HEADLINE: Masalah Teknis di Malam Sebelum Kecelakaan Lion Air, Pertanda?

Sebelum kecelakaan di Tanjung Karawang, Boeing 737 MAX 8 dengan nomor registrasi PK-LQP yang dioperasikan Lion Air sempat bermasalah.

oleh Luqman RimadiNanda Perdana PutraIka DefiantiLizsa Egeham diperbarui 03 Nov 2018, 02:41 WIB
Pesawat Lion Air yang jatuh regitrasi PK-LQP jenis Boieng 737 MAX 8 jatuh di Kawarang. (Humas Lion Air)

Liputan6.com, Jakarta - Minggu malam, 28 Oktober 2018, gelagat mencurigakan ditunjukkan Boeing 737 MAX 8 dengan nomor registrasi PK-LQP yang dioperasikan Lion Air

Pertama, pesawat itu terbang molor dari jadwal. Seharusnya take off dari Denpasar pukul 19.30 Wita, baru lepas landas hampir tiga jam kemudian. Tak ayal, pendaratan di Bandara Soekarno-Hatta pun terlambat. Lion Air JT 043 baru tiba pada pukul 22.56 WIB.

Namun, itu bukan delay terparah. Data Flightradar24 menunjukkan, PK-LQP pernah mengalami keterlambatan lebih lama saat digunakan dalam penerbangan JT776, rute Denpasar-Manado pada 27 Oktober 2018. Efek dari keterlambatan sebelumnya.

Hari itu, Boeing 737 MAX 8 yang sama dipakai 5 kali terbang. Tak hanya rute domestik, tapi juga internasional. Diawali dari Tianjin, China.

Data penerbangan Boeing 737 MAX 8 dengan nomor registrasi PK-LQP yang dioperasikan Lion Air (Flightradar24)

Namun, tak seperti delay biasa, penerbangan minggu malam, dari Denpasar-Jakarta, diwarnai drama.

Pilot Lion Air JT 43 dikabarkan sempat meminta izin untuk return to base (RTB) setelah beberapa menit terbang. Namun, beberapa saat kemudian, penerbang mengabarkan pesawat sudah normal dan tak jadi kembali ke Bandara Ngurah Rai.

Panggilan saat itu dikategorikan sebagai Pan-Pan, yang digunakan dalam situasi urgent atau mendesak, tidak membahayakan jiwa dengan segera, namun membutuhkan bantuan dari petugas di darat.

Seperti dikutip dari atccommunication.com, level panggilan Pan-Pan di bawah Mayday -- dari kata m'aidez -- yang dikeluarkan dalam kondisi mengancam jiwa. Misalnya ketika penerbang kehilangan kendali atas pesawat.

Namun, belakangan, informasi tersebut dibantah pihak bandara. Kepada ABC Australia, Kepala Otoritas Bandara Wilayah IV Bali dan Nusa Tenggara, Herson mengatakan, masalah teknis ditangani di Soekarno-Hatta di mana pesawat mendarat Minggu malam.

Sementara, pejabat navigasi udara mengatakan, pilot Lion Air meminta izin mengubah ketinggian dan meminta prioritas untuk mendarat karena masalah teknis. Pihak bandara kemudian menyediakan Runway 25 untuk landing.

Entah versi mana yang benar. Yang jelas, tidak sampai 8 jam kemudian, Boeing 737 MAX yang sama lepas landas dari Cengkareng pada pukul 06.20 WIB, Senin 29 Oktober 2018.

Namun, PK-LQP dengan nomor penerbangan JT 610 tak pernah sampai ke tujuannya, Pangkal Pinang.

Di tengah penerbangan, sang pilot, Bhavye Suneja sempat meminta RTB karena masalah teknis. Izin dikeluarkan, tapi kapal terbang itu tak pernah pulang ke bandara asal. Sekitar 13 menit setelah lepas landas, PK-LQP hilang kontak. Belakangan, ia diketahui berakhir di Tanjung Karawang.

Kantung plastik mengambang di laut pascajatuhnya pesawat Lion Air JT 610 di laut utara Tanjung Pakis, Jawa Barat, Senin (29/10). Lion Air JT 610 teregistrasi dengan PK-LQP dan berjenis Boeing 737 MAX 8. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Dirut Lion Air Group Edward Sirait sebelumnya mengakui, ada masalah teknis pada penerbangan Denpasar-Jakarta. Namun, dia menyatakan masalah tersebut telah diselesaikan 'sesuai prosedur'.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Haryo Satmiko mengatakan, pihaknya telah memeriksa pilot serta kru Lion Air JT-043.

"Tim KNKT telah melakukan interview kepada kru pesawat Lion Air JT-043 rute Denpasar-Jakarta yang terbang sehari sebelum kejadian," kata dia, Jumat 2 Oktober 2018.

Infografis 13 Menit Menegangkan (Liputan6.com/Triyasni)

Sementara itu, pada Jumat 2 November 2018, tim SAR gabungan mengangkat roda pesawat Lion Air di kedalaman 32 meter. Tak jauh dari lokasi di mana bagian kotak hitam, yang diperkirakan sebagai flight data recorder (FDR) ditemukan.  

Tim penyelam juga menemukan serpihan badan pesawat, roda hingga bagian mesin yang cukup besar. Pun dengan barang-barang diduga milik penumpang. Ada pakaian, sabuk pengaman, uang dolar Singapura, foto USG, buku yasin, dan lainnya.

Hingga saat ini pencarian terhadap bagian kotak hitam kedua atau cockpit voice recorder (CVR) belum membuahkan hasil. KNKT juga butuh waktu untuk mengambil data yang tersimpan dalam FDR. 

Wakil Ketua KNKT Haryo Satmiko mengatakan, membuka FDR tidak semudah membongkar radio. Butuh ketelitian ekstra.

"Black box ini kan bukan dalam keadaan normal. Jadi penanganannya harus agak teliti karena takut datanya rusak," kata dia. 

Pada saat KNKT berupaya mendapatkan petunjuk yang bisa menguak misteri penyebab jatuhnya Lion Air nahas, sejumlah informasi berdatangan.

Salah satunya disampaikan seorang perempuan bernama Anastasia Lorinda Dorkas Mengko. Ia mendatangi Posko Basarnas, JICT II, Tanjung Priok, Jakarta Utara pada Kamis 1 November 2018.  

Pengemudi ojek online menyaksikan detik-detik sebelum pesawat Lion Air jatuh. (Merdeka.com)

Pengemudi ojek online tersebut mengaku, pada Senin, 29 Oktober 2018, sekitar pukul 06.25 WIB, ia melihat penampakan pesawat yang tak wajar. Dari depan rumahnya di Karawaci, Tangerang, terlihat burung besi yang berlubang di sisi kanan. Terbangnya pun tak lurus, melainkan miring ke kiri. 

"Di bodi pesawat ada tulisan Lion," kata dia. Perempuan itu melihat asap mengepul di bagian roda kapal terbang. "Ada lubangnya, enggak ada rodanya." Tak ada bunyi bising saat itu. Yang terdengar adalah suara 'cempreng'. 

Komisi Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) memperlakukan kesaksian Anastasia sebagai petunjuk. 


Pesawat Baru Bukan Jaminan?

Boeing 737 MAX-8 pertama di Indonesia yang dioperasikan oleh Lion Air.

Jumat siang, 2 November 2018, Presiden Jokowi kembali mengunjungi posko terpadu evakuasi Lion Air JT 610 yang berada di Jakarta International Container Terminal (JICT) 2, Tanjung Priok.

Jokowi berharap, tragedi yang menewaskan 189 orang tersebut menjadi pengingat bahwa keselamatan penumpang harus diprioritaskan. "Kita harap tidak ada lagi kecelakaan semacam ini di masa yang akan datang," tambah dia.

Tragedi Lion Air merupakan bencana penerbangan terburuk di Indonesia dalam kurun waktu lebih dari dua dekade. Sejak 1997.

Ironisnya, pesawat Lion Air PK-LQP yang celaka berjenis Boeing 737 MAX 8, produk teranyar pabrikan asal Amerika Serikat. Pesawat ini juga baru menempuh 800 jam terbang sejak digunakan Lion Air dua bulan lalu.

Sejumlah pertanyaan menyeruak seputar insiden kecelakaan itu. Apalagi, 737 MAX 8 diklaim punya fitur yang sangat canggih dibanding generasi pesawat sejenis sebelumnya.

Pengamat penerbangan Alvin Lie mengatakan, tidak ada jaminan pesawat yang terbilang baru bebas dari insiden kecelakaan.

Mantan Politikus Partai Amanat Nasional (PAN) ini menilai, layak atau tidak layaknya pesawat diterbangkan tergantung dari perawatan dan disiplin dalam menjalankan aturan seusai standar perawatan yang berlaku.

"Disiplin dalam perawatan, kemudian dalam pemeriksaan pesawat sebelum diizinkan untuk terbang lagi, dan itu semuanya sudah ada dalam peraturan dan SOP," ucap Alvin saat dihubungi Liputan6.com, Jumat (2/11/2018). 

Tidak hanya kerusakan mesin atau bagian dalam pesawat, Alvin bahkan mengatakan, pesawat dapat dikatakan tidak bisa diterbangkan karena hal-hal yang dianggap tidak terlalu signifikan.

"Bahkan pintu pesawat enggak bisa ditutup pun enggak bisa terbang, pintu bagasi enggak bisa ditutup itu sudah tidak layak terbang. Makanya, sebelum pesawat itu dirilis, ada rilis dari tim perawatan pesawat. Untuk menyatakan bahwa pesawat layak terbang itu check list-nya panjang," kata dia.

Terkait dengan rencana Kementerian Perhubungan (Kemenhub) yang akan mengaudit khusus personel atau awak Lion Air, Alvin mendukung rencana tersebut. Menurut dia audit terhadap maskapai penerbangan yang pesawatnya mengalami kecelakaan merupakan hal yang wajar.

"Di manapun di dunia, kalau ada perusahaan penerbangan yang mengalami kecelakaan, sangat mungkin safety audit dilakukan terhadap seluruh pesawatnya, terhadap pemeliharaan, terhadap prosedur pelepasan pesawat," kata dia.

Audit tersebut nantinya bisa menjadi bahan evaluasi bagi maskapai penerbangan untuk memperbaiki manajemen atau hal-hal yang dianggap menjadi kekurangan.

"Audit untuk mencegah terjadinya kejadian serupa. Ujung-ujungnya adalah untuk menjamin keselamatan penerbangan, dan output itu mungkin tidak hanya Lion Air saja, tapi bisa ke maskapai lain," ucap dia.

"Bahkan perlu (dilakukan audit), perlu dicari apa saja faktor-faktor yang berkontribusi terhadap kondisi yang menyebabkan terjadinya kecelakaan tersebut," lanjut Alvin Lie. 

Sementara itu, Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kemenhub, M Pramintohadi Sukarno, menyampaikan, pihaknya sebenarnya rutin melakukan pemeriksaan setiap bulan terkait pengoperasian pesawat udara.

"Namun untuk kali ini memang kita meningkatkan mengintensifkan proses pengawasan dan pemeriksaan. Ini juga kita lakukan terhadap pesawat-pesawat yang beroperasi. Tidak hanya khusus untuk jenis pesawat Boeing 737 MAX 8 saja," ucap dia di Jakarta, Jumat (2/11/2018).

Kementerian Perhubungan juga sudah meneliti sebanyak 11 pesawat Boeing 737 MAX 8, di mana satu diantaranya dioperasikan Garuda Indonesia, dan 10 sisanya merupakan milik Lion Air. Hasilnya, tidak ditemui gangguan teknis sehingga 11 unit pesawat itu tetap dapat dioperasikan.

"Dalam pemeriksaan (11 pesawat), ada satu pesawat yang memiliki temuan, namun berkategori minor. Itu sudah diselesaikan dalam kondisi baik," sambung Pramintohadi.

Tidak hanya Boeing 737 Max 8, Pramintohadi melanjutkan, Kemenhub akan lanjut memeriksa sekitar 30-40 persen unit pesawat yang dimiliki oleh tiap pihak maskapai penerbangan.

"Soal proses pemeriksaan pada semua maskapai yang sedang berjalan, rata-rata kita lakukan sekitar 30 persen sampai 40 persen per maskapainya," ujar dia.


Utusan Boeing

Menteri Perhubungan Budi Karya didampingi Kepala KNKT Soerjanto Tjahjono melihat Black Box atau kotak hitam pesawat Lion Air JT 610 di posko evakuasi JICT 2, Tanjung Priok, Jakarta, Kamis (1/11). (Liputan6.com/Helmi Fitriansyah)

Insiden kecelakaan pesawat Lion Air PK-LQP dengan nomor penerbangan JT 610 ini terbilang mengejutkan karena dialami pesawat jenis Boeing 737 Max 8 yang tergolong baru. Pesawat ini baru menempuh 800 jam terbang sejak digunakan Lion Air pada Agustus 2018.

Kecelakaan ini pun menimbulkan tanya, tak hanya pemerintah, namun juga dari pihak Boeing. Pemerintah, melalui Kementerian Perhubungan telah menerima utusan dari perusahaan asal pembuat pesawat asal Amerika Serikat itu.

Direktur Kelaikudaraan dan Pengoperasian Pesawat Udara Kemenhub, Capt. Avirianti mengatakan pihaknya telah menerima pihak Boeing pada Jumat siang (2/11/2018) sudah menyempatkan diri datang ke kantornya bersama utusan Lion Air.

Boeing sudah datang ke kantor kami dengan Lion Air mendiskusikan tentang temuan yang ada. Setelah itu kita akan buat license plan sambil menunggu KNKT (Komite Nasional Keselamatan Transportasi) apa yang kemarin ditulis jadi permasalah dalam buku pesawat," ujar Avirianti, Jumat (2/11/2018).

Dia mengatakan, kedatangan Boeing diwakilkan oleh dua orang staf ahli yang kemudian akan bertemu dan berdiskusi dengan tim KNKT.

"Ada dua orang (utusan ahli) Boeing, nanti akan ketemu sama KNKT. Jadi, didiskusikan sama Boeing dengan temuan yang kemarin," ungkap dia.

Selain itu, ia pun menyebutkan, pihak Boeing bakal memaparkan hasil yang terjadi bila sudah ada temuan lebih lanjut terkait Pesawat Lion Air JT 610 PK-LQP oleh KNKT.

"Boeing akan membuka nanti apa yang terjadi. Setelah KNKT menemukan sesuatu nanti Boeing masuk lagi," ujar dia.

Avirianti pun menyatakan, pihaknya hingga hari ini terus memantau seluruh maskapai yang beroperasi, khususnya untuk maskapai yang pakai pesawat Boeing 737 MAX 8.

Kita tetap monitor day by day untuk pesawat yang sedang beroperasi. Kalau kita lihat ada permasalahan signifikan, kita akan grounded bila mana memungkinkan," tegas dia. 

 

Tag Terkait

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya