Pakar Komunikasi Minta Peserta Pemilu Tak Abaikan Etika Komunikasi

Komunikasi dalam kampanye yang dilakukan Jokowi dan Ma'ruf Amin adalah dengan cara menyapa dan mengajak dengan tutur kata santun.

oleh Liputan6.comDevira Prastiwi diperbarui 07 Nov 2018, 16:15 WIB
Cawapres Ma'ruf Amin menghadiri peringatan Hari Santri Nasional ke-2 bersama ulama se-Madura. (foto: dokumentasi tim kampanye pemenangan Jokowi-Ma'ruf)

Liputan6.com, Jakarta - Pakar Komunikasi Gunawan Witjaksana mengingatkan agar calon anggota legislatif maupun pasangan calon presiden dan wakil presiden beserta tim suksesnya tidak mengabaikan etika komunikasi dalam berkampanye.

Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Semarang ini bahkan setuju dengan pernyataan calon wakil presiden (cawapres) RI Ma'ruf Amin soal komunikasi santun menjadi salah satu faktor yang memengaruhi tingkat elektabilitas dirinya dan pasangannya calon presiden (capres) Joko Widodo di Jawa Barat.

"Saya setuju karena selain menarik perhatian, kejujuran dan etika komunikasi tidak boleh diabaikan," ujar Gunawan ketika menanggapi pernyataan cawapres RI Ma'ruf Amin seusai menerima ulama se-Jakarta Pusat di kediamannya, Jalan Situbondo, Menteng, Jakarta Pusat, seperti dikutip dari Antara, Rabu (7/11/2018).

Dia memaparkan, komunikasi dalam kampanye yang dilakukan Jokowi dan Ma'ruf Amin adalah dengan cara menyapa dan mengajak dengan tutur kata santun.

Hal itu, lanjut Gunawan, menurut Ma'ruf membuat masyarakat menjadi simpati kepada dirinya dan Jokowi.

"Karena komunikasi tidak bisa diperbaiki dan diulang, sebagaimana dikatakan dua pakar komunikasi Towne dan Alder, etika itu penting. Hal ini sesuai dengan pepatah lama ajining diri jalaran soko lathi (harga diri seseorang ditentukan oleh tutur katanya)," ucap Gunawan.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 


Komunikasi Tepat Sasaran

Ilustrasi pembicaraan orang yang seperti saling bercermin (mirroring). (Sumber Pixabay)

Gunawan mengatakan, komunikasi tepat sasaran adalah yang sesuai dengan kebutuhan aktual sasaran. Untuk itu, kata dia, perlu survei mendalam.

"Bukan menggunakan perceived needs atau kebutuhan yang dirasakan oleh komunikator, seperti yang selama ini sering dilakukan elite politik yang terlalu percaya diri," jelas Gunawan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya