Impor Bahan Bakar Bikin Defisit Transaksi Berjalan dan Rupiah Tertekan

Pemerintah menyatakan salah satu menekan impor bahan bakar dengan membangun fasilitas refinery.

oleh Merdeka.com diperbarui 30 Okt 2018, 13:45 WIB
Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro mengikuti rapat kerja dengan Komisi XI di Gedung DPR RI, Jakarta, Rabu (19/9). Bambang memaparkan pagu anggaran 2019 untuk Kementerian PPN/Bappenas turun menjadi Rp1,781 triliun. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas, Bambang Brodjonegoro, mengatakan impor bahan bakar merupakan penyebab dominan dari defisit current account atau defisit transaksi berjalan dan depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).

"Jadi impor bahan bakar adalah alasan kenapa kita mengalami masalah defisit transaksi berjalan dan masalah kenapa kita alami rupiah selalu di bawah tekanan," kata dia, dalam sambutan di Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Jakarta, Selasa (30/10/2018).

"Malaysia atau Thailand juga mengalaminya tapi mereka lebih baik di neraca perdagangan mereka," lanjut dia.

Mantan Menteri Keuangan ini menjelaskan, jika menilik komposisi impor, sebagian besar merupakan impor migas atau bahan bakar. "Jika kita lihat struktur impor didominasi oleh impor migas," ujar dia.

Dia mengatakan, berbagai kebijakan untuk meningkatkan ekspor perlu dilakukan sebagai upaya mengatasi defisit neraca perdagangan. Namun, rencana jangka pendek yang dapat dilakukan adalah dengan berupaya menekan impor.

"Meningkatkan ekspor tidak mudah. Apa yang harus kita lakukan adalah mengurangi impor," ujar dia.

Salah satu upaya menekan impor bahan bakar menurut Bambang dapat dilakukan dengan membangun fasilitas refinery. "Untuk jangka pendek pertanyaannya kenapa impor bahan bakar banyak, karena kita tidak punya cukup refinery. Butuh kesediaan politik dan juga kesediaan bisnis," kata dia.

Fasilitas refinery, kata dia, juga akan membantu Indonesia untuk mengembangkan BBM berstandar Euro 4 yang lebih ramah lingkungan. "Indonesia belum membangun kilang minyak baru selama 10 tahun terakhir. Kemampuan produksi BBM dari kilang-kilang minyak eksisting juga terus menurun," ujar dia.

"Total kapasitas kilang minyak Indonesia sebesar 1,169 juta barel per hari/MMBCD. Standar kilang minyak eksisting tersebut pun mayoritas masih pada klasifikasi Euro 2," ujar dia.

Seperti diketahui, impor migas pada September 2018 turun USD 0,77 miliar atau sekitar 25 persen dibandingkan bulan sebelumnya.

Pada September, impor migas tercatat USD 2,28 miliar dari sebelumnya USD 3,05 miliar pada Agustus 2018. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, impor migas tercatat USD 2,28 miliar pada September dari sebelumnya USD 3,05 miliar pada Agustus 2018. Impor migas turun 25,20 persen dari periode Agustus 2018.

Sementara itu, defisit transaksi berjalan mencapai 2,6 persen dari produk domestik bruto (PDB) selama semester I 2018. Pada kuartal I 2018, defisit transaksi berjalan tercatat 2,2 persen. Kemudian meningkat menjadi 3 persen pada kuartal II 2018.

Sedangkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sudah melemah 12,51 persen sepanjang tahun berjalan 2018. Hal ini berdasarkan kurs tengah Bank Indonesia (BI) dengan rupiah melemah dari 13.542 per 2 Januari 2018 menjadi 15.237 per dolar AS pada 30 Oktober 2018.

 

Reporter: Wilfridus Setu Embu

Sumber: Merdeka.com

 


Bank Dunia: Defisit Transaksi Berjalan RI Bakal Melebar

Nelayan memindahkan ikan laut hasil tangkapan di Pelabuhan Muara Angke, Jakarta, Kamis (26/10). Menurut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), ekspor produk perikanan tercatat sebanyak 510.050 ton pada semester I-2018. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, Bank Dunia meramalkan defisit transaksi berjalan atau Current Account Defisit (CAD) yang saat ini membengkak masih akan terus melebar.

Country Director World Bank Indonesia, Rodrigo Chavez, mengatakan meskipun langkah kebijakan yang menentukan dan terkoordinasi yang diambil telah secara signifikan berhasil meningkatkan ketahanan terhadap gejolak pasar keuangan.

Di sisi lain, sektor keuangan Indonesia yang dangkal serta tingkat ekspor dan investasi langsung asing yang relatif rendah menyiratkan tekanan dari arus keluar modal kemungkinan akan terus berlanjut.

"Sementara itu, defisit transaksi berjalan diperkirakan akan melebar menjadi 2,4 persen dari PDB pada tahun 2018 dan stabil pada 2,3 persen di tahun 2019," kata dia dalam acara laporan lndonesia Economic Quarterly Bank Dunia edisi September 2018 yang dirilis hari ini di kawasan Sudirman, Jakarta Pusat, Kamis (20/9/2018).

Dia menjelaskan, kondisi tersebut terjadi karena arus keluar pendapatan utama yang lebih rendah diimbangi oleh nilai tukar perdagangan (terms of trade, TOT) yang lebih lemah.

"Permintaan investasi yang terus berlanjut untuk barang modal yang diimpor, dan menurunnya pertumbuhan para mitra dagang utama," ujar dia.

Dia menyebutkan, langkah-langkah pemerintah untuk menekan defisit transaksi berjalan seperti menaikkan pajak atas 1.147 komoditas impor dan menunda proyek infrastruktur publik dinilai tidak akan memiliki dampak yang besar pada transaksi berjalan dalam waktu dekat ini. 

"Langkah-langkah tersebut sebenarnya mungkin memiliki akibat yang tidak diinginkan mengingat kebutuhan Indonesia untuk memperluas ekspor, yang mensyaratkan pemberian fasilitas impor, dan keuenjangan infrastrukturnya yang besar,” kata dia.

Dengan komitmen yang ditunjukkan oleh otoritas fiskal dan moneter terhadap stabilitas ekonomi, lanjutnya, tekanan berkelanjutan dari gejolak global kemungkinan akan menimbulkan pengetatan tambahan terhadap kondisi ekonomi makro.

"Oleh karena itu, risiko penurunan pertumbuhan ekonomi telah meningkat. Walaupun nilai mata uang yang lebih rendah akan membantu menahan defisit transaksi berjalan dan merangsang pertumbuhan ekspor," tambah dia.

Selain itu, depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat juga dapat menurunkan kepercayaan konsumen dan meningkatkan inflasi, yang mengakibatkan pertumbuhan konsumsi yang lebih lambat.

"Imbal hasil obligasi yang lebih tinggi akan menyebabkan pembiayaan yang lebih mahal bagi korporasi, yang dapat mengurangi pemulihan kredit dan investasi swasta yang sedang merebak," ujar dia.

Peningkatan proteksionisme juga menimbulkan risiko yang tinggi bagi Indonesia melalui pertumbuhan ekspor yang melambat atau melalui efek perluasan (spillover) yang negatif dari pertumbuhan regional yang lebih lambat sebagian melalui harga komoditas yang lebih lemah. 

 

 Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya