RI Bisa Manfaatkan Perang Dagang untuk Dorong Pertumbuhan Ekonomi

Salah satu yang bisa dimanfaatkan dari ada perang dagang ini yaitu peluang ekspor.

oleh Septian Deny diperbarui 05 Nov 2018, 20:22 WIB
Aktivitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Selasa (25/10). Kebijakan ISRM diharapkan dapat meningkatkan efisiensi pelayanan dan efektifitas pengawasan dalam proses ekspor-impor. (Liputan6.com/Immaniel Antonius)

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah harus bisa memanfaatkan gejolak ekonomi global sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi. Salah satunya dengan meningkatkan ekspor produk-produk olahan, bukan hanya ekspor barang mentah.

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Hendri Saparini mengatakan, pelemahan nilai tukar rupiah yang terjadi belakangan ini memang sebagai dampak dari krisis global terkait perang dagang Amerika Serikat (AS) dan China.

Namun beberapa negara terdampak krisis faktor eksternal saat sudah mulai bangkit dan justru memanfaatkan perang dagang tersebut.

“Seperti India, Vietnam, Thailand dan beberapa negara lain. Dan mereka bisa memanfaatkan krisis ini sehingga pertumbuhan ekonominya naik di atas enam persen. Dan Indonesia semestinya harus melakukan hal itu," ujar dia di Jakarta, Senin (5/11/2018).

Anggota Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) ini juga menyatakan, salah satu yang bisa dimanfaatkan dari ada perang dagang ini yaitu peluang ekspor. Namun sayangnya 65 persen ekspor Indonesia dari barang mentah.

"Sehingga yang menentukan pasar global. Padahal, kalau ekspornya sudah dalam bentuk barang jadi, kita bisa menjual barang dengan menyesuaikan dengan nilai produksi," ungkap dia.

Selain faktor eksternal, pelemahan rupiah terhadap dolar AS juga lantaran belum terwujudnya demokrasi ekonomi di Tanah Air.‎ Oleh sebab itu, penting bagi pemerintah untuk menyediakan lapangan kerja sebanyak-banyaknya.

"Pada Intinya, demokrasi ekonomi itu harus ada. Demokrasi ekonomi itu adalah semua orang harus ikut bergerak untuk meningkatkan perekonomian nasional. Karena, dalam UU itu sudah jelas, pemerintah berkewajiban menyediakan lapangan pekerjaan," kata dia.

Menurut Hendri, hal ini juga dilakukan guna meningkatkan taraf hidup masyarakat Indonesia. Kalau demokrasi ekonomi tersebut terbentuk dengan baik, maka kesenjangan ekonomi tidak lagi terjadi, baik di perkotaan maupun di perdesaan.

"Karena di dalam undang-undang itu sendiri sudah jelas. Bahwa negara berkewajiban memberikan lapangan pekerjaan dan kehidupan yang layak bagi warganya. Jadi hak untuk mendapatkan pekerjaan itu bukan hanya masyarakat yang memiliki pendidikan yang tinggi. Jadi masyarakat yang mau bekerja tidak perlu harus berkompetisi dulu," kata dia.

Penyediaan lapangan kerja ini, lanjut Hendri, juga harus merata untuk semua strata pendidikan. Meski hanya berpendidikan Sekolah Dasar (SD), tetapi pemerintah tetap berkewajiban menyalurkan pekerjaan yang disesuaikan dengan level pendidikannya.

“Saya rasa bagi masyarakat yang memiliki pendidikan SD juga masih memiliki potensi dalam meningkatkan ekonominya. Seperti bertani dan dan pekerjaan yang disesuaikan dengan bidangnya,” tandas dia.


Hadapi Perang Dagang, Perusahaan RI Lebih Optimistis Dibanding Negara Lain

Tumpukan peti barang ekspor impor di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Senin (17/7). Ekspor dan impor masing-masing anjlok 18,82 persen dan ‎27,26 persen pada momen puasa dan Lebaran pada bulan keenam ini dibanding Mei 2017. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Perusahaan Indonesia dinilai relatif lebih optimistis dibandingkan dengan perusahaan global lainnya untuk prospek perdagangan jangka pendek, meskipun terjadi ketegangan perdagangan global dan tingkat volatilitas. Baik perusahaan manufaktur barang maupun pemberi jasa di Indonesia setuju bahwa keberlanjutan merupakan aspek penting berlangsungnya tujuan jangka panjang mereka.

Dalam survei HSBC Navigator ditemukan bahwa ketegangan perdagangan yang sedang berlangsung telah mengalihkan sentimen pasar dalam siklus bisnis saat ini di seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Proteksionisme sebagai salah satu efek samping dari tegang-nya sektor perdagangan juga menunjukkan dampaknya di Indonesia, yang adalah target pasar ekspor dari AS dan China agar dapat mendorong tingkat komoditas perusahaan Indonesia dalam menerapkan strategi bisnis jangka panjang mereka. Pemerintah Indonesia telah berupaya menstabilkan nilai tukar.

"Namun, nilai tukar yang fluktuatif tidak menghalangi perusahaan Indonesia untuk meningkatkan prospek perdagangan jangka pendeknya," jelas Director Commercial Banking, PT Bank HSBC Indonesia Catherine Hadiman dalam keterangan tertulis, Senin (5/11/2018).

Untuk diketahui, HSBC Navigator adalah serangkaian riset tentang perdagangan internasional. Studi ini mengukur sentimen dan ekspektasi bisnis jangka pendek hingga menengah, dan mencakup bidang-bidang berikut ini, termasuk pandangan perdagangan umum, inovasi bisnis, rantai pasokan, regulasi dan kebijakan, serta inovasi data dalam bisnis.

Edisi pertama survei HSBC Navigator telah dilakukan pada awal 2018, dan sebagai lanjutan, HSBC meluncurkan versi terbaru dari HSBC Navigator – sebuah riset untuk kepercayaan dan perdagangan bisnis.

Catherine melanjutkan, dalam laporan HSBC Navigator, perusahaan-perusahaan Indonesia yakin terhadap prospek bisnis sesuai dengan prospek ekonomi Indonesia yang terus berkembang pada kecepatan sub-potensial pada paruh pertama tahun 2018. Pertumbuhan ekspor cukup kuat - terutama di Asia, dan eksportir masih menikmati lingkup perdagangan yang mendukung.

Dalam kaitannya dengan pasar yang dituju untuk ekspansi bisnis Indonesia, Malaysia menempati posisi teratas (22 persen) yang diikuti oleh Singapura dan Jepang.

Masih dari laporan HSBC Navigator, sembilan dari sepuluh responden survei (88 persen) memiliki pandangan positif terhadap lingkungan perdagangan internasional - dengan pertumbuhan ekonomi yang sehat (29 persen) dan mata uang yang lebih kompetitif (26 persen) sebagai pendorong utama.

Ditaksir di atas rata-rata global, sebanyak 87 persen responden dari perusahaan Indonesia menunjukkan keyakinan mereka bahwa perusahaan mereka akan berhasil dalam lingkungan perdagangan global saat ini.

“Pertumbuhan perilaku konsumsi masyarakat Indonesia menunjang perkembangan bisnis bagi industri terkait. Menurut HSBC Navigator, perusahaan-perusahaan Indonesia mengharapkan adanya kebijakan yang mendukung produksi guna meningkatkan daya saing – salah satunya melalui pertumbuhan nilai ekspor yang pesat tahun 2018, sejalan dengan pertumbuhan belanja dan berkurangnya investasi pribadi selama tahun ini,” ujar Catherine.

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya