Sri Mulyani: Defisit Transaksi Berjalan Bukan Dosa

Menkeu Sri Mulyani menuturkan, pemerintah dan Bank Indonesia mencoba untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

oleh Merdeka.com diperbarui 08 Nov 2018, 13:00 WIB
Menteri Keuangan Sri Mulyani memberi paparan dalam rapat kerja dengan Badan Anggaran (Banggar) DPR di Gedung Nusantara II DPR, Kamis (31/5). Rapat terkait penyampaian kerangka ekonomi makro dan pokok kebijakan dalam RAPBN 2019. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati, menyatakan meski beberapa tahun terakhir Indonesia mengalami defisit transaksi berjalan, tapi dapat dikompensasi oleh banyaknya arus modal masuk ke Indonesia.

Dengan demikian, secara keseluruhan tetap terjadi surplus transaksi. Namun, pada saat ini defisit tersebut tidak bisa terkompensasi karena larinya arus modal dari Indonesia sebagai dampak normalisasi ekonomi global dengan adanya kebijakan kenaikan suku bunga bank sentral Amerika Serikat. Ini dampaknya terjadi pelemahan pada nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.

"Defisit transaksi berjalan bukanlah sebuah dosa, apalagi untuk negara berkembang seperti Indonesia. Sepanjang defisit tersebut memang digunakan untuk impor barang-barang yang produktif," ungkap Sri Mulyani seperti dikutip dari laman Facebooknya, Kamis (8/11/2018).

Bendahara Negara ini menyatakan, di tengah kondisi perekonomian global, Indonesia masih memiliki Produk Domestik Bruto (PDB) lebih dari Rp 1 triliun per USD dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata 5,1 hingga 5,3 persen dan inflasi yang stabil selama empat tahun terakhir pada kisaran tiga persen.

"Pemerintah dan Bank Sentral mencoba untuk meningkatkan pertumbuhan dengan tetap menjaga stabilitas ekonomi. Kebijakan fiskal digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan pembangunan nasional," kata dia.

Sementara itu, Sri Mulyani meminta pemerintah fokus untuk menginvestasikan kepada infrastruktur dan sumber daya manusia (SDM). Sektor swasta juga dilibatkan dalam pembangunan melalui Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU).

"Sebagai hasilnya, tingkat kemiskinan turun di bawah 10 persen dan gini ratio tingkat kesenjangan kemiskinan juga menurun," imbuhnya.

Dengan kondisi pembiayaan keuangan yang semakin mahal dan pengetatan likuiditas ini, pemerintah pun akan menjadi lebih berhati-hati dalam menentukan prioritas dalam projek pembangunan. Ini semua dilakukan untuk menyesuaikan dengan perkembangan ekonomi dunia yang akan menuju pada kondisi normal yang baru.

 

Reporter: Dwi Aditya Putra

Sumber: Merdeka.com


Bank Dunia: Defisit Transaksi Berjalan RI Bakal Melebar

Kapal mengangkut peti kemas dari JICT, Tanjung Priok, Jakarta, Selasa (6/11). Berdasarkan data BPS, pertumbuhan ekspor kuartal III/2018 mencapai 7,7 persen, berbanding jauh dengan kuartal III/2017 sebesar 17,26 persen. (Merdeka.com/ Iqbal S. Nugroho)

Sebelumnya, Bank Dunia meramalkan defisit transaksi berjalan atau Current Account Defisit (CAD) yang saat ini membengkak masih akan terus melebar.

Country Director World Bank Indonesia, Rodrigo Chavez, mengatakan meskipun langkah kebijakan yang menentukan dan terkoordinasi yang diambil telah secara signifikan berhasil meningkatkan ketahanan terhadap gejolak pasar keuangan.

Di sisi lain, sektor keuangan Indonesia yang dangkal serta tingkat ekspor dan investasi langsung asing yang relatif rendah menyiratkan tekanan dari arus keluar modal kemungkinan akan terus berlanjut.

"Sementara itu, defisit transaksi berjalan diperkirakan akan melebar menjadi 2,4 persen dari PDB pada tahun 2018 dan stabil pada 2,3 persen di tahun 2019," kata dia dalam acara laporan lndonesia Economic Quarterly Bank Dunia edisi September 2018 yang dirilis hari ini di kawasan Sudirman, Jakarta Pusat, Kamis, 20 September 2018.

Dia menjelaskan, kondisi tersebut terjadi karena arus keluar pendapatan utama yang lebih rendah diimbangi oleh nilai tukar perdagangan (terms of trade, TOT) yang lebih lemah.

"Permintaan investasi yang terus berlanjut untuk barang modal yang diimpor, dan menurunnya pertumbuhan para mitra dagang utama," ujar dia.

Dia menyebutkan, langkah-langkah pemerintah untuk menekan defisit transaksi berjalan seperti menaikkan pajak atas 1.147 komoditas impor dan menunda proyek infrastruktur publik dinilai tidak akan memiliki dampak yang besar pada transaksi berjalan dalam waktu dekat ini. 

"Langkah-langkah tersebut sebenarnya mungkin memiliki akibat yang tidak diinginkan mengingat kebutuhan Indonesia untuk memperluas ekspor, yang mensyaratkan pemberian fasilitas impor, dan keuenjangan infrastrukturnya yang besar,” kata dia.

Dengan komitmen yang ditunjukkan oleh otoritas fiskal dan moneter terhadap stabilitas ekonomi, lanjutnya, tekanan berkelanjutan dari gejolak global kemungkinan akan menimbulkan pengetatan tambahan terhadap kondisi ekonomi makro.

"Oleh karena itu, risiko penurunan pertumbuhan ekonomi telah meningkat. Walaupun nilai mata uang yang lebih rendah akan membantu menahan defisit transaksi berjalan dan merangsang pertumbuhan ekspor," tambah dia.

Selain itu, depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat juga dapat menurunkan kepercayaan konsumen dan meningkatkan inflasi, yang mengakibatkan pertumbuhan konsumsi yang lebih lambat.

"Imbal hasil obligasi yang lebih tinggi akan menyebabkan pembiayaan yang lebih mahal bagi korporasi, yang dapat mengurangi pemulihan kredit dan investasi swasta yang sedang merebak," ujar dia.

Peningkatan proteksionisme juga menimbulkan risiko yang tinggi bagi Indonesia melalui pertumbuhan ekspor yang melambat atau melalui efek perluasan (spillover) yang negatif dari pertumbuhan regional yang lebih lambat sebagian melalui harga komoditas yang lebih lemah. 

 

 Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya