Defisit APBN 2019 Dapat Jaga Ketahanan Fiskal Negara

Menkeu Sri Mulyani menuturkan defisit yang dijaga lebih rendah ini bertujuan untuk menjaga ketahanan fiskal.

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 31 Okt 2018, 22:41 WIB
Menteri Keuangan Sri Mulyani (dua kiri) saat Rapat Paripurna DPR di Jakarta, Rabu (31/10). Meski disertai sejumlah catatan, DPR menyetujui RUU APBN 2019 beserta Nota Keuangannya menjadi UU. (Liputan6.com/JohanTallo)

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, menyebutkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2019 (APBN 2019) tetap bersifat ekspansi dengan defisit ditetapkan sebesar Rp 296 triliun, atau 1,84 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

"Defisit ini lebih rendah dari outlook 2018 sebesar 2,12 persen terhadap PDB atau sebesar Rp 314.2 triliun," ujar dia di Gedung Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Jakarta, Rabu (31/10/2018).

Dia mengatakan, defisit yang dijaga lebih rendah ini bertujuan untuk menjaga ketahanan fiskal, disertai dengan rencana penarikan utang yang semakin menurun dan secara terukur, dikelola secara transparan, akuntabel, serta sesuai standar internasional. 

"Upaya menjaga keberlanjutan fiskal juga terlihat dari defisit keseimbangan primer yang mencapai Rp 20,1 triliun, yang jauh lebih rendah dibandingkan outlook APBN 2018," tutur dia.

Dia menuturkan, rasio defisit APBN dan defisit keseimbangan primer ini menjadi yang terendah sejak 2013 silam.

"Defisit keseimbangan primer yang konsisten turun menuju positif ini memberikan bukti kuat sekaligus sinyal positif bahwa pengelolaan APBN selama ini telah berada pada jalur yang tepat," ujar dia.

Dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) APBN 2019 yang disetujui DPR Rabu siang, pendapatan negara ditetapkan sebesar Rp 2.165,1 triliun dan anggaran belanja Rp 2.461,1 triliun. Dengan demikian, defisit anggaran tahun depan menjadi sebesar Rp 296 triliun.

Untuk menutup defisit APBN 2019, Sri Mulyani melanjutkan, pembiayaan anggaran berasal dari utang yang ditetapkan sebesar Rp 296 triliun atau turun 5,8 persen dari outlook APBN tahun 2018. 

"Pembiayaan anggaran berasal dari pembiayaan utang baik berupa Surat Berharga Negara (SBN) Konvensional dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). Pembiayaan utang tersebut tumbuh negatif sebesar minus 7,3 persen dari outlook APBN tahun 2018," urainya.

Selain itu, ia menambahkan, pembiayaan anggaran ini juga bertujuan untuk kegiatan investasi. "Pembiayaan investasi tahun 2019 ditujukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan, infrastruktur, dan daya saing ekspor serta peran Indonesia di dunia internasional," sambung dia.

Sri Mulyani kembali mengulang, pembiayaan melalui utang hanya merupakan instrumen fiskal untuk menuju tujuan pembangunan yang menjadi cita-cita bangsa. 

"Pembiayaan utang tahun 2019 menurun dari tahun-tahun sebelumnya dan bahkan menjadi yang terendah dari 5 tahun terakhir. Hal ini mencerminkan APBN yang semakin sehat dan mandiri," ujar dia.

 


Sri Mulyani Buka-bukaan soal Utang Indonesia Selama 4 Tahun Terakhir

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani saat memberi keterangan di Istana Negara, Jakarta, Rabu (23/5). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menjelaskan kondisi utang Indonesia selama 4 tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo- Wakil Presiden Jusuf Kalla. Pemerintah dikatakan telah mengelola utang dengan baik untuk menghasilkan hal yang produktif.

Selama empat tahun, utang Indonesia tumbuh sekitar Rp 1.329 triliun. Angka ini memang tumbuh jika dibandingkan dengan periode 2012 hingga 2014 sebesar Rp 799,8 triliun. Meski demikian, pertumbuhan utang disertai dengan balanja produktif diberbagai sektor.

"Ada juga yang mempertanyakan apakah utang kita untuk hal yang produktif. Ada beberapa pengamat menyampaikan. Periode 2012 sampai 2014, kenaikan utang antara Rp 799,8 triliun dan periode 2015 sampai 2017 adalah Rp 1.329 triliun. Nominalnya besar, dan orang membuat cerita itu. Sengaja ceritanya diputus di situ saja. Dipakai untuk apakah ini? Lihat sisi belanjanya," ujar dia di Kantor Sekretariat Negara, Jakarta, Selasa 23 Oktober 2018.

Sri Mulyani menjelaskan, pada periode 2012 hingga 2014 belanja infrastruktur hanya Rp 456 triliun selama 3 tahun. Saat ini, belanja infrastruktur mencapai Rp 904,6 triliun atau tumbuh dua kali lipat.

Sementara untuk dana pendidikan, bila dulu hanya Rp 983 triliun untuk 3 tahun, sekarang Rp 1.167 triliun atau naik 118 persen.

"Belanja pendidikan kan bukan belanja yang tidak produktif, jadi jangan dilihat cuma infrastruktur. Belanja kesehatan juga naik, dari Rp 146 triliun menjadi Rp 249,8 triliun atau naik 170 persen. Itu juga belanja produktif, walaupun bentuknya bukan jembatan atau jalan. Belanja untuk melindungi masyarakat miskin, jelas produktif," jelasnya.

Selanjutnya, perlindungan sosial pada 2012 hingga 2014 hanya Rp 35 triliun. Saat ini belanja sampai Rp 299,6 triliun, artinya tumbuh 8 kali lipat.

"Makanya kalau dilihat kemiskinan turun, gini ratio makin mengecil artinya makin merata. Wong hasilnya jelas, kok. Penurunan kemiskinan tidak datang begitu saja, tapi melalui program," kata Sri Mulyani.

Selain melakukan pembiayaan terhadap sektor tersebut, pemerintah juga mengalokasikan belanja terhadap transfer ke daerah. Pemerintahan sebelumnya, transfer ke daerah (TKD) hanya Rp 88 triliun, sekarang menjadi Rp 315,9 triliun.

"Ada juga beberapa pengamat yang lupa kami , sering itu tidak dihitung sebagai belanja produktif. Dalam TKD, ada mandatori 25 persen untuk infra, 20 persen untuk pendidikan, 10 persen untuk kesehatan. Kalau TKD dulu hanya Rp 88 triliun, sekarang jadi Rp 315,9 triliun. Kalau mau membandingkan apel dengan apel, tidak hanya tambahan utang. Tapi, bandingkan untuk apanya. Jadi, menggambarkan seluruh cerita secara menyeluruh," kata Sri Mulyani.

Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia tersebut menambahkan, dari jumlah belanja tersebut pemerintah tidak mengandalkan utang untuk menopang belanja. Dia menugaskan, utang hanya suplemen sementara bagian utama penopang belanja adalah penerimaan pajak.

"Kalau belanja segitu banyak, apakah APBN tetap baik? Ya buktinya defisit makin kecil, berarti kami membelanjakan lebih banyak dari penerimaan perpajakan. Utang hanya suplemen, bukan yang utama. Penerimaan perpajakan kita jadi backbone perekonomian kita," tandasnya.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya