Liputan6.com, Bandung - Di sebuah sudut jalan Baranang Siang yang ramai, terlihat bangunan tua kokoh bercat putih. Bangunan bergaya art deco dengan struktur kaca yang menjulang ke langit itu tampak ikonik.
Bangunan itu ialah Gedung Kesenian Rumentang Siang. Rumentang Siang adalah tempat sejumlah seniman Kota Bandung dan aktor teater dilahirkan. Dulunya, gedung yang berdiri sejak tahun 1935 ini adalah bioskop bernama Rivoli. Banyak film-film yang diputarkan pada masa itu, terutama film China dan India.
Pada 1975, atas izin Gubernur Jawa Barat saat itu Solihin GP, gedung ini diubah menjadi gedung pertunjukan dengan nama Rumentang Siang.
Seiring dengan perubahan nama gedung, jalan itu pun mulai berganti menjadi Baranang Siang. Ruas jalan ini mempertemukan Jalan Sunda dengan Jalan Achmad Yani yang bermuara di Pasar Kosambi.
Baca Juga
Advertisement
Awalnya, Jalan Baranang Siang merupakan jalan setapak. Saat itu diberi nama gang Joen Liong.
Penamaan gang di masa kolonial itu tentu saja berkaitan dengan nama tokoh Tan Joen Liong di tempat tersebut. Sebuah nama yang berkaitan erat dengan sejarah perkembangan kota bercirikan etnis Tionghoa di Bandung.
Apa peranan Tan Joen Liong dalam masyarakat Bandung sehingga namanya diabadikan sebagai nama gang?
Sebelum menghilangnya nama-nama Tionghoa yang semula dipakai sebagai nama jalan dan nama kampung di Bandung, Tan Joen Liong merupakan pejabat Kapitan Titulair Tionghoa di Bandung.
Jabatan Kapitan Titulair itu diperolehnya setelah dia meninggal pada 23 Agustus 1917. Gelar kapitan yang disandang Tan Joen Liong adalah sebutan untuk pemimpin komunitas Tionghoa dalam sebuah wilayah. Sebagaimana daerah lain seperti Jakarta, Medan, Bekasi, Surabaya, dan Semarang yang memiliki pimpinan komunitas etnis Tionghoa pada masa kolonial Belanda.
Meskipun begitu, pemilik pangkat ini tidak memiliki tugas yang berhubungan dengan kemiliteran. Tugas mereka hanya sebagai pengubung antara pemerintah dengan warga Tionghoa.
Kapitan Titulair juga berarti kapten kehormatan. Gelar ini diberikan atas jasa dan pengabdian Tan Joen Liong dalam menjabat sebagai opsir Bandung dengan pangkat Letnan dalam kurun waktu 25 tahun (1888-1917).
Pengusaha Tapioka dan Beras
Institusi Kapitan Tionghoa di Hindia Belanda memiliki tiga pangkat, yaitu Majoor, Kapitein dan Luitenant der Chinezen yang secara keseluruhan dipanggil Chinese Officieren atau opsir Tionghoa.
Sebagaimana diungkapkan Justian Suhandinata dalam WNI Keturunan Tionghoa dalam Stabilitas Politik Ekonomi Indonesia (2013), opsir adalah pelayan bagi pemerintah dan masyarakat. Para opsir Tionghoa tidak bergaji meskipun mereka mendapat tunjangan bulanan, dan kekayaan pribadi merupakan prasyarat untuk jabatan itu.
Sementara Benny G. Setiono dalam bukunya Tionghoa dalam Pusaran Politik (2008) menyebutkan, pada pertengahan 1918 pemerintah Belanda mempertimbangkan untuk menghapus sistem opsir Tionghoa dengan harapan seluruh Hindia Belanda dapat dipersatukan dan etnis Tionghoa ditempatkan langsung di bawah pengawasannya.
Setelah mengalami tarik ulur, penghapusan sistem opsir di Hindia Belanda menjadi sebuah keputusan. Kecuali wilayah Batavia.
Keterangan soal siapa Tan Joen Liong dijelaskan Ali Rauf Baswedan dalam Merajut Relasi Bisnis: Surat-surat Tan Joen Liong Kapiten Tionghoa Bandung (2017).
Dikutip dari bukunya, Ali Rauf menjelaskan Tan Joen Liong lahir pada 3 November 1858. Ia berasal dari daerah Jiaoling, Provinsi Guangdong, Tiongkok.
"Keterangan tentang umur sudah saya sampaikan ke dokter Doijer. Saya lahir tahun Masehi 1858. Tanggal dan bulan tidak bisa saya sebut seperti tanggal dan bulan Masehi. Tetapi saya hitung, waktu saya lahir kira-kira 72 hari lagi orang Eropa masuk tahun baru 1859. Hanya saya ingat betul tanggal, bulan, dan tahun kelahiran saya mengikuti almanak Tionghoa, yaitu tahun Kibi, bulan Kauw Gowe, tanggal 28," tulis Tan.
Pemerintah Hindia Belanda memberikan gelar opsir kepada orang-orang Tionghoa tertentu pasca Tragedi Angke pada 1740. Umumnya, orang yang menerima pangkat adalah orang-orang terkemuka, misalkan orang kaya dan pedagang.
Tan Joen Liong merupakan pengusaha sukses di masanya. Sebagaimana surat-surat yang ia tulis kepada relasi bisnisnya setelah ia diangkat menjadi Kapitan Tionghoa Bandung.
Salah satu usahanya yaitu berdagang tapioka. Dalam suratnya kepada L. Platon, seorang pengusaha yang memiliki firma ekspor dan impor di Hindia Belanda sejak 1843, Tan Joeng Liong memberikan keterangan produk yang ia jual.
Tercatat surat pada 23 Desember 1900 itu, Tan Joen Liong memberikan balasan terhadap permintaan L. Platon yang biasa mengekspor tapioka, biji wijen, dan berbagai hasil bumi lainnya, untuk mengirimkan contoh barang yang ia punya.
"Setiap karung terisi padat. Sudah biasa dikirim ke negara-negara Eropa, Singapura, Hongkong, dan Shanghai. Dan setiap gerbong kereta api menampung 80 karung atau 2000 kati. Jikalau Tuan mau membeli harap memberi kabar,” katanya.
Selain berdagang, Tan Joen Liong juga merupakan sosok yang ulung dalam memenangkan proyek dan tender infrastruktur di era pemerintahan Hindia Belanda.
Kala itu ia berhasil memenangkan tender Pemerintah Hindia Belanda dengan besar proyek sebesar f 4500/tahun. Dikutip dari Ali Rauf Baswedan, proyek yang digarap oleh Tan Joen Liong adalah penyiraman jalan dan pengelolaan sampah di daerah Meester Cornelis, Batavia. Selain itu, ia juga berhasil memenangkan tender untuk sejumlah proyek di wilayah Batavia lainnya.
Advertisement
Gang Kapitan dan Pemakaman Cikadut
Selain tapioka, usaha lain yang dimiliki Tan Joen Liong adalah beras. Jika tempat usaha tapioka dan penggilingan beras Tan Joen Liong berada di sekitaran Kosambi, rumah pribadinya justru berlokasi di kawasan Jenderal Sudirman.
Dalam sebuah tur wisata sejarah yang digelar Historical Trips, Sugiri Kustedja, penulis buku Klenteng Gede Xie Tian Gong & Tiga Luitenant Tionghoa di Bandung mengungkapkan, di Jalan Surdiman pernah terdapat satu ruas gang bernama Gang Kapitan.
Nama Kapitan untuk gang ini berasal dari jabatan pemilik rumah panjang yang berada di pinggir gang yang tak lain Tan Joen Liong.
Sugiri mengatakan, rumah Tan Joeng Liong dulunya memiliki halaman dan dua buah patung singa. Namun halaman dan kedua patung tersebut sudah tidak tampak lagi. Saat ini hanya ada trotoar jalan dan bangunan ruko yang tampak di Jalan Sudirman.
Ia mengatakan, selain rumah, tempat usaha Tan Joen Liong berada di sekitaran Baranang Siang.
"Ada gang namanya Joen Liong tepat di seberang toko beras yang sekarang di belakangnya ada tower. Di situ persil mereka. Dulu di aitu ada pabrik tipioka dan gilingan beras. Jalur kereta api pun ada di situ, tersambung ke Stasiun Cikudapateuh," tutur Sugiri, Sabtu (20/10/2018).
Berdasarkan keterangan Sugiri, ada tiga letnan yang menjabat sebagai pemimpin komunitas Tionghoa di Bandung.
Pertama, Oeij Bouw Heon yang menjabat sebagai letnan selama setahun, sejak 1881 hingga 1882. Selanjutnya, jabatan tersebut diberikan kepada Chen Hai Long atau Tan Hai Long. Letnan kedua ini menjabat hingga tahun 1888. Kemudian pada tahun 1888 hingga 1917, putra Tan Hai Long, yakni Tan Joen Liong menggantikan tugas sang ayah menjadi letnan Tionghoa ketiga di Bandung.
Sugiri mengatakan, jejak Tan Joen Liong lainnya yang saat ini masih bisa ditemukan yaitu di Pemakaman Cikadut. Di pemakaman yang diresmikan sejak 1856 itu Tan Joeng Liong mendapatkan tempat peristirahtannya. Dalam sebuah bongpai (nisan) bertuliskan Kapiten Titulair Der Chineezeen.
Mengutip Ali Rauf Baswedan, sang Kapitan, meninggal pada 23 Agustus 1917, setelah mengalami sakit yang lama. Koran De Pranger Bode menuliskan, "....Kapitan Titulair Tionghoa Bandung, Tan Joen Liong, meninggal dunia. Tidak hanya dalam dunia bisnis, sebagai pemilik pabrik tapioka dan penggilingan padi, Tan Joen Liong juga dikenal sebagai seorang tokoh yang familiar. Untuk tujuan amal, orang selalu bisa menemuinya, dia murah hati".
Saksikan video pilihan berikut ini: