Liputan6.com, Jakarta - Perkenalkan, namanya Roland Adenga, pemuda 21 tahun yang bergetar hatinya saat mendengar lantunan sastra lisan Tanggomo untuk pertama kali oleh seorang sesepuh Gorontalo.
Sebagai generasi penerus bangsa, salah satu peserta Kapal Pemuda Nusantara 2018 ini, prihatin bagaimana budaya asli daerahnya ini tergerus zaman karena tak memiliki regenerasi.
Advertisement
Tanggomo, adalah tradisi lisan Gorontalo. Keberadaannya, diakui Roland, sulit dijumpai di tengah masyarakat. Pada masa jayanya, Tanggomo adalah media menyebarluaskan informasi yang berdasar pada fakta kepada masyarakat.
Berbekal niat luhur, akhirnya Roland bergerak untuk melestarikan sastra lisan Tanggomo dimulai dari diri sendiri. Roland belajar dari pelbagai sumber. Mulai dari serpihan naskah kuno yang dikumpulkannya dari dinas kebudayaan, mencari sumber di internet, hingga berguru langsung kepada ahli yang masih hidup, seperti Hanis Utszain.
"Beliau sudah tua sekali, beliau mentor saya, meski beliau tak lulus SD namun beliau aktivis sastra lisan Tanggomo, saya banyak diceritakan soal Tanggomo dari beliau," kata Roland saat berbincang dengan Liputan6.com, Rabu 31 Oktober 2018.
Bukan jalan mudah bagi Roland untuk bisa merangkul lebih banyak pemuda demi melestarikan sastra lisan ini. Dia pun mengaku belajar dari nol untuk akhirnya bisa menjadi seorang penutur yang lancar (fluent) untuk sastra lisan Tanggomo.
"Saya berusaha sampai saya bisa, pada saat pemilihan duta bahasa, pentas minat dan bakat saya mengambil fokus tampilkan Tanggomo dan diapresaisai," tutur pemuda bernama pena Ande ini.
Gayung bersambut, aksi Roland dengan Tanggomo-nya memukau, dan berlanjut di tingkat provinsi. Kantor Bahasa Gorontalo, sebagai wadah pelestari sastra membawanya ke jenjang lebih tinggi, yakni tingkat nasional.
Proposal diajukan Roland dengan judul "Revitalisasi Sastra Lisan Tanggomo", masuk di salah satu sekolah menengah di pedalaman Gorontalo. Dia menjangkau wilayah tersebut, karena diyakini masih banyak remaja SMA di sana yang cukup sering menggunakan bahasa asli Gorontalo untuk sehari-hari.
"Alhamdulilah untuk pertama kalinya proposal saya diapresiasi, sehingga mendatangkan badan bahasa dari Kemendikbud, sempat melakan gerakan revitalisasi bahasa sastra lisan Tanggomo di salah satu sekolah SMAN 7 Gorontalo Utara," ujarnya bangga.
Energi Positif
Roland semakin mendapat energi positif dari perjuangan melawan kepunahan sastra lisan Tanggomo. Puncaknya, banyak badan kebudayaan mulai dari tingkat kampus hingga kementerian tertarik untuk mengundangnya sebagai mentor dan pembicara. Tak sedikit pula yang inginkan jasanya sebagai tutor bahasa Tanggomo untuk tujuan regenerasi.
"Saya sampai kewalahan, tawaran banyak datang dari mana-mana, sampai ada yang mau bayar saya untuk kasih les, tapi saya tidak pernah minta, saya murni untuk bagaimana melestarikan agar Tanggomo tidak punah," tegas dia.
Selama kurang lebih satu tahun terakhir ini, akhirnya Tanggomo kembali berdenyut. Atas usaha tangan dingin Rolan dan komunitasnya, Roland kini memiliki 20 anggota tetap. Dia optimis peran pemuda dalam warisan sastra ini bisa terus dikembangkan hingga menciptakan turunan yang kokoh dan jauh dari kepunahan.
"Saya terus adakan pertemuan berkala, berlatih secara rutin, terus agar mencapai tingkat kecakapan (fluent). saya juga terus mengumpulkan naskah-naskah Tanggomo masa lalu, rencananya akan kami bukukan, dan saya juga membuat karya dalam Tanggomo," papar dia dalam usahanya untuk melestarikan Tanggomo.
Roland berharap, ke depan semakin banyak dukungan dari generasi milenial untuk ikut ber-Tanggomo, khususnya di Provinsi Gorontalo. Kepada instansi pusat, seperti pemerintah atau kementrian terkait, agar Tanggomo bisa mendapat perhatian khusus, sehingga pelestarian sastra lisan ini terus berlanjut.
Advertisement