Produksi Industri Pengolahan Tembakau Turun 44 Persen

Saat ini industri pengolahan tembakau terpusat di tiga daerah di Indonesia.

oleh Merdeka.com diperbarui 01 Nov 2018, 16:00 WIB
Sejumlah batang rokok ilegal diperlihatkan petugas saat rilis rokok ilegal di Kantor Direktorat Jenderal Bea Cukai, Jakarta, Jumat (30/9). Rokok ilegal ini diproduksi oleh mesin dengan total produksi 1500 batang per menit. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat produksi Industri Manufaktur Mikro dan Kecil (IMK) pada kuartal III 2018 mengalami kenaikan 3,88 persen jika dibandingkan dengan kuartal yang sama tahun sebelumnya (year on year).

Meskipun demikian terjadi penurunan pertumbuhan produksi sejumlah industri. Salah satu industri yang mengalami penurunan pertumbuhan produksi cukup dalam yakni industri pengolahan tembakau.

Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto mengatakan, penurunan pertumbuhan produksi industri tembakau pada kuartal III 2018 dibandingkan kuartal III 2017 sebesar 44,78 persen.

"Year on year turun karena cuaca saat panen kurang air sehingga pertumbuhan tembakau kurang maksimal," kata dia, di Kantornya, Jakarta, Kamis (1/11/2018).

Meskipun demikian, jelas Suhariyanto, industri pengolahan tembakau pada kuartal III 2018 tumbuh tinggi jika dibandingkan dengan dengan kuartal II 2018.

"Kalau kami bandingkan quarter to quarter naik 32,36 persen karena ini adanya di kuartal III," ujarnya.

Suhariyanto mengatakan, saat ini industri pengolahan tembakau terpusat di tiga daerah di Indonesia, yakni di provinsi, Jawa Tengah (Temanggung), Jawa Timur (Madura), dan Nusa Tenggara Barat.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Petani Minta Tunda Penyederhanaan Tarif Cukai Tembakau

Sejumlah batang rokok ilegal diperlihatkan petugas saat rilis rokok ilegal di Kantor Direktorat Jenderal Bea Cukai, Jakarta, Jumat (30/9). Rokok ilegal ini diproduksi oleh mesin dengan total produksi 1500 batang per menit. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Petani tembakau menilai kebijakan penyederhanaan (simplifikasi) tarif cukai rokok berpotensi merugikan petani. Oleh sebab itu, petani meminta agar pemerintah menunda dan mengkaji ulang kebijakan tersebut.

Ketua DPN Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI), Agus Parmuji, mengatakan penerapan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 146 Tahun 2017 terkait simplifikasi tarif cukai tembakau perlu mempertimbangkan dan memperhatikan dampaknya secara keseluruhan, baik terhadap petani tembakau maupun industri kretek nssional.

Lantaran, implementasi simplifikasi tarif cukai berpeluang berdampak langsung terhadap petani tembakau, juga menurunkan penerimaan negara dari cukai rokok.

Dia menuturkan, PMK 146/2017 tersebut mengatur penggabungan golongan Sigaret Putih Mesin (SPM) dengan Sigaret Kretek Mesin (SKM), termasuk penggabungan kuota.

Jika kebijakan ini diberlakukan akan merugikan petani sebagai penjual tembakau dan pada umumnya produk kretek sebagai produk nasional.

"Simplifikasi tarif cukai akan mematikan industri kretek nasional yang merupakan penyerap tembakau petani lokal, bahkan nasional," ujar dia di Jakarta, Jumat (26/10/2018).

Sementara itu, lanjut dia, klausul lain terkait penyederhanaan tarif menjadi lima layer akan mengakibatkan semua pabrikan nasional yang kategori besar hingga menengah dan kecil berpotensi gulung tikar. Lantaran pabrikan ini tidak sanggup bersaing dengan pemain besar yang sudah mempunyai merek internasional.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya