Liputan6.com, Aceh - Malam itu, Senin, 8 Januari 2018, sekitar pukul 20.45 WIB, Eka (34) ditelepon seseorang dari Pangkalan Brandan, Sumatra Utara. Si penelpon menanyakan kabar kerabatnya yang sudah empat hari tidak bisa dihubungi. Eka diminta tolong mengecek rumah kerabat penelpon itu.
Ketika didatangi Eka, Rumah Toko (Ruko) di Jalan T. Panglima Polem Ujong, Dusun Meurah Inseun, Kampung Mulia, Kecamatan Kuta Alam, Banda Aceh itu, tampak sepi. Pintunya terkunci. Tak ada aktifitas satu keluarga yang terdengar dari dalam ruko.
Baca Juga
Advertisement
Eka yang curiga memberitahu Kepala Dusun Lorong III Gampong Mulia yang kemudian melapor ke polisi. Laporan itu ditindaklanjuti dengan melakukan pengecekan ke ruko. Sekitar pukul 22.10 WIB, salah satu pintu ruko dibongkar paksa polisi.
Kondisi di dalam ruko tampak berantakan. Bau amis menusuk hidung. Darah tampak berceceran di lantai. Di ruang tengah, mayat wanita ditemukan dengan kondisi tubuh penuh tusukan tanpa mengenakan busana. Tak jauh darinya tergeletak pula mayat seorang anak laki-laki.
Kondisi keduanya mengenaskan. Leher korban luka berat. Mayat ibu dan anak itu diidentifikasi bernama Minarni (40) dan Callietos (8). Berselang dua jam kemudian, mayat Tjie Sun (48), sang suami, ditemukan dalam kondisi telungkup di dalam kamar mandi yang ada di ruko sebelahnya. Leher korban nyaris putus. Mereka dibunuh pada Jumat, 5 Januari 2018.
Rabu, 24 Oktober 2018, Hakim Pengadilan Negeri Banda Aceh, memberi vonis 'hukuman mati' kepada Ridwan Sulaiman (23), seorang pemuda asal Aceh Jaya, juga 'sang penjagal' satu keluarga beretnis tionghoa asal Medan yang sudah beberapa tahun menetap di Aceh itu.
Menurut majelis hakim, terdapat sejumlah hal yang memberatkan dalam kasus tersebut, yakni sadis, tidak manusiawi dan meresahkan masyarakat. Majelis juga menolak seluruh pembelaan terdakwa pembunuhan satu keluarga itu yang disampaikan kuasa hukumnya.
Dendam Kesumat Sang Penjagal
Pria kelahiran 25 November 1995, Desa Paya Seumantok, Kecamatan Krueng Sabe Kabupaten Aceh Jaya ini ditangkap polisi saat hendak melenggangkan pelariannya di Bandara Kualanamu, Sumatera Utara, pada Rabu, 10 Januari 2018. Pelaku sempat dua kali lolos dari pantauan dan pengejaran polisi.
Setidaknya terdapat tiga titik pelarian pelaku, yakni Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat, Blangpidie, Kabupaten Abdya, dan Sumatera Utara. Di Aceh Barat, polisi sempat mengamankan sepeda motor milik korban yang dibawa kabur pelaku dan ditaruh di parkiran RSUD CND Meulaboh. Pelaku diduga membawa sejumlah harta korban.
Ridwan, yang juga pekerja bongkar muat barang di ruko Tjie Sun alias Asun itu mengaku sakit hati atas ucapan bernada makian 'sang majikan'. Asun dipukul hingga tersungkur. Tak puas, pelaku lalu mem-balok dan menggorok leher korban. Istri dan anak Asun juga disembelih. Kepala Callietos, sang anak, disebut-sebut pisah dari badannya.
Semua itu berawal dari ucapan Asun kepada Ridwan, saat keduanya baru selesai melakukan pekerjaan bongkar muat barang di ruko yang juga gudang grosir milik Asun di Kampung Mulia, Kecamatan Kuta Alam, Banda Aceh, Jum'at, 5 Januari 2018. Di hari nan nahas itu, Ridwan yang merasa capai menunjukkan gelagat agak ogahan saat disuruh oleh Asun.
"Wan... Cepat! Ligat sikit kau, lambat kali kau, tidak jelas, pukimak kau!", demikian ucapan bernada makian terhadap anak buahnya saat itu. Kiranya, kata-kata Asun menjadi mantra yang telah membangkitkan ibllis di dalam diri seorang Ridwan, hingga ia gelap mata.
Kuasa hukum terdakwa, Kadri Sufi, menilai pembunuhan yang dilakukan kliennya tidak masuk dalam kategori pembunuhan berencana. Dirinya berniat melakukan banding terhadap putusan majelis hakim." Atas putusan itu kita akan banding," tegas Kadri, pengacara gratis yang ditunjuk negara untuk Ridwan.
Advertisement
Polemik Hukuman Mati
Vonis mati terhadap Ridwan mendapat sorotan berbagai pihak. Kendati perbuatan terdakwa patut disebut sadis, namun vonis tersebut dinilai perlu melihat beberapa aspek lain yang dianggap bisa meringankan. Vonis mati untuk 'sang penjagal' harus dilihat sebagai pilihan terakhir.
"Harus juga dilihat motif dari tindak pidana itu, sehingga hukuman yang dijatuhkan itu layak. Hukum mati harus selalu dilihat sebagai pilihan terakhir. Bahkan, baru layak apabila sampai dengan tahap peradilan terakhir, terpidana tidak berubah atau menjadi lebih baik. Disamping itu, perlu dipertimbangkn apabila pihak keluarga korban memaafkan," ujar Pengamat Hukum & Politik Universitas Syah Kuala, Mawardi Ismail, kepada Liputan6.com, Sabtu (27/10/2018).
Selain itu, hukuman mati (death penalty) dianggap bertentangan dengan hak asasi manusia yang saat ini tengah didengang-dengungkan di Indonesia.
Gubernur Aceh nonaktif, Irwandi Yusuf mengatakan, hukuman Islam memerintahkan agar dilaksanakan hukuman mati bagi pembunuh berencana, hukum nasional pun memberikan peluang itu.
"Harapan saya ini juga diikuti oleh provinsi lain di Indonesia," demikian ujar Irwandi saat jadi pemateri pada rapat kerja Kejaksaan se-Aceh di Banda Aceh, Selasa, 9 Januari 2018.
Statement itu dikeluarkannya tepat sehari setelah mayat Tjie Sun, Minarni, dan Callietos ditemukan polisi di rumah toko (ruko) mereka di Jalan T. Panglima Polem Ujong, Dusun Meurah Inseun, Kampung Mulia, Kecamatan Kuta Alam, Banda Aceh, Senin, 8 Januari 2018. Menurut Irwandi, hukuman mati malah bertujuan melindungi hak asasi manusia di Aceh.
Selang sehari, Pengurus Cabang (PC) Persatuan Dayah Inshafuddin Kabupaten Aceh Barat Daya juga menyatakan sikap mendukung agar pelaku pembunuhan berencana diganjar hukuman maksimum, yaitu hukuman mati.
Pernyataan itu pasca PN Tapaktuan dalam sidang agenda putusan, menjatuhkan vonis hukuman mati terhadap Edi Syahputra (25), terdakwa kasus pembunuhan dua anak dan ibu mertua dari Mulyadi, pejabat pada Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Abdya. Kejadian itu tanggal 16 Mei 2017, Desa Meudang Ara, Kecamatan Blangpidie, Kabupaten Abdya. Berarti, ini vonis mati kedua di Aceh, dalam kurun waktu tahun ini.
Selanjutnya, pada Rabu, 14 Maret 2018, Pemerintah Aceh melalui Kantor Hukum Syariah dan HAM Aceh berencana mempertimbangkan untuk memberlakukan hukum pancung sebagai hukuman bagi pembunuh. Kepala Kantor Hukum Syariah dan HAM Aceh, Syukri M. Yusuf, saat itu telah meminta kantornya melakukan studi mengenai pemancungan sebagai metoda eksekusi dalam hukum Islam. Ia mengatakan, rancangan undang-undang akan dibuat setelah riset akademinya selesai dilakukan.
Selayang Pandang Hukuman Mati di Indonesia
Sebagai catatan, berdasarkan review Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Oktober tahun lalu, setidaknya ada sekitar 30 tindak pidana dalam 13 Undang-Undang di Indonesia yang dapat digunakan untuk menjatuhkan pidana mati.
Peneliti ICJR, Erasmus Napitupulu menyebutkan, dari 13 UU tersebut, secara praktik, hanya empat yang sering diterapkan, yakni pembunuhan berencana, narkotik, terosime, kekerasan seksual terhadap anak yang menyebabkan kematian.
Setidaknya tercatat, sejak 2014, hingga Oktober 2017, terdapat 18 orang dieksekusi mati. Sementara dalam periode Januari sampai Juni 2016, ada 26 perkara tuntutan dan 17 vonis mati, sementara dari Juli tahun lalu sampai September 2017, tercatat 45 tuntutan dan 33 putusan.
Sementara itu, didalam laporannya, Amnesty International Indonesia merilis, jumlah eksekusi mati secara global tercatat, di tahun 2016 ada di angka 1.032 dan di tahun 2017 di angka 993. Ada penurunan sampai 4 persen dan 39 persen jika dibandingkan tahun 2015 di angka 1.643. Di tahun 2017, ada 27 negara yang melaksanakan hukuman mati, disamping, terdapat pula negara yang secara signifikan membatasi pemberlakuan hukuman mati.
Saksikan video pilihan berikut ini: