Menilik Bagaimana Petani Banyumas Bersahabat dengan Paceklik

Paceklik diperkirakan tiba sekitar awal 2019, saat petani memasuki masa perawatan padi.

oleh Muhamad Ridlo diperbarui 31 Okt 2018, 08:02 WIB
Petani berfoto di dederan benih siap tanam. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Liputan6.com, Banyumas - Sartam, petani di Tinggarjaya, Kecamatan Jatilawang, Banyumas, Jawa Tengah tersenyum bungah menyambut masa tanam pertama (MT 1) 2019. Masa pengolahan dan penaburan benih hampir dimulai, sementara, hasil panen musim tanam kedua (MT 2) 2018 lalu masih utuh di gudang.

Panen masa tanam pertama 2018 lalu, petani memperoleh gabah melimpah. Pun dengan masa tanam kedua, meski kemarau tiba lebih cepat dan berakhir lebih lama dari biasanya lantaran dampak El Nino.

Petani, barangkali adalah kelompok yang tak pernah kapiran soal pangan. Secara turun-temurun, petani memiliki kebiasaan menyimpan dan baru akan menjual gabah simpanannya menjelang panen berikutnya. Tentu ada beberapa pengecualian, misalnya, didesak kebutuhan mendadak.

Ini pula yang dilakukan Sartam dan sebagian besar petani di Tinggarjaya. Alasan lainnya, mereka menunggu tibanya musim paceklik di mana harga gabah dan beras membumbung tinggi.

"Panen kedua memang lebih sedikit tapi berasnya Mentes," ucap Sartam, yang juga Ketua Gapoktan Srijaya, Senin, 29 Oktober 2018. Mentes adalah istilah Banyumas untuk menyebut gabah bernas berisi dengan rendemen tinggi.

November ini, petani mulai mempersiapkan lahan sawah. Sebagian sudah menebar benih. Tentu, pengolahan lahan ini hanya bisa dilakukan di wilayah yang teraliri irigasi.

Kebetulan, sawah seluas sekitar 370 hektare di Tinggarjaya adalah lahan yang sepanjang tahun bisa dialiri air dari Sungai Tajum, sungai yang berhulu di lereng Gunung Slamet dan membentang hingga bermuara di Serayu dan lepas ke Samudera Hindia.

Sartam menyebut, paceklik di Banyumas belum dimulai. Buktinya, harga gabah masih berkisar Rp 5,5 juta per ton atau Rp 5.500 per kilogram. Makanya, petani masih banyak menyimpan gabah mereka.

Paceklik diperkirakan tiba sekitar awal 2019, saat petani memasuki masa perawatan padi. Dan itu, hampir menyeluruh di seluruh wilayah.

Jika dihitung sejak panen raya MT 2 lalu, jarak waktunya sudah panjang, sekitar enam bulan. Saat itu lah, persediaan gabah di pasaran menipis dan tiba lah musim paceklik.


Dampak El Nino di Banyumas

Panen padi. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Bisa dipastikan, saat itu harga beras akan melonjak tinggi. Gabah pun turut terkerek, seiring paceklik dan baru akan berakhir pada masa panen raya, sekitar Maret 2019.

"Masih banyak petani yang menyimpan gabah. Nanti jualnya saat paceklik, mungkin Januari," dia menjelaskan.

Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Banyumas, Widiarso menyebut, stok beras dan gabah di Banyumas dalam status aman meski ada El Nino. Menurut dia, tak terjadi dampak signifikan munculnya fenomena yang mengubah pola musim itu.

Bahkan, cuaca kering di musim tanam kedua lalu berdampak positif dengan minimnya serangan berbagai hama. Dia bahkan berani memprediksi hasil panen petani Banyumas pada tahun 2018 ini justru meningkat.

Pasalnya, tak ada serangan hama wereng yang biasanya muncul saat kelembapan tinggi. El Nino yang cenderung kering menyebabkan kelembapan udara normal dan relatif bebas dari ancaman penyakit lainnya, seperti hawar daun, patah leher, yang disebabkan oleh serangan bakteri atau jamur.

Pada tahun 2018 ini, Banyumas menarget sebanyak 374 ibu ton Gabah Kering giling (GKG) dari luasan hamparan tanam 68 ribu hektare. Hamparan panen itu diperoleh dari luas total sawah Banyumas yang mencapai 32 ribu hektare.

Dari target itu, kini yang sudah dicapai adalah hamparan panen seluas 65 ribu hektare. Sementara, 3.000 hektare lainnya akan diperoleh dari wilayah lereng Gunung Slamet, seperti Pekuncen, Ajibarang, Cilongok, Baturraden, dan Sumbang yang petaninya selalu menanam sepanjang tahun.

"Prediksi kita malah naik, karena tidak ada serangan wereng," ucap Widiarso.

Untuk menghitung hasil panen, Dinas Pertanian menggunakan metode sampel area dan statistik pertanian, yang di Banyumas disebut dengan metode ubinan. Petugas menghitung hasil panen dari sebuah luasan tertentu, yakni ubin, dengan ukuran sekitar 14,0625 meter persegi.

Jumlah gabah yang dihasilkan dari sampel itu digunakan untuk memperkirakan hasil panen di sebuah kawasan sampel. Metode ubinan itu juga dilakukan di kawasan lain sehingga diperoleh produktivitas total gabah Banyumas.

"Kita itu target untuk produktivitas itu, sekitar 5,5 ton per hektare, dikali luas panen. Luas panen kita sekitar 68 ribu hektare. Target panen kita tinggal sedikit, karena sudah tidak ada lagi yang panen," ujar Widiarso.

 

Simak video pilihan berikut ini:

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya