan Pilkada sebelumnya," ucap Alex.
Tarif Bervariasi
Soal tarif yang dikenakan Sunjaya untuk setiap jabatan di lingkungan Pemkab Cirebon, Jubir KPK Febri Diansyah mengatakan Sunjaya memasang tarif bervariasi.
"KPK mengidentifikasi dugaan adanya tarif-tarif yang berbeda untuk pengisian jabatan tertentu. Misalnya, kisaran Camat Rp 50 juta, eselon 3 Rp 100 juta eselon 2 Rp 200 juta," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah saat dikonfirmasi, Jumat (26/10/2018).
Febri mengatakan tarif uang dipasang Bupati Sunjaya tersebut berlaku relatif tergantung strategis atau tidaknya jabatan.
"Tarif tersebut berlaku relatif tergantung tinggi rendah dan strategis atau tidaknya jabatan di Cirebon. Kami juga menduga, penerimaan hampir selalu terjadi setelah seseorang menduduki jabatan," jelas Febri.
KPK pun sangat menyesalkan masih terjadinya praktik penerimaan suap oleh kepala daerah.
"Bupati Cirebon merupakan kepala daerah ke-19 yang diproses KPK melalui operasi tangkap tangan di tahun 2018 ini dan merupakan kepala daerah ke-100 yang pernah kami proses selama KPK berdiri," ucap wakil Ketua KPK Alexander Marwata .
KPK pun memandang sudah mendesak untuk melakukan perubahan aturan terkait penguatan independensi Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) dan perbaikan di sektor politik.
"Terutama aspek pendanaan politik terhadap calon kepala daerah dalam proses kontestasi politik," kata Alexander.
Ia juga mengungkapkan, berdasarkan kajian KPK terkait pendanaan dalam Pilkada terungkap bahwa banyak kepala daerah yang 'disponsori' pihak-pihak tertentu.
"Bahwa dari beberapa operasi tangkap tangan yang dilakukan KPK dan ketika diperiksa banyak yang mengatakan mereka itu untuk Pilkada itu "disponsori" oleh pihak-pihak tertentu atau bahkan dia minjam," tutur Alexander.
Menurutnya, ada kepala daerah di daerah tertentu yang mengatakan bahwa untuk menjadi kepala daerah itu paling tidak harus menyiapkan dana Rp20 sampai Rp30 miliar.
"Padahal kalau dihitung dari penghasilan kepala daerah selama lima tahun, saya yakin mungkin kalau ditabung semua uangnya itu penghasilan yang resmi mungkin tidak sampai Rp 6 miliar dengan asumsi penghasilan Bupati itu Rp 100 juta perbulan. Sisanya dari mana? Tentu saja mereka akan berupaya dengan berbagai cara untuk mengembalikan modal," kata Alexander.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Peran Perawat Puskesmas
Tertangkapnya Bupati Sunjaya ini berdasarkan laporan dari masyarakat. Salah satu yang mempunyai peran yaitu salah seorang PNS Pemkab Cirebon bernama Rakhmat Hidayat. Rahmat yag merupakan perawat di Puskesmas itu selama ini gigih menyuarakan adanya korupsi jabatan di lingkungan kerjanya.
Dia pun mengimbau agar seluruh PNS di Kabupaten Cirebon tidak takut mengungkap fakta yang sebenarnya.
"Saya ingin perubahan Kabupaten Cirebon lebih baik punya pemimpin tidak jual beli jabatan, suap proyek besar dan korupsi," kata Rakhmat saat ikut dalam aksi yang digelar salah satu LSM di depan Kantor Bupati Cirebon, Kamis (25/10/2018).
Dia mengaku, sejak menjabat perilaku Bupati Cirebon sudah tidak memiliki iktikad baik sebagai pemimpin. Hingga akhirnya, dia memberanikan diri membongkar kasus korupsi di RSUD Arjawinangun Kabupaten Cirebon.
Sikap Rakhmat membongkar kasus korupsi rupanya membuat Sunjaya harus memutasinya. Rakhmat yang dulu perawat di RSUD Arjawinangun, kini harus menjadi perawat di Puskesmas Kalimaro Kecamatan Gebang Kabupaten Cirebon.
Namun demikian, Rakhmat tetap menjalaninya dengan ikhlas dan penuh suka cita. Rakhmat harus mengeluarkan biaya lebih besar selama satu tahun dinas di Puskesmas Kalimaro Cirebon.
"Saya bersyukur sekali walaupun saya harus dipindah karena membuat Sunjaya marah tapi saya tidak masalah saya tetap menjalankan kewajiban saya meski jarak tempuh harus mengeluarkan Rp 100 ribu setiap hari," kata dia.
Dia mengaku, dimutasi karena dituding ingin menjegal Sunjaya agar tidak mendapat rekomendasi dari partai untuk maju pada periode kedua.
"Sampai sekarang saya tetap kritis tapi tidak dipecat oleh Sunjaya karena saya selalu bertanggungjawab atas apa yang sudah menjadi tugas saya sebagai PNS di puskesmas misal datang tepat waktu," ujar dia.
Rakhmat mengaku tidak pernah diberi tawaran jabatan tinggi oleh Sunjaya. Bahkan Rakhmat cenderung melawan kebijakan yang dianggap tidak berpihak kepada PNS.
"Saya terus melawan jadi saya tidak ditawari jabatan kalaupun dipromosikan saya tidak mau karena harus bayar itu tidak benar," kata Rakhmat.
Dia mengungkapkan, setiap tiga bulan sekali Sunjaya selalu melakukan mutasi jabatan. Bahkan, hal tersebut sudah menjadi rahasia umum.
Rakhmat pun mengaku menggelar acara saweran kepada warga di Puskesmas Kalimaro. Rakhmat menyebutkan nilai sawer yang diberikan kepada warga sebagai ucap syukur atas tertangkapnya Sunjaya.
"Ini juga nadzar saya jika benar tertangkap KPK saya sawer Rp 1 juta. Jabatan itu seakan menjadi lomba untuk diperjual belikan Sunjaya dan pejabat yang sudah sesuai ketentuan berlomba tawar menawar harga di lahan basah," kata dia.
Rakhmat tidak mengetahui secara pasti jumlah uang yang harus disetor ke Sunjaya untuk setiap jabatan. Namun, dia mengungkapkan untuk menduduki jabatan Kepala Puskesamas, minimal harus sedia dana Rp 100 juta.
"Yang lain saya tidak tahu tapi kalau kepala puskesmas segitu yang saya tahu," ujar dia.
Advertisement
Tetap Dilantik ?
Sunjaya resmi bersatus tersangka setelah diperiksa oleh KPK atas dugaan kasus jual beli jabatan.
Status baru Sunjaya ini dikeluarkan oleh KPK hanya beberapa bulan sebelum pelantikannya sebagai Bupati Cirebon untuk periode kedua 2019-2024. Rencanannya, Sunjaya dan wakilnya Imron Rosyadi akan dilantik pada 24 Maret 2019.
Terkait hal ini, Ketua KPU Kabupaten Cirebon Saefuddin Jazuli menyatakan, pelantikan Sunjaya tetap dilakukan sesuai jadwal. Hal ini sesuai UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah.
"Tapi tetap tergantung statusnya, apakah tersangka, terdakwa, atau sudah inkrach," ucap Saefuddin di kantor KPU Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Jumat (26/10/2018).
Dia menjelaskan, dalam UU Nomor 10/2016, proses pelantikan tetap dilakukan jika status Sunjaya masih tersangka. Apabila statusnya sudah menjadi terdakwa, Sunjaya bisa diberhentikan sementara setelah dilantik.
Jika status Sunjaya sudah inkrah, maka Sunjaya tetap dilantik. Namun, kemudian langsung diberhentikan. "Perlakuannya itu beda-beda tergantung status hukumnya," ucap Saefudin.
Saefudin mengatakan, saat ini kewenangan masih ada di Kementerian Dalam Negeri dalam menyikapi kasus tersebut. Apalagi saat ini Sunjaya masih dalam proses pemeriksaan di KPK.
"Kalau sekarang bisa didorong pengganti sementara sampai menunggu pelantikan," kata dia.
Seperti diketahui, Sunjaya kembali memenangkan Pilkada 2018. Berpasangan dengan Imron Rosyadi, pasangan nomor urut 2 itu meraih 319.630 suara berdasarkan rapat pleno terbuka rekapitulasi penghitungan KPU Kabupaten Cirebon pada Juli lalu.
Terkait dengan pengganti Sunjaya selama berurusan hukum dengan KPK, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil telah meminta Kemendagri untuk mengutus Plt Bupati Cirebon sehingga roda pemerintahan di kabupaten itu tetap berjalan baik.
"Saya sudah berkirim informasi kepada Kemendagri kira-kira proses penggantian sementara ini seperti apa. Supaya tidak ada kekosongan pemerintahan di sana," ungkap Emil ketika ditemui di Gedung DPRD Jawa Barat, Kamis (25/10/2018).
Menurut dia, penunjukan Plt merupakan satu hal penting agar pelayanan kepada masyarakat tetap maksimal. Apalagi, pasa terjaring operasi tangkap tangan KPK, Rabu malam, belum ada pengganti sementara Sunjaya.
Mantan Wali Kota Bandung ini juga mengapresiasi KPK yang terus bergerak memberantas praktik korupsi yang menjerat kepala daerah.
"Saya mengapresiasi KPK dan mengapresiasi agar penegakan hukum ini agar lebih ketat dan lebih kuat," tegasnya.