Sentimen Global dan Dana Asing Topang IHSG Sepekan

Laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mampu menguat selama sepekan.

oleh Agustina Melani diperbarui 03 Nov 2018, 11:45 WIB
Indeks harga saham gabungan (IHSG) ditutup melemah 0,33% atau 18,94 poin ke level 5.693,39, Jakarta, Selasa (30/5). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mampu menguat selama sepekan. Hal itu ditopang sentimen global dan aliran dana investor asing kembali masuk ke pasar saham pada pekan ini.

Mengutip laporan PT Ashmore Assets Management Indonesia, Sabtu (3/11/2018), IHSG menanjak 2,1 persen dari posisi 5.784 pada Jumat 26 Oktober 2018 menjadi 5.906,29 pada Jumat 2 November 2018.

Selama sepekan, saham kapitalisasi besar masuk indeks saham LQ45 menanjak 3,49 persen. Investor asing beli saham USD 303 juta atau sekitar Rp 4,52 triliun (asumsi kurs Rp 14.948 per dolar AS). Hal ini turut kuatkan IHSG selama sepekan.

Di pasar obligasi, indeks obligasi menguat 0,9 persen selama sepekan. Penguatan tersebut terjadi saat rupiah kembali menguat terhadap dolar AS hingga tinggalkan posisi 15.000.

Imbal hasil obligasi pemerintah bertenor 10 tahun menjadi 8,3 persen. Investor asing beli obligasi USD 125 juta atau sekitar Rp 1,86 triliun hingga perdagangan Kamis pekan ini.

 


Sentimen Pengaruhi Pasar Keuangan

Suasana di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Senin (2/11/2015). Pelemahan indeks BEI ini seiring dengan melemahnya laju bursa saham di kawasan Asia serta laporan kinerja emiten triwulan III yang melambat. (Liputan6.com/Immanuel Antonius)

Ada sejumlah sentimen pengaruhi pasar keuangan global yang berimbas terhadap IHSG. Perang dagang masih jadi fokus perhatian pelaku pasar.

Bloomberg melaporkan, kalau Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump memerintahkan kabinetnya untuk buat draft kesepakatan perdagangan dengan China. Salah satu isu menjadi perhatian mengenai kekayaan intelektual yang diduga dicuri perusahaan China.

Selain itu, OPEC dan AS menambah pasokan baru sehingga menekan harga minyak. Pada Oktober 2018, OPEC menaikkan produksi minyak ke level tertinggi sejak 2016. Langkah Arab Saudi ini juga diikuti Uni Emirat Arab untuk antisipasi sanksi Iran.

Selain itu, Libya meski bukan bagian OPEC tetapi juga tingkatkan produksi. AS juga mencatatkan produksi sehingga lewati Rusia sebagai produsen minyak terbesar. Produksi minyak AS mencapai 11,34 juta barel per hari.

Dari sentimen internal, Badan Pusat Stastik (BPS) melaporkan inflasi Oktober 2018 capai 0,28 persen. Inflasi year on year (YoY) tercatat 3,16 persen. Sementara itu, inflasi inti naik menjadi 2,94 persen pada Oktober 2018. Sektor perumahan memberikan kontribusi 0,1 persen terhadap inflasi.

Hal ini seiring kenaikan sewa rumah dan bahan material konstruksi antara lain semen. Selain itu, makanan juga memberikan kontribusi 0,04 persen karena kenaikan harga cabai 0,09 persen dan beras 0,01 persen. Sementara itu, penyesuaian harga minyak nonsubsidi berkontribusi 0,06 persen.

Di sisi lain, realisasi investasi langsung Indonesia alami kontraksi 20,2 persen menjadi USD 6,6 miliar atau sekitar Rp 89,1 triliun pada kuartal yang berakhir September 2018. Hal itu didorong merosotnya penanaman modal asing karena investor melihat defisit perdagangan dan nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar AS.

Pada Senin depan, Indonesia akan rilis pertumbuhan ekonomi kuartal III 2018. Sedangkan dari AS, ada rilis data tenaga kerja pada Oktober 2018.


Lalu Apa yang Dicermati ke Depan?

Pekerja melintasi layar pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di BEI, Jakarta, Rabu (16/5). IHSG ditutup naik 3,34 poin atau 0,05 persen ke 5.841,46. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Lalu apa yang dicermati ke depan?

Ashmore melihat selama sepekan, aliran dana investor asing masuk ke negara berkembang termasuk Indonesia. Ini ditunjukkan dari aliran dana investor asing masuk mencapai Rp 4,5 triliun ke pasar saham dan Rp 1,9 triliun ke pasar obligasi.

Ashmore melihat ada sejumlah faktor yang membuat aliran dana investor asing kembali masuk ke pasar keuangan Indonesia antara lain potensial kesepakatan perdagangan antara AS dan China.

Selain itu, valuasi saham negara berkembang yang sudah terkoreksi ketimbang AS, dan pertumbuhan kinerja keuangan kuartal III 2018 yang lebih baik.

"Pasar proyeksikan pertumbuhan laba per saham 8-10 persen selama sembilan bulan pertama 2018, melambat ketimbang semester I 2018. Bagaimana pun hasilnya tumbuh 10 persen year on year selama sembilan bulan pertama 2018 dibandingkan empat persen selama semester I 2018. Ini ada pertumbuhan besar di properti, material, dan telekomunikasi,” tulis Ashmore.

Ashmore melihat sentimen global masih pengaruhi pasar keuangan Indonesia dalam beberapa minggu ke depan. Pada pekan ini, pasar global telah mengubah lebih banyak risiko sehingga membuat rupiah meninggalkan posisi 15.000 per dolar AS. Selain itu, imbal hasil obligasi bertenor 10 tahun turun menjadi 8, 3 persen.

Akan tetapi, aliran dana investor asing lebih kecil pada pekan ini yang mencapai Rp 1,9 triliun dari pekan lalu Rp 13 triliun. Meski demikian mampu membuat rupiah menguat terhadap dolar AS. “Kami harapkan gerakan semacam ini hingga akhir tahun,” tulis Ashmore.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya