Klaten - Namanya sederhana, Sartono. Usianya 55 tahun. Ia seorang tunanetra. Namun jangan salah, ia ternyata jagoan dalam membuat patung.
Sartono kehilangan fungsi penglihatannya saat masih duduk di sekolah dasar. Dokter mengatakan saraf-saraf penglihatannya mati, sehingga membuat dia tak bisa lagi melihat.
Menjadi tunanetra harus dijalani dengan penuh keikhlasan. Itulah sebabnya ia mencoba berkarya. Menjadi pematung berbahan kertas. Itu pilihan hidupnya.
Baca Juga
Advertisement
Di sudut rumahnya, aneka patung kertas disimpan. Ada patung kuda jingkrak warna merah hati. Lalu patung manusia sedang membaca koran lusuh hingga patung anjing menjulurkan lidah.
Di bagian lain, terlihat patung tokoh menyerupai Pangeran Diponegoro berpakaian serba putih menungganggi kuda hitam.
Bagaimana seorang tunanetra bisa membuat patung?
"Saya memulainya dengan imajinasi, lalu pakai rasa. Saya selalu begitu saat mulai membikin patung," kata Sartono yang akrab disapa Gendut, di rumahnya, Kampung Sekalekan, Kelurahan Klaten, Klaten Tengah, Senin, 5 November 2018.
Awas jangan terjebak, meski dipanggil Gendut, Sartono bertubuh ceking. Waktu kecil, badannya memang gemuk hingga ia dipanggil Gendut oleh tetangganya.
Kembali ke soal patung. Karya Gendut memang hasil kolaborasi imajinasi dan rasa. Ia membayangkan patung jadi itu di angan-angan. Biasanya, ia harus meraba-raba seluruh anatomi contoh patung yang ingin dibuat.
Prosesnya didorong oleh tuntutan kebutuhan hidup yang terus memburu. Maka, jadilah patung pesanan pelanggan.
"Tapi, kalau mintanya rumit, saya enggak sanggup," kata Gendut jujur.
Setelah melewati proses olah rasa, ia membuat kerangka dari anyaman bambu. Kerangka itu lalu dibalut kertas semen yang direkatkan lem kanji.
Tebal-tipis balutan kertas itu tergantung lekukan dan tonjolan patung. Semakin menonjol, semakin tebal lapisan kertas. Pada bagian paling luar, ia pakai kertas koran agar permukaannya halus.
"Kalau kertas semen supaya kuat, kertas koran untuk finishing saja," kata Gendut seakan memperkuat posisinya sebagai tunanetra mandiri.
Ikuti berita menarik lainnya di Solopos.com.
Karier 25 Tahun
Karier menjadi pematung kertas sudah dijalani dijalani 25 tahun. Hampir semua jenis patung ia buat mulai dari binatang hingga manusia dengan berbagai kegiatan. Ia juga pernah diminta membuat patung Soekarno, presiden pertama RI, untuk keperluan karnaval.
Ia membayangkan anatomi tubuh, termasuk wajah Sukarno, di umur saat menjadi presiden. Ia kesulitan membayangkan wajah Sukarno, lalu dipakailah wajah sendiri untuk menjadi acuan.
"Semua pesanan patung, saya selalu kesulitan di bagian wajah," kata dia.
Pelanggan setianya adalah seorang mantan kepala desa di Kalikotes. Kades itu sudah tiga kali memesan tiga patung kepadanya. Pesanannya yang terakhir, ia hanya diberi petunjuk agar dibuatkan buatkan patung simbah ngesot memakai caping.
"Katanya buat jaga rumah," kata Gendut.
Pesanan itu ia selesaikan sebulan. Patung jadi dan dipasang di teras rumah sang mantan kades. Sejak patung dipasang, hampir setiap tamu sang kades mengucapkan salam kepada patung itu.
Orang mengira patung itu adalah si tuan rumah. “Mungkin karena saking mirip asli sehingga orang mengira dia pemilik rumah,” timpal Gendut, terkekeh.
Patung bikinan Gendut rata-rata dijual Rp 250.000,- untuk ukuran besar, Rp75.000,- ukuran sedang, dan Rp10.000,- untuk ukuran kecil. Butuh waktu satu bulan untuk menyelesaikan patung ukuran besar.
"Tapi sejak Lebaran ini masih sepi pesanan," kata Sartono.
Perjalanannya sebagai pematung dimulai saat tetangganya membuat patung kertas. Ia tertarik belajar padanya. Namun, ia tak bisa melihat.
Lalu, ia meminta izin untuk meraba-raba semua patung bikinan tetangganya itu. Ia pelajari kerangka dari bambu, isian, hingga permukaan anatomi.
"Saya masih penasaran agar teknik sambungan itu tidak terlihat. Saya belum ketemu caranya," kata Gendut.
Simak video menarik berikut:
Advertisement