KAI Ajukan Jadi Operator Kereta Cepat Jakarta-Bandung

Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia (KAI), Edi Sukmoro, mengaku proyek KCJB sebaiknya dapat diberikan kepada KAI sebagai operator tunggal.

oleh Bawono Yadika diperbarui 30 Okt 2018, 20:01 WIB
Pengunjung melihat miniatur kereta cepat di pameran Indonesia Business and Development Expo (IBD Expo) di Jakarta, Rabu (20/9). Pameran IBD Expo berlangsung dari 20-23 September 2017. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Bontang - Penentuan operator proyek kereta cepat Jakarta-Bandung (KCJB) masih menunggu waktu. Hal itu meski proyek KCJB menunjukan tren positif, yakni akuisisi lahan telah mencapai 80 persen atau 113 km dari total jalur KCJB sepanjang 142,3 km.

Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia (KAI), Edi Sukmoro, mengaku proyek KCJB sebaiknya dapat diberikan kepada KAI sebagai operator tunggal. Hal ini disebabkan berkaitan dengan keberlanjutan pelayanan perkeretaapian bagi masyarakat Indonesia ke depan.

"Kami masih menunggu untuk keputusan PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) apakah KAI menjadi operator. Saya sudah mengirim surat, saya berharap tidak ada lelang operator. Karena layanan kereta api di Indonesia itu ada sentuhan layanan publiknya," tutur dia di Bontang, Selasa (30/10/2018). 

"Bayangkan kalau kereta swasta masuk tanpa ada kolaborasi, lalu pas ada gangguan, maka dia langsung memberhentikan layanannya. Kalau KAI tidak," ia menambahkan.

Seperti diketahui PT Wijaya Karya (Persero) Tbk dalam proyek ini ditunjuk sebagai kontraktor oleh PT KCIC yang tergabung dalam HSRCC (High Speed Railway Contructors Consortium) atau Kontraktor Konsorsium Pembangunan KCJB.

Oleh sebab itu, Edi pun menjelaskan, keberadaan kereta cepat Jakarta-Bandung pasti akan diminati oleh masyarakat Indonesia. Lantaran, kata Edi, kereta untuk jurusan Jakarta-Bandung saja sudah menjadi favorit di tengah masyarakat.

"Dengan adanya kereta cepat, pasti akan dipilih oleh masyarakat. Apalagi kami sudah tidak bisa menambah lagi karena tidak ada sarana kereta," ujar dia.

Manajemen KAI pun menegaskan pihaknya ingin operasikan kereta cepat Jakarta-Bandung tanpa mitra. "Jadi kami inginnya yang mengoperasikan hanya kami, tanpa mitra yang lain," terang dia.

 


Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung Dikebut

Model berpose di sisi miniatur kereta cepat saat pameran INAPA 2017 di JIExpo Kemayoran, Jakarta, Rabu (29/3). Pameran ini berlangsung di Hall B1 JIExpo Kemayoran. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Sebelumnya, menjelang pergantian tahun menuju 2019, proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) menunjukkan tren yang semakin positif.

Hal ini ditandai dengan telah selesainya akuisisi lahan 113 km atau 80 persen dari total jalur KCJB sepanjang 142,3 km yang menghubungkan empat stasiun, yaitu: Halim, Karawang, Walini, dan Tegalluar Bandung.

Selebihnya, sisa lahan sepanjang 29,3 km akan segera dibebaskan dan dioptimalkan bagi fasilitas umum dan sosial.

Sejalan dengan itu, PT Wijaya Karya (Persero) Tbk (WIKA) yang tergabung dalam HSRCC (High Speed Railway Contractors Consortium) atau Konsorsium Kontraktor Pembangunan KCJB juga telah menerima mandatori pekerjaan awal konstruksi dari PT KCIC selaku pemilik proyek untuk lahan sepanjang 83,3 km dari lahan yang sudah diakusisi.

Direktur Utama WIKA, Tumiyana mengatakan bahwa kurang dari satu semester sejak bergulirnya drawdown (pencairan) awal dar CDB pada April lalu, percepatan pekerjaan konstruksi KCJB terus menunjukkan grafik yang meningkat.

″Hingga pekan ketiga Oktober ini, WIKA yang tergabung dalam HSRCC telah menggarap tidak kurang dari 74 persen lahan yang selesai diakuisisi,″ ujar Direktur Utama WIKA Tumiyana dalam keterangannya, Kamis 25 Oktober 2018.

Lebih lanjut, Tumiyana menjelaskan bahwa dari tanah yang sudah diserahterimakan tersebut, HSRCC telah memetakan 216 titik lokasi pekerjaan konstruksi, dimana 34 diantaranya telah dimulai konstruksi.

Konstruksi paling utama sudah dimulai pada titik-titik kritis (total 22 titik kritis), antara lain; struktur, tunnel, jembatan, dan subgrade.

″Prioritas pertama, kami fokuskan kepada titik-titik kritis karena disinilah sejatinya lokasi pekerjaan dengan tingkat risiko tinggi itu harus diselesaikan dengan kalkulasi terukur dan prudent,″ jelas dia.

Titik kritis dimaknai sebagai lokasi di mana jalur yang akan dilintasi oleh KCJB yang nantinya bersinggungan dengan fasilitas atau penunjang infrastruktur yang sudah ada sebelumnya. Oleh karenanya, dibutuhkan relokasi atau penyesuaian-penyesuaian pada fasilitas atau penunjang infrastruktur tersebut tanpa mengurangi fungsi dan esensi yang melekat.

Hal itu menjadi prioritas, mengingat karateristik KCJB dengan lajunya yang sangat cepat, memang membutuhkan perlintasan sebidang sebagai mitigasi keselamatan (safety).

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya