Liputan6.com, Bandung - Belajar bahasa Sunda itu menyenangkan. Selain memiliki ungkapan berisi nilai-nilai kearifan lokal, bahasa yang penggunanya tersebar di Jawa barat dan Banten ini juga memiliki beragam kosakata yang unik.
Perbendaharaan kata dalam bahasa Sunda bahkan sangat bervariasi. Contoh saja, kata 'jatuh' yang dalam bahasa Sunda memiliki banyak istilah untuk mengungkapkannya.
Untuk menyebut jatuh dari ketinggian, bahasa Sunda yang umum dipakai ialah ragrag dan murag: ragrag digunakan untuk makhluk hidup dan murag digunakan untuk benda mati.
Namun, masih banyak lagi ragam kosakata untuk menyebutkan variasi jatuh yang makna dasarnya kurang lebih sama, yaitu terjatuh. Di antaranya ada kata labuh dan geubis: labuh termasuk kategori loma (akrab), sedangkan geubis termasuk kategori lemes (halus). Adapun variasinya sebagai berikut.
Baca Juga
Advertisement
Ketika menyatakan seseorang jatuh ke depan, bahasa Sunda memiliki kosakata tikusruk. Tetapi jika jatuh ke belakang, disebut tijengkang.
Kalau jatuh terlempar, itu tijungkel. Jatuh karena tersandung berarti tikosewad, tapi jika jatuh sambil meluncur itu namanya tigolosor atau ngagolosor. Masuk dalam lubang namanya tigebrus, tapi bila jatuh terpeleset itu tiseureuleu.
Untuk memudahkan dalam membedakan kata jatuh, berikut ini contohnya. "Sing ati-ati, jalan leueur, bisi tiseureuleu! (Hati-hati jalan licin, khawatir terpeleset!)". Kalimat tersebut biasanya diungkapkan ketika terjadi hujan.
Lain halnya ketika terpeleset kulit pisang. Contohnya, "Anjeunna tisoledat margi rusuh. Rupina teu ningali aya cangkang cau di payuneun? (Dia terpeleset karena tergesa-gesa. Sepertinya tidak melihat ada kulit pisang di depannya)".
Sementara itu, tercatat pula beberapa kosakata yang juga mempunyai arti terjatuh, seperti tigedebru, tigubrag, tigedebut, tigejebur, tigujubar, tigorobas, tigorolong, tigulitik, tigurawil, tigolepak, tijalikeuh, tijengkang, tijongjolong, tijungkel, tijungkir, tijurahroh, tikokojot, tikucuprak, tikudawet, tikunclung, tiporos, tiseureuleu, titiliktikan, titotolonjong, dan tisorodot.
Kosakata seabrek itu bila dipikirkan bisa membuat pusing. Lantaran kosakata itu yang nantinya membentuk kalimat seperti yang ingin kita katakan. Jangankan orang di luar Sunda, barangkali orang Sunda sendiri pun yang tak paham mesti kembali belajar soal kosakata tersebut.
Penjelasan Ahli Bahasa
Ahli Antropologi Linguistik Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Mahmud Fasya menjelaskan, variasi kosakata bahasa Sunda, khususnya untuk menyatakan konsep jatuh, memang istimewa dibanding bahasa lain. Jika ditarik dalam ilmu linguistik, kosakata yang melimpah tadi dapat dijelaskan dalam ranah semantik atau ilmu tentang makna kata dan morfologi (bentuk kata).
Mengingat bahasa itu arbitrer atau manasuka, maka kosakata jatuh akan dipakai sesuai dengan kesepakatan yang dipilih penuturnya.
"Ini sangat berkaitan dengan aspek sosial budaya penuturnya. Ketika konsep itu dipandang akrab dengan keseharian masyarakatnya dan dianggap penting oleh penuturnya, konsep tersebut akan dinyatakan dan dirinci dalam bahasa itu," kata Mahmud saat ditemui Liputan6.com, Jumat 26 Oktober 2018.
Di kalangan orang Eropa, ia mencontohkan, ada beragam kosakata untuk penyebutan daging sapi dan olahannya. Misalnya ada sebutan sirloin, tenderloin, beef steak, dan turunan lainnya. Atau misalnya kosakata salju yang punya beragam penyebutan bagi orang Eskimo.
"Padi di Sunda juga dinyatakan dengan beragam kosakata. Ada pare, segon, bangsal, dan gabah. Kalau sudah diproses, ada beas, beunyeur, bakatul, dan huut. Kalau sudah dimasak, ada sangu, kejo, lontong, dan banyak variannya. Sedangkan di Inggris hanya dikenal rice saja," ujarnya.
Demikian halnya berkaitan dengan momen 'terjatuh', ada ruang dan waktu yang melekat di dalamnya. Tak terkecuali lingkungan yang menjadi tempat menetap bagi orang tersebut.
Misalnya ruang hidup orang Sunda yang tanahnya berbukit-bukit dengan curah hujan dan kelembapan yang tinggi, ini memungkinkan orang untuk terjatuh dalam beberapa variasi gerakan akibat jalurnya licin. Hal itu akan berpengaruh pada penyebutan variasi gerakan yang makna dasarnya adalah jatuh.
"Sehingga diperlukan kosakata yang spesifik untuk mengidentifikasikan gerakan-gerakan jatuh itu," ungkapnya.
Walaupun demikian, bukan berarti orang Sunda suka terjatuh. Sebab hanya ruang dan waktunya saja yang berbeda.
"Itulah kenapa misalnya kosakata atau istilah yang dipakai terkait terjatuh itu tidak dinyatakan secara rinci dalam bahasa yang lain. Bisa jadi, itu tidak penting buat mereka karena momennya tidak ada dalam hidup mereka," paparnya.
Dalam kajian lingustik, variasi bahasa memang dapat muncul karena adanya variasi konsep atau kegiatan. Pada umumnya ada dua cara untuk menyatakannya dalam bahasa, secara leksikal atau gramatikal.
"Konsep waktu orang Inggris itu dinyatakan secara gramatikal lewat tenses, tetapi orang Sunda lewat leksikal. Nah, untuk menyatakan konsep 'jatuh' pun, orang Sunda memilih cara leksikal, bukan cara gramatikal," ungkapnya.
Ia menyebutkan, orang Sunda memilih unsur leksikon karena merasa penting untuk menyebutkan momennya sehingga lahirlah kosakatanya. Di tempat lain itu ada kemungkinan berbeda karena pengalaman hidupnya tidak berkaitan dengan gaya jatuh tersebut.
Sebagaimana diungkapkan ahli bahasa Edward Sapir dan Benjamin Lee Whorf (Sapir-Whorf), lanjut Mahmud, terdapat relativitas bahasa dan budaya: ada hubungan kuat antara bahasa, budaya, dan pikiran seorang penutur. Artinya, kondisi dan kebudayaan seseorang sangat mempengaruhi bahasa yang digunakannya dalam komunikasi sehari-hari.
Hal itu berbeda dengan pendapat ahli bahasa Amerika, Noam Chomsky, yang menyebutkan bahasa itu universal.
Advertisement
Kosakata Antik
Meski kata 'jatuh' mempunyai beragam kosakata dalam bahasa Sunda, tidak berarti penggunaannya sebanyak variasinya. Sebagaimana semua hal yang berkaitan dengan kehidupan manusia yang terikat ruang dan waktu, bahasa pun demikian.
"Ketika ruangnya tidak ada, kosakata yang berkaitan dengan ruang itu pun cenderung hilang. Kosakata tersebut dianggap tidak relevan dan tidak menjadi bagian dari hidup penutur lagi," kata Mahmud.
Misalnya saja, tanah berganti menjadi beton atau perbukitan menjadi rata. Bisa jadi kosakata tiseureleu atau tisoledat akan hilang perlahan karena sudah tidak lagi lazim dalam kehidupan orang Sunda.
"Bisa jadi nantinya menjadi kosakata buhun atau tradisional. Menjadi arkais dan tidak dipakai lagi, bahkan menjadi sesuatu yang khas, kuno, atau antik," jelasnya.
Namun, tidak semua kosakata bisa menghilang karena tidak ada faktor ruang dan waktu. Faktor mitologi ternyata bisa membuat sebuah kosakata itu tetap bertahan sampai melintasi zaman.
"Misalnya maung. Maung dinyatakan punah, tapi kosakata maung tetap kuat di kalangan orang Sunda karena masih ada kekuatan mitos," kata Mahmud.
Saksikan video pilihan berikut ini: