Liputan6.com, Jakarta Genap dua bulan sudah penerapan kebijakan pencampuran bahan bakar minyak (BBM) solar dengan minyak kelapa sawit (B20) sebesar 20 persen telah berlaku.
Direktur Utama (Dirut) PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati mengatakan, dampak penerapan B20 sangat dirasakan perseroan. Kebijakan mandatori ini juga berdampak besar terhadap negara.
Baca Juga
Advertisement
"Awalnya kan B20 ini untuk kurangi impor. Tapi kalau dari Pertamina itu bulan kemarin kita sudah kurangi impor. B20 sudah terasa dampaknya, volume impor untuk solar itu menurun," ujar dia di Bontang, Kalimantan Timur, seperti dikutip Senin (29/10/2018).
Dirut Nicke menjelaskan, kebijakan perluasan B20 membawa penurunan konsumsi impor BBM sebanyak 20 persen.
"20 persen turunnya selama 2 bulan ini, kan campurannya 20 persen dikurangi dengan kami kan. Jadi 20 persen dari volume turunya," tutur dia.
Nicke melanjutkan, penerapan B20 bahkan mengkerek harga minyak sawit mentah di tingkat global.
"Untuk negara (B20) itu sangat membantu karena selama ini kan ekspor terbesar kedua untuk pendapatan negara datangnya dari CPO. Jadi bukan Dolar aja yang naik, harga CPO juga naik. Jadi kalau 20 persen itu bisa kita ganti dengan local resources kan tentu sangat membantu," kata Nicke.
Ia pun mengaku senang dengan hasil sementara dari penerapan kebijakan B20 yang tengah berjalan selama dua bulan terakhir. Terutama bagaimana penerapannya membawa nilai tambah bagi CPO.
"Jadi ketika kita manfaatkan local resources kita, maka itu sangat baik sehingga industri CPO kemudian bisa nambah lagi added value-nya," pungkas dia.
Program B20 Masih Terkendala Pengangkutan
Penerapan pencampuran 20 persen biodiesel dengan solar (B20) masih menghadapi kendala. Hal ini membuat program yang bertujuan menghemat devisa negara tersebut belum optimal pelaksanaannya.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber daya Mineral (ESDM) Rida Mulyana mengatakan, kendala yang dihadapi dalam penerapan B20 adalah transportasi. Penyaluran Solar bercampur biodiesel ke seluruh wilayah Indonesia kerap mengalami hambatan karena tidak adanya transportasi yang mumpuni.
"Kami akui, program B20 belum optimal, tetapi kami bisa klaim bahwa pleaksanaan sudah lebih baik. Halnya betul ada hambatan di logistik salah satunya," kata Rida, di Jakarta, Sabtu (27/2018).
Baca Juga
Karena biodiesel masih dalam kategori Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) maka pengangkutan harus khusus. Jika menggunakan kapal tidak bisa bersamaan dengan dengan penumpang. Oleh karena itu pengangkutan harus menggunakan kapal khusus.
"Kami tidak telisik ketersediaan kapal. Ternyata tidak hanya kuantitas tapi juga spesifikasi. Mengangkut itu tidak sembarang kapal ternyata," ujarnya.
Meski sudah ada kapal khusus, tetapi biodiesel juga tidak mudah diangkut. Dia mencontohkan seperti kapal miliki Pertamina. Kapal tersebut memiliki spesifikasi yang tepat bahkan sudah tersertifikasi, tetapi tidak bisa mengangkut karena volume kapal terlalu besar untuk biodiesel yang akan dikirim sehingga tidak efisien.
"Itu menarik, kapal ada bersertifikat, tapi klien tidak memerlukan kapal volume sebesar itu. Misal untuk 20 ribu tapi yang perlu 5-10 ribu. Kalau dipaksa jadi tidak efektif," tandasnya.
Advertisement