DPR Pastikan Penyederhanaan Tarif Cukai Rokok Tetap Lanjut

Ketua Banggar DPR Aziz Syamsuddin menjelaskan Kebijakan simplifikasi diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 146/2017 Tentang Tarif Cukai Tembakau.

oleh Ilyas Istianur Praditya diperbarui 02 Nov 2018, 10:00 WIB
Petugas memperlihatkan rokok ilegal yang telah terkemas di Kantor Dirjen Bea Cukai, Jakarta, Jumat (30/9). Rokok ilegal ini diproduksi oleh mesin dengan total produksi 1500 batang per menit. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta DPR memastikan jika kebijakan penyederhanaan (simplifikasi) tarif cukai rokok tetap berlanjut. Hal ini setelah pihaknya mendapat konfirmasi dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) bahwa tidak akan ada penggantian peraturan mengenai hal itu.

Ketua Banggar DPR Aziz Syamsuddin menjelaskan Kebijakan simplifikasi diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 146/2017 Tentang Tarif Cukai Tembakau.

Kebijakan ini nantinya akan menyederhanakan tarif cukai secara bertahap sampai 2021 mendatang hingga menjadi 5 lapisan. Kemudian pada 2018 ini, jumlah lapisannya menjadi 10 layer, berkurang dari tahun 2017 lalu yang mencapai 12 layer.

"PMK 146/2017 sudah dikaji oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani guna melakukan pemerataan dan efisiensi dari sistem cukai,” kata dia, Jumat (2/11/2018).

Sementara itu, Anggota Komisi Keuangan DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Indah Kurnia, menambahkan kebijakan simplifikasi yang dibuat Kementerian Keuangan bertujuan untuk memperbaiki industri hasil tembakau. Selama ini, banyak ditemukan kecurangan yang dilakukan pabrikan rokok dalam membayar tarif cukai.

Bagi Indah, kebijakan ini menutup celah penghindaran pajak dari pabrikan besar asing dunia yang saat ini masih membayar cukai rendah dalam sistem cukai rokok yang berlaku saat ini.

"Salah satu isi dari PMK 146 adalah mempertahankan batas produksi untuk sigaret kretek tangan (SKT) yang ditetapkan sebesar 2 miliar batang/tahun utk Gol 2 dan juga penggabungan batas produksi untuk segmen sigaret kretek mesin (SKM) dan sigaret putih mesin (SPM),” tambah dia.

Donny Imam Priambodo, anggota Komisi Keuangan DPR dari Fraksi Partai Nasdem, pun sependapat dengan Indah. Oleh karena itu, dia meminta pemerintah tetap konsisten.

“Kalau ada revisi, harus jelas latar belakangnya dan kajiannya. Mengapa kebijakan yang sudah dikaji dan dikeluarkan dengan tujuan melindungi pabrikan kecil, lalu diubah? Jangan sampai Pemerintah salah sasaran,” pungkasnya.


Produksi Industri Pengolahan Tembakau Turun 44 Persen

Sejumlah batang rokok ilegal diperlihatkan petugas saat rilis rokok ilegal di Kantor Direktorat Jenderal Bea Cukai, Jakarta, Jumat (30/9). Rokok ilegal ini diproduksi oleh mesin dengan total produksi 1500 batang per menit. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat produksi Industri Manufaktur Mikro dan Kecil (IMK) pada kuartal III 2018 mengalami kenaikan 3,88 persen jika dibandingkan dengan kuartal yang sama tahun sebelumnya (year on year).

Meskipun demikian terjadi penurunan pertumbuhan produksi sejumlah industri. Salah satu industri yang mengalami penurunan pertumbuhan produksi cukup dalam yakni industri pengolahan tembakau.

Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto mengatakan, penurunan pertumbuhan produksi industri tembakau pada kuartal III 2018 dibandingkan kuartal III 2017 sebesar 44,78 persen.

"Year on year turun karena cuaca saat panen kurang air sehingga pertumbuhan tembakau kurang maksimal," kata dia, di Kantornya, Jakarta, Kamis (1/11/2018).

Meskipun demikian, jelas Suhariyanto, industri pengolahan tembakau pada kuartal III 2018 tumbuh tinggi jika dibandingkan dengan dengan kuartal II 2018.

"Kalau kami bandingkan quarter to quarter naik 32,36 persen karena ini adanya di kuartal III," ujarnya.

Suhariyanto mengatakan, saat ini industri pengolahan tembakau terpusat di tiga daerah di Indonesia, yakni di provinsi, Jawa Tengah (Temanggung), Jawa Timur (Madura), dan Nusa Tenggara Barat.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya