Liputan6.com, Jakarta - Indonesia kembali berduka. 189 orang menjadi korban jatuhnya pesawat Lion Air JT 610 tujuan Jakarta-Pangkal Pinang pada Senin 29 Oktober 2018 di perairan Tanjung Karawang, Jawa Barat usai lepas landas pukul 06.20 WIB.
Pesawat yang jatuh setelah 13 menit mengudara itu membawa 181 penumpang dan delapan awak kabin. Di antara korban ada satu anak-anak dan dua bayi.
Hingga kini, operasi pencarian korban dan bangkai pesawat Lion Air JT 610 masih berlangsung. Memasuki hari ketiga, Basarnas sudah menyerahkan 56 kantong jenazah ke RS Polri, Kramat Jati dan sejumlah jenazah korban telah ditemukan.
Baca Juga
Advertisement
Terkait korban meninggal, pemerintah mewajibkan Lion Air memberikan santunan kepada ahli waris korban sebesar Rp 1,25 miliar sebagai bentuk tanggung jawab. Besaran santunan ini tertuang dalam Peraturan Menteri (PM) Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara.
Pada pasal 2 aturan itu disebutkan, pengangkut yang mengoperasikan pesawat udara wajib bertanggung jawab atas kerugian terhadap penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap, atau luka-luka, hilang atau rusaknya bagasi kabin, hilang, musnah atau rusaknya bagasi tercatat, hilang, musnah atau rusaknya kargo, keterlambatan angkutan udara, dan kerugian yang diderita pihak ketiga.
Kemudian di pasal 3 ayat (a) menyebutkan nilai santunan bagi korban meninggal dunia untuk transportasi pesawat udara sebesar Rp 1,25 miliar.
Ini tak hanya berlaku bagi warga negara Indonesia (WNI) tetapi juga warga negara asing (WNA) yang diketahui dua orang ikut menjadi korban jatuhnya pesawat Lion Air JT-610.
Sebenarnya, Indonesia sudah meratifikasi peraturan penerbangan sesuai Konvensi Montreal 1999 pada 2017. Dalam peraturan ini, korban meninggal dunia mendapat nilai santunan lebih dari Rp 2 miliar.
Namun besaran santunan Rp 2 miliar hanya berlaku untuk penerbangan rute luar negeri, bukan domestik. Sehingga santunan bagi para korban jatuhnya Lion Air JT-610 mengacu pada PM 77 Tahun 2011.
"Untuk kasus JT-610 ini, penerbangan domestik, jadi mengacu PM 77 Tahun 2011," tutur Direktur Angkutan Udara Kementerian Perhubungan Maria Kristi Endah Murni kepada Liputan6.com, Rabu 31 Oktober 2019.
Pembayaran santunan ini akan dilakukan jika semua data lengkap dan proses pencarian korban dinyatakan berakhir. "Ketika semua dokumen sudah lengkap. Terdiri dari surat kematian dan surat keterangan ahli waris. Setelah ada dokumen-dokumen tersebut asuransi akan proses pembayaran," tambahnya.
Jika nantinya ada korban yang tidak bisa ditemukan, keluarga korban tetap akan mendapatkan santunan, dengan mengacu pada data manifes penumpang pesawat.
Lion Air Siap Bayar
Manajemen Lion Air juga siap membayar klaim asuransi sesuai aturan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 tersebut.
"Untuk klaim asuransi kita bayar sesuai PM Nomor 77 tahun 2011 yang nilai ganti ruginya sudah ditetapkan oleh pemerintah," ujar Airport Manager Lion Air, Maulana Nursyamsu seperti dikutip dari Merdeka.com.
Akan tetapi, Lion Air masih menunggu data dan status dari para penumpang pesawat tersebut. "Kita proses setelah ada keputusan, ada data. Kita juga sudah kumpulkan nama-nama keluarganya,” ujar Direktur Umum Lion Air, Edward Sirait kepada Liputan6.com.
Edward menyatakan, jika semua penumpang dalam penerbangan JT 610 PK-LQP telah tercover asuransi sehingga mestinya tidak ada keluarga korban yang tidak mendapatkan uang asuransi.
"Kalau masalah asuransi nanti setelah ada putusan. Setiap penerbangan pasti ada asuransi, kalau tidak ada tidak bisa terbang. Semuanya sudah tercover sesuai dengan Undang-Undang (UU)," ujar dia.
Sementara itu, Lion Air menyediakan akomodasi bagi para keluarga korban yang sedang menunggu proses evakuasi. Pendiri dan CEO Lion Air, Rusdi Kirana, menuturkan, pihaknya menyiapkan fasilitas dalam bentuk uang kepada anggota keluarga yang menanti proses evakuasi.
"Memberikan mulai besok (Rabu 31 Oktober 2018) Rp 5 juta untuk biaya hidup. Kita kasih uang Rp 25 juta untuk biaya penguburan. Ini semua di luar klaim asuransi. Di luar Jasa Raharja, di luar asuransi kita," tutur dia.
"Saya tidak katakan (untuk) meringankan beban mereka. Saya memahami, tapi saya berusaha yang terbaik yang saya bisa," ujar dia pada Selasa 30 Oktober 2018.
YLKI Tuntut Tanggung Jawab Lion Air
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi meminta Kementerian Perhubungan memastikan Lion Air bertanggung penuh terhadap hak-hak penumpang sebagai korban, khususnya terkait kompensasi dan ganti rugi.
Pemberian santunan ini harus dikawal pemerintah hingga dibayarkan ke semua ahli waris korban Lion Air jatuh.
Meski YLKI menilai besaran santunan Rp 1,25 miliar dari maskapai seperti Lion Air kepada keluarga korban kecelakaan pesawat dinilai tidak cukup. Sebab, jumlah santunan ini tentunya sangat tidak sebanding dengan nyawa penumpang yang hilang.
Menurut Tulus, Lion Air juga harus bertanggung jawab terhadap masa depan ahli waris korban. Apalagi bila korban selama ini merupakan tulang punggung keluarga.
"Maskapai harus memastikan keluarga korban yang ditinggalkan tidak telantar. Jadi lebih jauh dari peraturan pemerintah. Di peraturan pemerintah tidak ada kewajiban dari maskapai memberikan jaminan pendidikan kepada ahli waris korban yang ditinggalkan. Itu perlu ada santunan dan beasiswa pendidikan. Rp 1,25 miliar itu tak bisa jamin keluarga dan ahli warisnya tidak terlantar,” kata dia.
Bila Lion Air tidak mau bertanggung jawab terhadap hal ini, ahli waris berhak menuntut secara hukum.
"Artinya dengan dibayarkan santunan bukan berarti hak konsumen untuk menuntut menjadi hilang. Karena kerugian konsumen kadang lebih besar dari nilai santunan," ujar dia.
Keluarga korban juga berhak menggugat pihak maskapai Lion Air jika ditemukan indikasi kelalaian dalam proses penerbangan yang menyebabkan jatuhnya pesawat JT 610.
Komunitas Konsumen Indonesia (KKI) David Maruhum Lumbang Tobing menuturkan, ahli waris juga dapat menggugat ke pengadilan bila ditemukan unsur lain.
"Tapi di dalam Permenhub itu yakni pasal 23, memungkinkan ahli waris menggugat ke pengadilan jika ditemukan unsur-unsur lain seperti kelalaian," tutur dia kepada Liputan6.com.
Advertisement
Uang Santunan dari Jasa Raharja
Selain santunan yang wajib dibayarkan Lion Air, keluarga korban juga akan mendapatkan uang santunan dari PT Jasa Raharja (Persero). Jumlahnya sebesar Rp 50 juta bagi korban meninggal. Hal itu berdasarkan UU Nomor 33 Tahun 1964 dan PMK Nomor 15 Tahun 2017.
Santunan itu berasal dari iuran wajib sebesar Rp 5.000 yang harus dibayar oleh setiap penumpang yang memakai pesawat. Hal itu berdasarkan pasal 8 PMK Nomor 15 Tahun 2017.
Kepala Humas PT Jasa Raharja, M.Iqbal Hasanuddin, menuturkan pihaknya menjadikan daftar manifest sebagai data awal untuk menelusuri para ahli waris penumpang. PT Jasa Raharja telah membentuk tim untuk mencari daftar ahli waris seluruh korban.
Terkait ahli waris tersebut berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 33 Tahun 1964 jo. Selain itu, juga PP Nomor 17 Tahun 1964 tentang keahliwarisan. “(Ahli waris-red) janda dan duda yang sah, anak yang sah dan orangtua yang sah,” kata Iqbal.
Hanya saja, saat ini belum bisa dilakukan proses pembayaran karena proses pencairan korban belum usai.
"Nanti, kalau sudah ada pernyataan itu, kita bisa langsung bayarkan dalam 1x24 jam,”" tutur dia.
Ia menuturkan, bagi ahli waris yang mengajukan santunan tersebut perlu didukung bukti KTP ahli waris, Kartu Keluarga (KK), surat nikah, dan akta lahir.
Sementara itu, Pengamat penerbangan Alvin Lie mengungkapkan, regulator atau dalam hal ini Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (BASARNAS) hanya tinggal menentukan ahli waris dari keluarga yang tercatat sebagai korban. Proses ini yang kemudian memakan waktu cukup lama.
"Jadi lama karena memang harus menentukan ahli warisnya saja. Yakni mengidentifikasi korban secara jelas. Itu saja sederhana," ujar dia.
Jaminan Kematian BPJS Ketenagakerjaan
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan pun memberikan jaminan perlindungan bagi pekerja. Hal itu mengingat program dalam BPJS Ketenagakerjaan menyediakan jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan hari tua dan jaminan pensiun.
Terkait jatuhnya pesawat Lion Air JT 610 PK-LQP, BPJS Ketenagakerjaan tengah dalam proses verifikasi data korban. Mengutip Antara, Selasa 30 Oktober 2018, Direktur Utama (Dirut) BPJS Ketenagakerjaan, Agus Susanto menuturkan, pihaknya sedang verifikasi data berdasarkan manifes termasuk awak pesawat yang bertugas. Pihaknya memastikan santunan akan diberikan kepada pihak yang berhak.
Dalam jaminan kematian akibat kecelakaan kerja termasuk perjalanan dinas, adalah 48 kali upah yang dilaporkan perusahaan dan peserta.
Beasiswa juga disiapkan untuk anak peserta BPJS Ketenagakerjaan yang meninggal akibat pekerjaan kerja. Besaran beasiswanya adalah untuk satu orang anak sebesar Rp 12 juta.
Gaji Pilot lebih kecil dari Co-Pilot
Namun, hal mengejutkan soal laporan Lion Air kepada BPJS Ketenagakerjan soal besaran gaji pilot dan co-pilot. Berdasarkan laporan Lion Air kepada BPJS Ketenagakerjaan, gaji pilotnya sebesar Rp 3,7 juta. Sedangkan, co-pilot Rp 20 juta.
"Sebesar Rp 3,7 juta, pilot. Co-pilotnya Rp 20 juta," tutur Agus di Rumah Sakit (RS) Bhayangkara Polri Kramat Jati, Jakarta Timur, Rabu 31 Oktober 2018.
Bila mengacu pada aturan, pilot Lion Air akan mendapatkan dana santunan kematian sekitar Rp 177 juta, sementara co-pilot sekitar Rp 960 juta.
Santunan kematian juga akan diberikan kepada pramugari yang ikut menjadi korban. Dari laporan Lion Air kepada BPJS Ketenagakerjaan, gaji pramugarinya bervariasi sebesar Rp 3,6 juta sampai dengan Rp 3,9 juta.
Agus mengakui, jika ada pertanyaan tentang besarnya perbedaan besaran gaji pegawai Lion Air tersebut yang kemudian berimbas kepada santunan kematian. Namun, pihaknya mengaku mendasarkan klaim santunan berdasarkan laporan gaji dari perusahaan.
"Tentunya kita bertanya, kenapa sih masa gajinya segitu. Demikian dasar untuk memberikan manfaat (dana) itu berdasarkan upah yang dilaporkan itu," ujar dia.
"Jadi kalau gajinya Rp 30 juta hanya dilaporkan Rp 3 juta, artinya si karyawan ini dirugikan. Seharusnya menerima 48 dikali Rp 30 juta. Ternyata hanya menerima 48 dikali Rp 3 juta," lanjut Agus.
Dia tak menampik jika selama ini ada sejumlah perusahaan yang melakukan praktik serupa.
Yakni menurunkan besaran gaji demi membayar premi BPJS Ketenagakerjaan tak terlampau besar. Ini karena perusahaan menganggap pembayaran premi sebagai beban keuangan.
Berdasarkan aturan, perusahaan harus mengeluarkan sebesar 5,7 persen dari upah pekerjanya tersebut per bulan kepada BPJS Ketenagakerjaan.
"Yang membayar premi perusahaan. Jadi perusahaan bayar preminya tiap bulan. Kalau laporannya gede, yang dibayarkan ke BPJS juga besar. Tapi sebenarnya itu hak karyawan. Misalnya gajinya Rp 100 juta, terus yang dilaporkan hanya Rp 3 juta. Tapi kehilangan 5,7 persen dikali Rp 97 juta setiap bulan itu hilang," tutur Agus.
Advertisement
Tunjangan bagi PNS yang Jadi Korban
Dari korban jatuhnya pesawat Lion Air, ada sejumlah pegawai negeri sipil (PNS). Di UU Nomor 5 tahun 2014 pasal 92 soal aparatur sipil negara (ASN) atau disebut PNS, pemerintah wajib memberikan perlindungan berupa jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian dan bantuan hukum.
Hal itu dituangkan dalam peraturan pemerintah (PP) Nomor 70 Tahun 2015 tentang jaminan kecelakaan kerja dan jaminan kematian bagi pegawai ASN.
Pada ketentuan umum PP itu disebutkan, yang dimaksud dengan pegawai ASN adalah pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) yang diangkat oleh pejabat Pembina kepegawaian dan diserahi tugas dalam suatu jabatan pemerintahan dan diserahi tugas negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangfan.
Adapun jaminan kecelakaan kerja (JKK) adalah perlindungan atas risiko kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja berupa perawatan, santunan, dan tunjangan cacat. Sementara, jaminan kematin adalah perlindungan atas risiko kematian bukan akibat kecelakaan kerja berupa santunan kematian.
Baik pemerintah pusat dan daerah wajib memberikan perlindungan berupa jaminan kecelakaan kerja dan jaminan kematian kepada peserta. Namun, peserta itu pegawai ASN yang menerima gaji yang dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah kecuali ASN di Kementerian Pertahanan dan Kepolisian RI.
Manfaat jaminan kecelakaan kerja (JKK) ini meliputi perawatan, santunan, dan tunjangan cacat. Adapun santunan yang diberikan meliputi penggantian biaya pengangkutan peserta yang mengalami kecelakaan kerja ke rumah sakit dan rumah peserta termasuk biaya pertolongan pertama pada kecelakaan, santuan sementara akibat kecelakaan kerja, santunan catat sebagian anatomis, cacat sebagian, dan cacat total tetap.
Selain itu, penggantian biaya rehabilitasi berupa alat bantu dan alat ganti bagi peserta yang badannya hilang atau tidak berfungsi akibat kecelakaan kerja, penggantian biaya gigi tiruan, santunan kematian kerja, uang duka wafat, biaya pemakaman, dan bantuan beasiswa.
"Santunan kematian kerja sebagaimana dimaksud diberikan kepada ahli waris dari peserta yang tewas sebesar 60 persen dikali 80 kali gaji terakhir yang dibayarkan satu kali," bunyi pasal 15 dari PP tersebut.
Adapun uang duka diberikan kepada ahli waris peserta sebesar enam kali gaji terakhir yang dibayarkan satu kali. Biaya pemakaman diberikan oleh pengelola program sebesar Rp 10 juta dan dibayarkan satu kali.
Menurut PP tersebut, iuran JKK ditanggung pemberi kerja sebesar 0,24 persen dari gaji peserta setiap bulan yang dibebakan pada APBN.
Pembayaran iuran JKK dan JKM berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2015 tersebut berlaku mulai Juli 2015.
Saat dikonfirmasi mengenai santunan kepada PNS, Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan Nufransa Wira Sakti menuturkan pihaknya sedang menghitung sesuai pangkat dan jabatan masing-masing.
Ini semua harus menunggu hasil identifikasi dari pihak RS Polri. “Santunan sesuai aturan PNS sedang kami siapkan,” ujar Nufransa saat dihubungi Liputan6.com.
Terkait pegawai kementerian keuangan, Menteri Keuangan Sri Mulyani menuturkan, para pegawai juga mendapatkan penghargaan berupa kenaikan tunjangan hingga Rp 50 juta yang diberikan kepada keluarga.
Selain itu, ada juga perhitungan pemberian tunjangan lain berdasarkan PP Nomor 70 Tahun 2015. “Kalau kita sesuai Peraturan Pemerintah mengenai ASN, itu mendapatkan tunjangan 48 kali gaji pokok. Tapi itu nilainya mungkin tidak terlalu banyak, karena yang dihitung gaji pokoknya,” ujar Sri Mulyani, Selasa 30 Oktober 2018.
Perbandingan dengan Negara Lain
Santunan atau kompensasi ketika terjadi kecelakaan pesawat bukanlah perkara sederhana. Lantaran tidak semua negara memberikan kepastian santunan tinggi untuk keluarga korban.
Amerika Serikat (AS) merupakan negara yang paling pro-keluarga korban. Menurut Time, AS memiliki hukum santunan paling tinggi secara rata-rata, yakni USD 4,5 juta atau setara Rp 68,5 miliar (USD 1 = Rp 15.224). Masih dari sumber yang sama, rata-rata santunan untuk korban kecelakaan pesawat di Tiongkok diperkirakan mencapai USD 500 ribu (Rp 7,6 miliar).
Santunan di Eropa juga masih lebih rendah dari AS. Setelah tragedi pesawat Germanwings Flight 9525 pada 24 Maret 2015, keluarga penumpang sempat dikabarkan marah karena santunan awal dari maskapai sangat rendah, yaitu 50 ribu euro atau Rp 865 juta (1 euro = Rp 17.313).
Akhirnya, menurut Optimalinsure.com, terdapat variasi atas pembayaran santunan Germanwings. Jumlah minimum santunan 95 ribu euro (Rp 1,6 miliar) sampai lebih dari 1 juta euro (Rp 17,3 miliar). Menurut Reuters, variasi santunan di Jerman memperhitungkan faktor seperti pendapatan.
Lebih lanjut, ketika pesawat Saratov Airline Flight 703 asal Rusia terjatuh pada 11 Februari 2018 dan menewaskan 71 orang, Rusia memberikan kompensasi sebesar USD 50 ribu (Rp 761 juta). Meski begitu, masih ada kemungkinan terdapat santunan lain.
Santunan di Pakistan relatif lebih kecil. Ketika pesawat Pakistan PK 661 jatuh pada 7 Desember 2016, Pakistan International Airlines Flight memberi santunan awal 500 ribu rupee Pakistan (Rp 57 juta). Setelahnya, keluarga korban diberikan 5 juta rupee Pakistan (Rp 571 juta).
Advertisement
Sanksi untuk Lion Air
Komisi V DPR menginginkan Lion Air mendapat sanksi berat, karena dinilai mengabaikan keselamatan penumpang sehingga mengakibatkan jatuhnya pesawat Lion Air JT-610 PK-LQP tujuan Jakarta – Pangkalpinang, Bangka Belitung, pada Senin pagi 29 Oktober 2018.
Anggota Komisi V DPR, Bambang Sekartono, mengatakan jika Lion Air terbukti melanggar keselamatan, dengan menerbangkan pesawat yang mengalami kerusakan sehingga mengakibatkan korba jiwa, pemerintah harus menjatuhkan sanksi seberat-beratnya.
"Kalau sampai melanggar, mengabaikan masalah keselamatan dengan mencoba pesawat itu dengan penumpang tanpa adanya perbaikan, maka pemerintah harus memberikan sanksi seberatnya," kata Bambang saat berbincang dengan Liputan6.com.
Bambang mengungkapkan, sanksi berat merupakan akumulasi kesalahan Lion Air yang telah dilakukan sebelumnya, jatunya pesawat JT-610 menjadi kesalahan terberat yang dilakukan maskapai tersebut. Sanksi terberat yang dimaksudnya adalah dengan mencabut izin operasi.
"Risikonya sangat besar terhadap nyawa publik, padahal seluruh tumpah darah dilindungi negara itu sudah diatur Undang-Undang. Itu berarti Lion Air sudah meremehkan nyawa karena dia mengoperasikan pesawatnya dalam kondisi buruk, kalau begitu cabut saja izinnya," paparnya.
Bambang menuturkan, Komisi V DPR akan memanggil pihak Lion Air untuk membahas jatuhnya pesawat JT-610, di perairan Teluk Karawang, Jawa Barat.
"Kami akan panggil untuk membahas masalah ini. Jadi diberikan sanksi tegas," kata dia.
Tunggu hasil KNKT
Sementara itu, Menhub Budi Karya Sumadi mengatakan masih menunggu hasil penyelidikan yang dilakukan oleh Komite Nasional Keselamatan (KNKT) terkait kecelakaan jatuhnya pesawat Lion Air JT 610 PK-LQP tersebut. Hasil penyelidikan akan digunakan sebagai landasan Kementerian Perhubungan (Kemenhub) menetapkan sanksi bagi maskapai.
"Kementerian Perhubungan hingga saat ini masih menunggu hasil penyelidikan yang dilakukan oleh KNKT. Apabila memang ada kelalaian dari pihak maskapai, kami akan memberikan sanksi tegas sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,” kata dia.
Budi menuturkan, sanksi akan diatur oleh beberapa level peraturan. Selain itu, Kemenhub juga menginstruksikan maskapai untuk memeriksa khusus kelaikudaraan pada pesawat Boeing 737 Max-8 max. Hal ini dilakukan agar performa pesawat dapat teridentifikasi.
"Sanksi itu diatur oleh beberapa level peraturan baik peraturan umum, khusus dan peraturan menteri. Ini pasti ada sanksi, namun kepada siapa sanksi ditujukan akan diklarifikasi dan dipimpin oleh KNKT. Selain itu, kami juga menginstruksikan kepada pihak maskapai untuk melakukan inspeksi pada pesawat-pesawat itu. Hal itu bertujuan untuk keperluan klarifikasi apakah pesawat-pesawat itu cukup baik, atau terdapat masalah,” ujar dia.
Budi menuturkan, sanksi dapat ditujukan kepada berbagai pihak seperti pada manajemen, anggota direksi, maupun korporasi. Namun, saksi tersebut tidak mungkin diberikan saat ini.
"KNKT akan bekerja sangat profesional dengan cepat dan menetapkan siapa yang harus bertanggung jawab terkait kecelakaan ini. Dengan adanya inspeksi pesawat pun otomatif pesawat Lion Air saat ini tidak beroperasi namun itu tidak dikatakan sebagai sanksi final yang diberikan,” kata dia.
(Wilfridus Setu Embu, Raynaldo G)