Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah akhirnya memutuskan untuk melakukan impor jagung pakan ternak sebanyak 50.000 ton hingga 100.000 ton pada akhir tahun 2018. Impor dilakukan untuk menjaga kebutuhan para peternak
Hal tersebut diputuskan usai pemerintah melangsungkan rapat koordinasi (rakor) terbatas yang lakukan di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta pada 2 November 2018.
Advertisement
Namun pada 3 November 2018, Kementerian Pertanian (Kementan) mengklaim produksi jagung nasional mengalami surplus hingga 12,98 juta ton pipilan kering (PK) pada 2018, bahkan mengekspor jagung ke Filipina dan Malaysia sebanyak 372.990 ton.
Mengapa impor harus dilakukan sementara Kementan klaim produksi jagung surplus?
Impor Usulan Kementan
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution, menyatakan keputusan impor jagung pakan ternak hingga mencapai 100.000 ton merupakan usulan dari Kementerian Pertanian (Kementan).
Ia menilai, keputusan itu dianggap penting di tengah kenaikan harga jagung saat ini. "Ya jadi, jagung itu harganya naik. Padahal itu diperlukan dan Menteri Pertanian (Amran Sulaiman) mengusulkan ada impor. Dan itu perlu cepet untuk perusahaan peternakan kecil menengah. Terutama peternakan telur," Kata Darmin saat ditemui di Kantornya, Jakarta pada 2 November 2018.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) Kementan, I Ketut Diarmita mengatakan, keputusan impor jagung tersebut sudah disepakati oleh beberapa kementerian terkait termasuk Kementan.
Dia juga menyebutkan, keputusan impor jagung ini juga sebagai pertimbangan atas harga jagung yang saat ini kian melambung. Akibatnya, sejumlah peternak pun banyak yang merasakan keberatan. "Jagung kan mahal nih. Supaya biar terjangkau misalnya harganya sampai Rp 4.000 per kilogram kan sesuai HPP (Harga Pokok Penjualan) maka diintervensi," jelasnya.
Menurut catatannya, peternak mengeluhkan harga jagung yang terus naik dan stok yang minim di pasar. Melihat tren iklim, dan kondisi perjagungan nasional, dikhawatirkan akan terjadi krisis pasokan jagung untuk pakan yang berimbas pada tingginya harga ayam dan telur.
RI Surplus Jagung hingga Ekspor
Di sisi lain, Sekretaris Jenderal Kementerian Pertanian Syukur Iwantoro justru menyatakan hal sebaliknya. Dia berpendapat, Indonesia masih surplus sebesar 12,98 juta ton pipilan kering (PK) pada 2018, bahkan mengekspor jagung ke Filipina dan Malaysia sebanyak 372.990 ton.
"Kementan memastikan produksi jagung surplus bahkan ekspor hampir 380 ribu ton. Artinya kalau ekspor 380 ribu ton, dibandingkan dengan rencana 100 ribu ton, balance trade masih surplus," kata Syukur.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Tanaman Pangan (Ditjen TP) Kementan, produksi jagung dalam 5 tahun terakhir meningkat rata-rata 12,49 persen per tahun. Pada tahun ini, produksi jagung diperkirakan mencapai 30 juta ton pipilan kering (PK). Hal ini juga didukung oleh data luas panen per tahun yang rata-rata meningkat 11,06 persen, dan produktivitas rata-rata meningkat 1,42 persen.
Prakiraan ketersediaan produksi jagung November sebesar 1,51 juta ton dengan luas panen 282.381 hektare, Desember 1,53 juta ton dengan luas panen 285.993 hektare, tersebar antara lain di sentra produksi Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Utara, Sulawesi Utara, Sulawesi Barat, Gorontalo dan Lampung.
Sementara dari sisi kebutuhan, berdasarkan data dari Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementan, kebutuhan jagung tahun ini diperkirakan sebesar 15,5 juta ton PK, terdiri dari pakan ternak sebesar 7,76 juta ton PK, peternak mandiri 2,52 juta ton PK, untuk benih 120 ribu ton PK, dan industri pangan 4,76 juta ton PK.
Dengan demikian, Kementan menegaskan produksi jagung masih surplus 12,98 juta ton PK.
Advertisement
Benahi Data Jagung
Menanggapi kisruh data produksi jagung tersebut, Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Imelda Freddy coba meminta pemerintah untuk fokus membenahi data jagung nasional yang dinilai kurang akurat. Akibatnya, data ini mempengaruhi kebijakan produksi serta cadangan jagung.
"Ketika data salah, maka kebijakan yang dikeluarkan menjadi tidak efektif," kata Imelda seperti dikutip dari Antara.
Imelda menyampaikan, akurasi data yang bermasalah terlihat ketika pemerintah memutuskan untuk menutup impor jagung pada 2015 dengan alasan pasokan mencukupi. Penutupan keran impor jagung tersebut justru membuat para pengusaha beralih untuk mengimpor gandum sebagai bahan pakan ternak guna pengganti jagung.
Sementara Presiden Peternak Layer (ayam petelur) Nasional Ki Musbar Mesdi, juga turut mencurigai adanya data jagung yang tidak akurat karena harga komoditas ini untuk bahan pakan ternak sedang tinggi. Kondisi yang dipicu oleh keterbatasan stok jagung tersebut, menurut dia, bisa berdampak pada kenaikan harga ayam dan telur.
Ki Musbar pun meminta adanya upaya mengatasi kelangkaan pasokan, karena permintaan jagung untuk bahan pakan ternak sangat tinggi yaitu mencapai 780 ribu ton per bulan. "Ini mempertaruhkan 1,8 juta pelaku peternak unggas. Nasibnya mau dikemanakan?" keluh dia.