HEADLINE: Kejanggalan di Titik Kritis 13 Menit Sebelum Lion Air JT 610 Jatuh

Data pergerakan 13 menit pertama Lion Air JT 610 setelah lepas landas menjadi petunjuk untuk menguak penyebab jatuhnya pesawat baru itu. Kotak hitam jadi kunci.

oleh Yusron FahmiAdy AnugrahadiRizki Akbar Hasan diperbarui 31 Okt 2018, 00:00 WIB
Presiden RI, Joko Widodo (kedua kanan depan) bersama KaBasarnas Marsdya M Syaugi melihat barang temuan yang diduga milik penumpang pesawat Lion Air JT 610 di Pelabuhan JICT 2, Jakarta, Selasa (30/10). (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Liputan6.com, Jakarta - Penyebab jatuhnya Lion Air JT 610, Senin 29 Oktober 2018 masih jadi misteri. Kotak hitam atau black box, yang jadi petunjuk kunci, belum ditemukan. Juga, tidak ada petunjuk pasti apa yang terjadi pada detik-detik terakhir pesawat nahas yang menempuh rute Jakarta-Pangkalpinang itu, sebelum akhirnya berakhir di Tanjung Karawang. 

Namun, sejumlah dugaan menyeruak, terutama terkait 'titik kritis' 13 menit, sejak Boeing 737 MAX 8 itu lepas landas hingga hilang kontak.

Data situs pemantau lalu lintas udara FlightRadar24, yang merekam pergerakan JT 610, bisa dijadikan petunjuk awal.  

Pergerakan pesawat Lion Air JT 610 sebelum jatuh ke Tanjung Karawang (Flightradar24)

Menurut grafik kecepatan (kuning) dan altitude (biru) yang diungkap FlightRadar24, JT 610 hanya mencapai ketinggian 5.450 kaki setelah 3 menit 40 detik mengudara.

Selanjutnya ketinggian pesawat naik-turun antara 4.500 kaki-5.300 kaki. Saat dimintai pendapatnya, pengamat penerbangan Alvin Lie menilai, hal itu aneh.

"Operasi (penerbangan) kemarin tidak wajar," ia menyampaikan kesimpulan itu kepada Liputan6.com, Selasa (30/10/2018).

Dengan ketinggian itu, menurut dia, pesawat belum keluar dari fase take off. Fase take off biasanya dihitung sejak pesawat lepas landas hingga ketinggian 10 ribu kaki. 

Pergerakan naik-turun pesawat juga tak lazim. Pasalnya, menurut Alvin, harusnya pesawat terus naik ke atas setelah lepas landas.

Ia menjelaskan, pesawat bisa saja mempertahankan ketinggian. Namun, hal itu harus sesuai arahan air traffic controller (ATC). Biasanya ATC memberi perintah demikian bila lalu lintas udara sedang padat.

Kemungkinan ATC memperintahkan Lion Air JT 610 bertahan di ketinggian 5 ribuan kaki bisa dikesampingkan. Terlebih, sang pilot, Bhavye Suneja, sempat meminta izin ATC untuk return to base atau kembali ke bandara awal, dua menit setelah mengudara.

JT 610 kembali naik ke 5.450 kaki setelah 10 menit mengudara. Setelah itu, ketinggian JT 610 turun drastis, dengan kecepatan 345 knot--yang tercepat sejak mengudara.

Alvin mengatakan, dalam kondisi normal pesawat akan mencapai ketinggian 20 ribu kaki dalam 10 menit. "Pada ketinggian ini, penumpang sudah aman untuk melepaskan sabuk. Pesawat sudah stabil," kata dia.

Karena itu, Alvin menduga sesuatu terjadi pada JT 610. Hal itu yang menyebabkan pesawat gagal mencapai ketinggian optimum.

Pendapat senada disampaikan seorang mantan pilot senior. Dia menduga ada situasi emergensi di pesawat. Penyebabnya, tidak mungkin karena bertemu awan dan cuaca buruk. Apalagi, dalam video yang diunggah Flightradar24, tidak dijumpai kumpulan awan di sepanjang jalur Lion Air JT 610 dari Jakarta menuju Pangkalpinang.

Data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika juga menunjukan cuaca cerah saat pesawat beregister PK-LQP itu lepas landas. Naik-turun ketinggian pesawat seperti yang terjadi pada JT 610 bisa membahayakan penumpang.

"Barang atau orang yang tidak secure atau tidak terikat sabuk pengaman bisa terbanting-banting dalam kondisi seperti itu," kata mantan pilot senior maskapai ternama yang tak mau disebut namanya itu kepada Liputan6.com.

Yang pasti, belum pernyataan resmi penyebab jatuhnya JT 610. Alvin Lie juga enggan menyimpulkan masalah mesin sebagai penyebab kecelakaan. Menurutnya, menarik konklusi saat ini terlalu prematur.

Dunia penerbangan sangat kompleks. Semua aspek penerbangan harus dipertimbangkan. Karena itu, misteri 13 menit pertama JT 610 baru bisa terkuak setelah investigasi resmi Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) digelar.

Yang menjadi pekerjaan rumah tim pencari dalam waktu dekat adalah menemukan black box (kotak hitam) Lion Air JT 610. Dari sanalah, kata Alvin, akan diketahui apa yang sebenarnya terjadi.

 

Infografis 13 Menit Menegangkan (Liputan6.com/Triyasni)

Ada Masalah Serius, soal Teknis?

Sementara itu, saat dimintai pendapat, pengamat penerbangan yang juga mantan pilot senior Chappy Hakim mengaku tidak tahu pasti apa yang terjadi pada Lion Air JT 610 sesaat setelah lepas landas.

"Gangguannya apa? Enggak bisa dianalisis dengan kasat mata. Bisa jadi mesin ada gangguan, atau bisa juga hal lainnya. Banyak sebabnya. Harus nunggu black box ditemukan," ujarnya.

Namun, jika melihat data yang ada, pesawat jelas mengalami gangguan serius sehingga pilot memutuskan untuk meminta kembali ke bandara.

Chappy Hakim mengungkapkan, kejadian pilot minta kembali ke bandara menunjukkan bahwa ada masalah serius di pesawat yang tidak bisa diatasi oleh pilot atau kru pesawat.

"Itu lazim terjadi jika pilot tidak memungkinkan untuk mengatasi masalah di pesawat," ujar Chappy Hakim kepada Liputan6.com, Senin 29 Oktober 2018.

Spekulasi penyebab jatuhnya JT 610 mulai muncul, sebelum investigasi resmi Komite Nasional keselamatan Transportasi (KNKT) keluar. BBC menulis kemungkinan ada masalah teknis di balik kecelakaan itu.

Menurut catatan, pesawat yang sama juga mengalami persoalan teknis usai penerbangan kedua tujuan Denpasar-Jakarta pada Minggu 28 Oktober 2018.

Log teknis yang diperoleh BBC, menunjukan sejumlah masalah. Instrumen indikator kecepatan udara dinilai tidak akurat, ditambah muncul perbedaan altitudo di panel pilot dan kopilot.

Lion Air belum mengonfirmasi laporan itu. Kendati demikian Presiden Direktur Lion Air Group Edward Sirait membenarkan JT 610 telah 'mengalami masalah' saat terbang dari Denpasar ke Jakarta.

Namun, lebih lanjut CEO Lion Air, Edward Sirait mengatakan bahwa masalah itu "telah diselesaikan sesuai prosedur".

"Memang betul, pesawat baru tersebut pernah alami kendala teknis dan itu hal yang biasa," katanya, Senin (29/10/2018). "Saat itu memang ada kendala, tapi berhasil dan selamat pada penerbangannya yang tentunya laik untuk take off," ungkapnya.


Pesawat Baru dengan Awak Berpengalaman

Boeing 737 MAX-8 pertama di Indonesia yang dioperasikan oleh Lion Air.

Edwar Sirait menegaskan, JT 610 menggunakan pesawat buatan 2018, Boeing 737 MAX. Lion air baru mengoperasikannya sejak 15 Agustus 2018. Baru dua bulan dipakai.

Saat keberangkatan ke Pangkal Pinang, statusnya dinyatakan laik jalan. Jam terbangnya pun cukup padat. Dalam catatan Lion Air, JT 610 terbang 20 jam perhari, khusus untuk tujuan domestik. "Ini laik dipakai, namun kita masih tunggu apa kendalanya karena masih diselidiki," ujar Edward.

Penerbangan JT 610 dikendalikan Kapten Bhavye Suneja dengan kopilot Harvino. Keduanya dibantu enam awak kabin atas nama Shintia Melina, Citra Noivita Anggelia, Alviani Hidayatul Solikha, Damayanti Simarmata, Mery Yulianda, dan Deny Maula.

Pilot maupun kopilot dinilai punya cukup pengalaman menerbangkan pesawat. Kapten pilot mengantungi lebih dari 6.000 jam terbang. Sementara kopilot telah punya lebih dari 5.000 jam terbang.

Menurut Corporate Communication Lion Group, Danang Prihantoro, pesawat hilang kontak setelah lepas landas dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta pukul 06.20 WIB. Seharusnya, pesawat dijadwalkan mendarat di Pangkal Pinang pada pukul 07.10 WIB.

Setelah 13 menit mengudara, pada 06.33 WIB, pesawat Lion Air jatuh di koordinat S 5’49.052” E 107’ 06.628” atau di sekitar Karawang. Pesawat mengangkut 178 penumpang dewasa, satu penumpang anak-anak dan dua penumpang bayi, termasuk dalam penerbangan ini ada tiga pramugari sedang pelatihan dan satu teknisi. Totalnya 189 orang.

Pesawat JT 610 masuk dalam rumpun Boeing 737 MAX. Model ini dibuat untuk menggantikan Boeing 737 Next Generation. Pembuatan 737 MAX tak lepas dari persaingan dengan Airbus yang mengeluarkan seri Airbus A320neo-nya.

Pabrikan Boeing mengembangkan 737 MAX pada 30 Agustus 2011. Model Boeing 737 Max 8 pertama kali diperkenalkan ke publik oleh Lion Air Group pada 2017 silam, setelah dikirim langsung dari Boeing Company yang berbasis di Seattle, Amerika Serikat.

Pesawat itu nantinya akan menggantikan armada 737-800 milik maskapai berlogo kepala singa tersebut. Lion Air sendiri memesan total 218 unit Boeing 737 MAX 8. Pesawat itu melayani penerbangan Arab Saudi, Korea, China, dan seluruh rute domestik.

Pengembangan pada sektor mesin adalah salah satu perubahan paling signfikan dari Boeing 737 MAX 8 dan saudara-saudaranya, MAX 7 dan MAX 9. Keluarga 737 MAX memiliki mesin CFM International LEAP-1B baru yang lebih baik dan dirancang lebih ringan sehingga efisien bahan bakar.

Efisiensi dari mesin CFM International LEAP-1B baru itu dipicu oleh ukurannya yang lebih kecil dan lebih aerodinamis (membuatnya minim gaya hambat), sehingga bahan bakar yang dibakar akan jauh lebih sedikit.

Analisis Para Ahli

Sehari setelah insiden jatuhnya Lion Air JT 610, sejumlah analis di dunia penerbangan pun buka suara. Mereka mulai menganalisis penyebab petaka yang menimpa kapal terbang anyar itu.

Salah satunya Gerry Soejatman yang mengungkapnya analisisnya kepada BBC. Menurutnya, tak hanya pesawat tua yang paling berisiko tinggi celaka, burung besi baru yang 'bermasalah' juga berpeluang.

Gerry Soejatman menuturkan bahwa kendala pada pesawat baru dapat diatasi dalam tiga bulan.

"Jika itu sangat baru, kadang-kadang muncul snags atau sejumlah masalah yang akan muncul setelah armada digunakan secara rutin. Biasanya bisa disortir (dalam) tiga bulan pertama," papar Gerry Soejatman.

Dalam istilah dunia kedirgantaraan, snags adalah ragam masalah yang dirasakan oleh pilot dan kopilot saat menerbangkan pesawat. Dengan tingkat persoalan yang berbeda-beda, seperti 'getaran aneh di kokpit', 'suara mesin yang tak wajar', dan lain sebagainya.

Snags yang dirasakan pilot dan kopilot saat menerbangkan pesawat kemudian dicatat dalam 'log book' atau catatan penerbangan. Usai melakukan penerbangan, 'log book' itu kemudian diserahkan kepada teknisi maskapai agar mereka bisa menyelesaikan masalah yang dirasakan pilot saat terbang.

Analis lain, Jon Ostrower dari majalah penerbangan ternama The Air Current juga turut mengomentari insiden tersebut.

"Selalu ada masalah, termasuk pesawat baru ... itu biasa, tetapi (pada pesawat baru) masalah itu jauh dari sesuatu yang akan mengancam keselamatan sebuah pesawat terbang," ujar Jon Ostrower.

Kedua analis mengatakan masih terlalu dini untuk menarik kesimpulan pasti tentang apa yang salah dengan Penerbangan JT 610.

"Saya tidak tahu apa yang akan membuat pesawat baru ini mengalami kecelakaan. Ada banyak faktor berbeda yang dapat menyebabkan kecelakaan seperti ini," ujar Ostower.


Korban Terjebak di Badan Pesawat

Tim SAR mengevakuasi barang korban dan puing pesawat Lion Air JT 610 saat pencarian hari kedua di laut utara Karawang, Jawa Barat, Selasa (30/10). Pencarian korban Lion Air dilakukan dengan menyisiri Pantai Tanjung Pakis. (Merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Badan SAR Nasional kini memperluas pencarian tubuh JT 610. Jika sebelumnya radius operasi 5 nautical mile, kini menjadi 10 nautical mile.

Kepala Basarnas Marsekal Madya Muhammad Syaugi menduga banyak korban terjebak di pesawat Lion Air itu.

"Kenapa kita cari main body karena kita berharap masih banyak yang ada di situ. kalau itu sudah ditemukan pasti lebih banyak lagi. Mudah-mudahan hari ini ada titik temu," ujar Syaugi, Selasa (30/10/2018).

Tim SAR gabungan menggunakan alat canggih bernama Multibeam Echo Sounder untuk mempercepat pencarian. Alat ini berfungsi untuk melihat objek di dasar laut. Dia berharap penggunaan alat tersebut dapat menemukan badan pesawat.

"Apakah ada logam besar dengan scanning yang cukup luas. Ini alat pernah dipergunakan dalam pencarian korban KM Sinar Bangun di Medan," ucap Syaugi.

Sebanyak 100 orang penyelam dilibatkan, dari berbagai instansi, untuk menyisir radius pencarian. Selain ratusan personel penyelam, empat kapal dan tiga unit helikopter juga dikerahkan.

Kapal digunakan untuk mencari titik prioritas pertama dengan menggunakan alat echosounder. Sedangkan belasan kapal dioperasikan pada titik prioritas dua.

Proses pencarian ini juga mendapat perhatian dari negara asing. Direktur Kesiapsiagaan Basarnas Didi Hamzah menyebut dua negara, Singapura dan Australia, menawarkan diri bergabung dalam tim pencarian. Namun tawaran itu belum diiyakan Basarnas. Belakangan, Amerika Serikat juga menawarkan bantuan.

"Kami menilai dari kesiapan dan lokasi kejadian kami masih cukup untuk lakukan operasi SAR. Ingat ini baru hari kedua ya," tegas Didi dalam konferensi pers di Gedung Basarnas, Kemayoran, Jakarta Pusat, Selasa (30/10/2018).

Penyelidikan Butuh Waktu Lama

Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) sejauh ini belum mengungkap indikasi awal penyebab jatuhnya pesawat Lion Air JT 610 di perairan Tanjung Karawang. Sebab butuh waktu lama untuk menyelidiki jatuhnya pesawat nahas tersebut.

Penyelidik KNKT Ony Suryo Wibowo mengatakan, perlu black box Lion Air JT 610 untuk bisa memverifikasi data-data yang dikumpulkan. Data kotak yang diunduh memerlukan waktu 1-2 jam. Data itu harus kembali dicek kevalidannya.

Proses berikutnya butuh waktu lama untuk melakukan analisis, identifikasi, dan evaluasi dengan membandingkan data dari black box dengan temuan penyelidikan.

"Kalau diharapkan dipublikasikan ke masyarakat, dengan sangat menyesal dalam waktu dekat tak mungkin," kata Ony saat konferensi pers di kantornya, Gambir, Jakarta Pusat, Selasa (30/10/2018).

KNKT telah mengantongi data koordinat yang diduga menjadi lokasi blackbox pesawat Lion Air JT 610. Tim masih berusaha menyisir dengan menggunakan alat pendengar suara di bawah air.

Sesuai amanat perundang-undangan dan juga standar internasional, KNKT diberikan waktu maksimal satu tahun untuk melakukan penyelidikan. Namun, KNKT perlu membuat laporan awal dalam satu bulan yang disebut preliminary report.

"Kita akan berusaha sebisa mungkin dalam satu bulan, mengumpulkan semua data yang ada, dan ini biasanya memakan waktu cukup lama," jelas Ony.

Laporan ini berisi seperti, apakah pilot memiliki lisensi, bagaimana kondisi cuaca ketika penerbangan, bagaimana serpihan pesawat yang ditemukan, dan lokasi penemuannya.

"Mengapa kecelakaan terjadi, untuk menyelidikinya kami diberikan waktu satu tahun. Itupun kalau kita tidak membutuhkan pengetesan dari manufaktur, misalnya, di Amerika Serikat (Boeing) yang biasanya memakan waktu lebih lama," pungkasnya.

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya