Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah memutuskan segera menyelesaikan proses ratifikasi tujuh perjanjian perdagangan internasional (PPI). Penetapan ratifikasi tersebut akan ditetapkan melalui Peraturan Presiden.
Hal itu disampaikan Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Darmin Nasution pada Rabu (7/11/2018) di kantornya. Menko Darmin menggelar rapat koordinasi mengenai penyelesaian ratifikasi tujuh perjanjian perdagangan internasional di lingkup Asean dan Asean plus one FTA (Free Trade Agreement). Rapat tersebut dihadiri oleh Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita.
Adapun penetapan ratifikasi ini akan ditetapkan melalui Peraturan Presiden, yang sebelumnya ketujuh PPI ini juga secara bertahap telah disampaikan ke DPR, lebih dari 60 hari yang lalu.
"Jadi kita putuskan dalam rakor ini untuk meratifikasi 7 PPI dengan mempertimbangkan UU Perdagangan tentang Pengaturan Ratifikasi PPI. Keputusan ini juga diambil mengingat pentingnya penandatanganan perjanjian-perjanjian tersebut. Saya akan segera lapor pada Presiden dengan membawa draft Perpres yang sudah siap," ujar Darmin.
Baca Juga
Advertisement
Adapun ratifikasi tujuh perjanjian perdagangan internasional ini antara lain ASEAN Agreement on Medical Device Directive (AMDD), First Protocol to Amend the ASEAN-Australisa-New Zealand FTA (AANZFTA) dan Third Protocol to Amend the Agreement on Trade in Goods under ASEAN-Korea FTA (AKFTA).
Kemudian, Protocol to Amend the Framework Agreement under ASEAN-China FTA (ACFTA), Protocol to Implement the 9th Package of ASEAN Framework Agreement on Services (the 9th AFAS Package), dan Agreement on Trade in Service under the ASEAN-India FTA (AITISA) dan Protocol to Amend Indonesia-Pakistan PTA (IP-PTA).
Ada beberapa potensi kerugian bila Indonesia tidak meratifikasi 7 PPI tersebut. Misalnya pada perjanjian AANZFTA, akan ada dua kerugian, yaitu 11 parties akan menolak SKA (versi lama) sehingga produk Indonesia tidak dapat memanfaatkan preferensi tarif dalam AANZFTA.
"Kedua, sejak AANZFTA berlaku, Indonesia termasuk beneficiary utama. Kemudian, ekspor ke Australia yang menggunakan fasilitas AANZFTA mencapai 73,6 persen atau senilai USD 1,76 miliar dari total ekspor ke Australia senilai USD 2,35 miliar pada tahun 2017," ujar Darmin.
Kemudian pada perjanjian AITISA, Darmin mengatakan, Indonesia tidak dapat mengakses pasar tenaga profesional di sektor konstruksi, travel, komunikasi, jasa bisnis lainnya (posisi high and middle management), dan jasa rekreasi yang menjadi keunggulan Indonesia, India.
"Lalu Indonesia dapat disengketakan karena tidak menerapkan prinsip transparansi karena tidak menurunkan biaya transaksi, tidak dapat memberikan kepastian kode HS yang dikomitmenkan sebagai hasil perundingan (HS 2007 ke HS 2012), jika tidak meratifikasi perjanjian AKFTA," kata dia.
Reporter: Anggun P.Situmorang
Sumber: Merdeka.com
Kerugian Lainnya
Terkait AFAS 9, potensi kerugiannya adalah Indonesia tidak dapat mengakses pasar jasa ASEAN pada subsektor yang ditambahkan Negara-Negara ASEAN ke dalam AFAS (Indonesia menambahkan 11 subsektor). Selain itu, juga berpotensi disengketakan oleh anggota ASEAN lain yang memiliki kepentingan komersial.
"Sementara untuk perjanjian AMDD, jika Indonesia tidak meratifikasinya, maka produk ALKES Indonesia sulit dipasarkan di ASEAN dan dunia karena AMDD mengatur standar, aturan teknis dan prosedur kesesuaian penilaian yang mengharmonisasikan standar ALKES di ASEAN sesuai standar internasional," paparnya.
Adapun tiga potensi kerugian jika kita tidak meratifikasi perjanjian ACFTA adalah pertama Indonesia dapat disengketakan karena tidak mempermudah ketentuan SKA, prosedur kepabeanan dan fasilitasi perdagangan sesuai kesepakatan. Kedua, Indonesia tidak menikmati penambahan komitmen 5 subsektor jasa oleh RRT.
"Kerugian ketiga pada investment dapat mengurangi insentif investor RRT untuk berinvestasi di Indonesia karena Indonesia tidak menyederhanakan prosedur aplikasi dan persetujuan investasi, dan tidak dapat berpartisipasi dalam program promosi investasi ACFTA," kata Darmin.
Terakhir, jika republik ini tidak meratifikasi IP-PTA, setidaknya akan ada lima potensi kerugian antara lain, Pakistan akan terminate PTA sehingga Indonesia akan kehilangan pangsa pasar CPO senilai USD 1,46 miliar di Pakistan. Kedua, pangsa pasar CPO akan direbut Malaysia yang saat ini sedang meng-up-grade bilateral FTA-nya (bukan sekadar PTA) dengan Pakistan.
"Ketiga dapat menghambat rencana bersama untuk up-grade IP-PTA menjadi IP-Trade in Goods Agreement. Keempat dalam berbagai skenario persetujuan (PTA, TIGA, FTA atau CEPA), Pakistan tidak mungkin menikmati surplus neraca perdagangan dengan Indonesia. Kelima total perdagangan dengan Pakistan 2017 USD 2,63 miliar, ekspor USD 2,39 miliar, impor USD 241,1 juta dan surplus bagi Indonesia USD 2,15 miliar berpotensi hilang," ujar dia.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Advertisement