Liputan6.com, Seoul - Pengadilan tinggi Korea Selatan memutuskan pada hari Selasa, bahwa sebuah perusahaan Jepang harus memberi kompensasi kepada empat warga Negeri Ginseng atas kerja paksa selama Perang Dunia II.
Mahkamah Agung di Seoul memerintahkan Nippon Steel & Sumitomo Metal Corp untuk membayar 100 juta won (setara Rp 1,3 miliar, dengan kurs Rp 13,37 per 1 won) kepada masing-masing dari empat penggugat, demikian sebagaimana dikutip dari Al Jazeera pada Selasa (30/10/2018).
Lee Choon-shik, satu-satunya penggugat yang masih hidup, menyambut putusan tersebut dengan haru. Ia juga mengatakan hal itu terasa memilukan karena tidak bisa dirayakan oleh sesama korban kerja paksa, yang kini telah tiada.
Baca Juga
Advertisement
Menurut pengamat, putusan akhir pengadilan kemungkinan akan memiliki dampak yang signifikan terhadap hubungan Jepang dan Korea Selatan, baik secara politik dan ekonomi, karena perusahaan Negeri Matahari Terbit yang terlibat dalam tuntutan hukum serupa dapat menghadapi masalah serupa.
"Kita mungkin harus bersiap untuk tidak hanya krisis diplomatik, tetapi juga penarikan beberapa perusahaan Jepang dan penurunan investasi baru," kata Shin Beom-chul, seorang analis senior di Asan Institute for Policy Studies di Seoul.
Korea Selatan mengalami sejarah pahit yang meliputi pendudukan Jepang selama 35 tahun, yakni dari tahun 1910 hingga 1945.
Selain menguasai seluruh wilayah Semenanjung Korea, pendudukan Tokyo juga menyisakan luka mendalam pada pengadaan "wanita penghibur" yang berasal dari Korea, China, dan Filipina. Mereka dipaksa bekerja di rumah bordil selama masa perang, guna memuaskan para tentara Jepang.
Nippon Steel mengatakan pada hari Selasa, bahwa putusan terkait "sangat disesalkan" dan akan secara hati-hati meninjau apa yang disampaikan oleh pengadilan di Seoul, dengan mempertimbangkan respon pemerintah Jepang.
Kementerian luar negeri Jepang mengatakan akan memanggil duta besar Korea Selatan untuk membahas masalah terkait.
Simak video pilihan berikut:
Menggugat Sejak 2005
Keempat mantan buruh kerja paksa itu memulai gugatan pada tahun 2005, melawan Nippon Steel & Sumitomo Metal Corp, dengan tujuan mencari kompensasi dan upah yang tidak dibayar.
Kasus-kasus sebelumnya yang mereka bawa ke Jepang terganjal hak atas reparasi, yang dihentikan oleh perjanjian 1965 terkait perbaikan hubungan diplomatik di antara negara-negara di tingkat regional.
Namun pada tahun 2012, Mahkamah Agung Korea Selatan memutuskan bahwa perusahaan harus memberi kompensasi kepada penggugat.
Perusahaan itu mengajukan banding terhadap tuntutan tahun 2013 senilai 100 juta won untuk masing-masing penggugat.
Kementerian luar negeri Jepang mengatakan masalah kompensasi "diselesaikan sepenuhnya" oleh kesepakatan 1965.
Sementara di lain pihak, kementerian luar negeri Korea Selatan mengatakan pada tahun 2016, bahwa setiap penyitaan aset perusahaan dapat memicu meruncingnya hubungan dengan Jepang.
Beberapa pengamat memperingatkan bahwa ada kemungkinan bahwa kasus ini akan berkembang, memicu sentimen anti Jepang di benar warga Korea. Bahkan, hal tersebut bisa meluas hingga isu keamanan ketika Seoul perlu bekerjasama dengan Tokyo dalam menyelesaikan masalah nuklir Korea Utara.
Advertisement