Kampar - Sekitar tahun 1958-1960, ada seorang pedagang asal Minang atau Sumatera Barat (Sumbar) yang berniat untuk melakukan niaga di Teluk Meranti. Dengan menggunakan kapal yang penuh muatan barang dagangan, saudagar ini menyusuri Sungai Kampar.
Saat itu, bertepatan dengan siklus ombak Bono. Kapal saudagar Nasir itu singgah, sebelum melanjutkan perjalanannya menuju Kuala Kampar. Oleh masyarakat setempat, saudagar itu sudah diingatkan akan adanya ombak Bono.
Baca Juga
Advertisement
Namun, ia tak percaya dengan hal mistis seperti itu. Hingga akhirnya dirinya harus berhadapan dengan ganasnya ombak Bono sampai tewas dan dimakamkan di desa.
"Saat itu kami sudah memperingati bahwa akan ada Bono. Pak Nasir namanya yang baru saja singgah akan menuju Kuala Kampar yang bertepatan pada 16 bulan Bono. Engak percaya akan Bono, 2 ton muatannya habis dan (dia) dimakamkan di sini," kata Muhammad Yusuf (60), salah satu ninik mamak dari suku Piliang yang merupakan warga asli Teluk Meranti kepada Riauonline.co.id.
Baca berita menarik lainnya dari Riauonline.co.id di sini.
Bono Jantan dan Betina
Bono merupakan gelombang atau ombak yang terjadi di Muara Sungai Kampar, Kabupaten Pelalawan, Riau. Ombak Bono Sungai Kampar merupakan suatu fenomena alam akibat adanya pertemuan arus sungai menuju laut dan arus laut yang masuk ke sungai akibat pasang.
Biasanya ombak atau gelombang hanya terjadi di tepi pantai atau laut ataupun danau yang luas akibat perubahan arus air dan angin.
Ombak yang berukuran cukup besar ini dimanfaatkan wisatawan untuk bermain selancar. Maka, jika melihat orang berselancar di pantai adalah suatu hal yang sudah biasa, tetapi melihat orang berselancar di arus sungai adalah suatu hal yang luar biasa.
Bono terbesar biasanya terjadi ketika musim penghujan di mana debit air Sungai Kampar cukup besar yaitu sekitar bulan November dan Desember.
Terdapat dua lokasi di Provinsi Riau tempat munculnya ombak Bono, yaitu di Muara (Kuala) Sungai Kampar Kabupaten Pelalawan dan di Muara (Kuala) Sungai Rokan di Kabupaten Rokan Hilir.
Masyarakat setempat menyebut Bono di Kuala Kampar sebagai Bono Jantan karena lebih besar, sedangkan Bono di Kuala Rokan sebagai Bono Betina karena lebih kecil.
Bono di Kuala Kampar tersebut berjumlah tujuh, bentuknya mirip kuda yang biasa disebut dengan induk Bono. Inilah sebabnya Pemda Pelalawan menamakan kegiatan berselancar di atas Ombak Bono disebut Bekudo Bono yang diambil dari bahasa daerah, artinya menunggangi Ombak Bono.
Pada musim pasang mati, bono jantan akan pergi ke Sungai Rokan untuk menemui bono betina. Kemudian bersantai menuju ke selat Malaka. Itulah sebabnya ketika bulan kecil dan pasang mati, bono tidak ditemukan di kedua sungai tersebut.
Jika bulan mulai besar, kembalilah Bono ke tempat masing-masing, lalu main di sungai Kampar dan sungai Rokan. Semakin penuh bulan di langit, semakin gembira bono berpacu kedua sungai itu.
Muara Sungai Bono yang disebut penduduk sebagai Kuala Kampar memiliki ombak Bono yang dapat mencapai ketinggian 6-10 meter.
Advertisement
Upacara Melewati Ombak Bono
Menurut cerita Melayu lama berjudul Sentadu Gunung Laut, setiap pendekar Melayu pesisir harus dapat menaklukkan ombak Bono untuk meningkatkan keahlian bertarung mereka. Hal ini dapat masuk akal karena "mengendarai" Bono intinya bisa menjaga keseimbangan badan, di luar masalah mistis.
Dahulu, karena masih ada sifat mistis di lokasi tersebut, maka untuk mengendarai Bono harus dengan upacara "semah" yang dilakukan pagi atau siang hari. Upacara dipimpin oleh Bomo atau Datuk atau tetua kampung dengan maksud agar pengendara Bono selalu mendapat keselamatan dan dijauhkan dari segala marabahaya.
Selain itu, ada cerita mistis yang berhubungan dengan gelombang Bono ini yaitu cerita tentang Banjir Darah di Mempusun atau Mempusun Bersimbah Darah dan terbentuknya Kerajaan Pelalawan 1822 Masehi.
Sekarang, masyarakat sekitar Kuala Kampar menganggap Bono sebagai "sahabat alam". Penduduk yang berani akan "mengendarai" Bono dengan sampan mereka tidak dengan menggunakan papan selancar pada umumnya. Mengendarai sampan di atas ombak Bono menjadi suatu kegiatan ketangkasan.
Namun, kegiatan ini memiliki risiko tinggi karena ketika salah mengendarai sampan, maka sampan akan dapat dihempas oleh ombak Bono, tak jarang yang sampannya hancur berkeping-keping.
Legenda Tujuh Hantu
Masyarakat sekitar memiliki cerita-cerita dongeng yang terkait dengan adanya ombak Bono tersebut. Menurut cerita masyarakat Melayu lama, ombak Bono terjadi karena perwujudan tujuh hantu yang sering menghancurkan sampan maupun kapal yang melintasi Kuala Kampar.
Ombak besar ini sangat menakutkan bagi masyarakat sehingga untuk melewatinya harus diadakan upacara semah seperti yang telah disebutkan di atas. Ombak ini sangat mematikan ketika sampan atau kapal berhadapan dengannya.
Tak jarang sampan hancur berkeping-keping di hantam ombak tersebut atau hancur karena menghantam tebing sungai. Tak sedikit pula kapal yang berputar balik dan tenggelam akibatnya.
Menurut cerita masyarakat, dahulunya gulungan ombak ini berjumlah tujuh ombak besar dari 7 hantu. Ketika pada masa penjajahan Belanda, kapal-kapal transportasi Belanda sangat mengalami kesulitan untuk memasuki Kuala Kampar akibat ombak ini.
Salah seorang komandan pasukan Belanda memerintahkan untuk menembak dengan meriam ombak besar tersebut. Entah karena kebetulan atau karena hal lain, salah satu ombak besar yang kena tembak meriam Belanda tidak pernah muncul lagi sampai sekarang. Maka sekarang ini hanya terdapat enam gulungan besar gelombang ombak Bono.
Tujuh Hantu merupakan tujuh ombak Bono dengan formasi satu di depan dan diikuti dengan enam gelombang di belakangnya. Karena 1 ombak terbesar telah dihancurkan Belanda sehingga ombak Bono besar hanya tersisa 6 ombak dengan formasi hampir sejajar memasuki Kuala Kampar.
Secara ilmiah, Ombak Bono atau Bono Wave merupakan suatu fenomena alam, yang berasal dari pertemuan arus pasang air laut dengan arus sungai dari hulu menuju muara (hilir).
Ombak Bono merupakan salah satu peristiwa alam yang cukup langka dan jarang terjadi karena kita akan menyaksikan sebuah gelombang besar yang layaknya terjadi di tengah laut, tetapi ini terjadi di sebuah sungai air tawar.
Ombak bono terjadi diakibatkan benturan tiga arus air yang berasal dari Selat Melaka, Laut Cina Selatan, dan aliran air Sungai Kampar. Akibat benturan ini, gelombang air di muara sungai Kampar bisa mencapai ketinggian 4-5 meter dengan ditandai sebelumnya dengan suara gemuruh yang hebat.
Advertisement