Liputan6.com, Jakarta - Facebook telah menghapus 82 akun, grup, dan page asal Iran guna mengantisipasi penyebaran fake news di platform-nya.
Mengutip Reuters, Minggu (29/10/2018), akun maupun grup yang dihapus itu telah menarik setidaknya 1 juta pengguna sebagai followers-nya.
Sekadar diketahui, Facebook memang tengah berjuang untuk menghentikan penyebaran fake news dan hoax, baik di dalam maupun di luar Amerika Serikat (AS). Salah satu tujuannya agar tidak ada propaganda politik jelang pemilihan umum di berbagai negara.
Baca Juga
Advertisement
Menurut sebuah sumber yang bekerja sama dengan Facebook, akun-akun palsu dari Iran ini kebanyakan menarget para pengguna Facebook dari golongan liberal AS.
Total, ada 83 akun, grup, dan page Facebook dan Instagram yang dihapus. Pemiliknya menyamar menjadi orang AS atau Inggris.
Diungkapkan oleh kepala kebijakan keamaan siber Facebook Nathaniel Gleicher, pemilik akun palsu ini mengunggah berbagai topik bermuatan politik yang dibumbui hal sensitif. Misalnya saja ras hingga soal oposisi terhadap Presiden Trump dan kebijakan imigrasi.
Saat ini tidak jelas apakah akun-akun palsu ini terhubung dengan pemerintah Iran. Namun, mereka enggan memberikan komentar terkait masalah ini.
Aksi penghapusan akun palsu ini dilakukan setelah sebelumnya Facebook juga bersih-bersih akun palsu. Twitter dan Google juga melakukan hal serupa dengan menghapus ratusan akun yang terhubung dengan propaganda Iran.
Upaya Sulit
Meski begitu menurut Gleicher, upaya terakhir ini agak rumit, sebab sifatnya sangat canggih dan sulit dideteksi oleh pihak Facebook.
Rekan Pertahanan Informasi dari Digital Forensic Research Lab Ben Nimmo mengatakan, niat para pembuat akun palsu adalah mencari banyak pengikut yang akan bereaksi saat adminnya membagikan konten fake news.
"Sebagian besar unggahan terkait masalah memecah belah AS dan diunggah berdasarkan sudut pandang liberal atau progresif. Terutama pada hubungan ras dan kekerasan yang dilakukan polisi," kata Nimmo.
Media sosial sendiri kian jadi target campur tangan asing setelah sebelumnya mendapat banyak kritikan. Kritikan tersebut terkait perusahaan tak melakukan upaya yang cukup untuk mendeteksi adanya campur tangan Rusia untuk memengaruhi hasil pemilu AS.
Advertisement
WhatsApp Sarang Fake News
Sebelumnya, aplikasi chatting WhatsApp menjadi media untuk kampanye politik di Brasil. Hal ini dikhawatirkan akan membuat perpecahan di negara tersebut.
Padahal, sebelumnya Facebook sebagai induk perusahaan WhatsApp tengah berupaya membersihkan platformnya dari berbagai berita misinformasi, fake news atau berita bohong, dan hoaks.
Namun, menjelang pemilu presiden pada 28 Oktober mendatang, giliran WhatsApp yang dibanjiri dengan fake news hingga teori konspirasi.
Sebagaimana dikutip Reuters, salah satu calon presiden Brasil Fernando Haddad menuding kubu pesaingnya, Jair Bolsonaro, telah membanjiri WhatsApp dan medsos dengan sederetan fake news yang bikin pemilih resah. Tentu hal ini dibantah oleh kubu Jair Bolsonaro.
Sekadar informasi, di Brasil sendiri, WhatsApp memiliki lebih dari 120 juta pengguna. Sementara, jumlah penduduk di sana mencapai 210 juta jiwa.
Bagi Facebook, Brasil juga menjadi salah satu pasar yang penting. Bisa dibilang, lebih dari separuh penduduk Brasil menggunakan akun WhatsApp untuk berkomunikasi.
Makanya, maraknya fake news dan hoaks di platform tersebut jadi hal yang meresahkan. Pada putaran pertama pemilu, 7 Oktober lalu, media sosial begitu berperan dalam menentukan suara.
Pasalnya, bagi Bolsonaro yang memiliki sedikit akses ke kampanye dan iklan TV, media sosial jadi jawaban untuk membantunya memenangkan 46 persen suara.
Perusahaan polling Datafolha menemukan, dua pertiga dari pemilih Brasil menggunakan WhatsApp. Pendukung Bolsonaro cenderung lebih mengikuti berita politik di WhatsApp dengan persentase 61 persen.
Sementara pendukung Haddad yang mengikuti berita politik lewat WhatsApp hanya 38 persen.
(Tin/Isk)
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini: