Liputan6.com, Jakarta - Presiden Joko widodo atau Jokowi memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Abdurrahman Baswedan atau AR Baswedan. Gubernur Anies Baswedan yang merupakan cucu dari AR Baswedan berterima kasih atas pemberian gelar tersebut ke pemerintah Jokowi.
Lalu, siapa AR Baswedan?
Advertisement
AR Baswedan merupakan pejuang kemerdekaan, diplomat, dan sastrawan Indonesia. Dia lahir di Surabaya, 9 September 1908, dan merupakan peranakan Arab yang kala itu masuk dan golongan Timur Asing.
Dia merupakan anggota Badan Penyelidik Usaha dan Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Pernah menjabat Wakil Menteri Muda Penerangan RI Kabinet Sjahrir, Anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP), anggota Parlemen, serta anggota Dewan Konstituante.
Dalam AR Baswedan: Membangun Bangsa, Merajut Keindonesiaan karya Suratmin dan Didi Kwartanada, pada masa Hindia Belanda, etnis Arab terbagi menjadi dua golongan, yaitu sayid dan non-sayid. Kedua golongan ini kemudian mengorganisasikan diri menjadi Ar Rabitah (sayid) dan Al Irsyad (non-sayid). Awalnya, hanya ada satu organisasi, yaitu Jamiat Khair yang didirikan pada 7 Juli 1905.
Namun, karena perbedaan paham, Jamiat Khair terpecah. Al Irsyad didirikan pada 1915 yang memperjuangkan bahwa non-sayid sama derajatnya dengan sayid. Sedangkan Ar Rabitah Al Alawiyah didirikan pada 28 Desember 1928 yang bertujuan untuk mempertahankan garis keturunan sayid.
Selain terbagi menjadi sayid dan non-sayid, orang Arab di Hindia Belanda juga terbagi menjadi golongan Arab asli (wulaiti atau totok) dan kaum keturunan Arab (muwalad atau peranakan). Kaum Arab totok lahir dan besar di negeri Arab biasanya dari Hadramaut. Sedangkan kaum Arab peranakan biasanya berdarah campuran serta lahir dan dibesarkan di Indonesia.
Kaum Arab totok membawa kemurnian Arab seperti sifat kearaban serta budaya aslinya. Lain hal dengan Arab peranakan yang banyak mengadopsi budaya Indonesia.
Perselisihan kemudian muncul perihal tanah air. Kaum Arab totok beranggapan bahwa mereka hanya merantau di Indonesia, sedangkan tanah air mereka tetaplah Hadramaut. Sementara Kaum Arab peranakan berpendapat bahwa tanah air mereka adalah Indonesia.
Hal inilah yang mendorong AR Baswedan untuk mendirikan persatuan yang dapat menjadi pemersatu, yaitu Persatuan Arab Indonesia atau kemudian disebut Partai Arab Indonesia (PAI).
Awal ide didirikannya Persatuan Arab Indonesia (PAI) oleh AR Baswedan berangkat dari prinsip pengakuan Indonesia sebagai tanah air bagi kaum Arab peranakan. Karena, menurut AR Baswedan, sebenarnya kaum Arab peranakan sendiri belum yakin perihal Indonesia sebagai tanah air.
Menyatukan Kaum Arab
Selain itu, permasalahan di Hadramaut yang dibawa oleh Arab totok juga mengganggu pikiran AR Baswedan. Kaum totok membawa pengaruh kearaban kepada kaum peranakan yang mengganggu persatuan.
Ia kemudian mencetuskan tentang pengakuan Indonesia sebagai tanah air, yang menjadi asas Partai Arab Indonesia (PAI). Ia menulis dalam surat kabar Mata Hari berjudul “Peranakan Arab dan Totoknya”.
Kemudian, berawal dari persatuan peranakan Arab, AR mulai merintis perdamaian antara Al Irsyad dan Ar Rabitah. Perjuangan AR Baswedan tidak mudah. Perselisihan dan pertentangan kembali muncul. Hampir tidak mungkin menyatukan Arab peranakan, Al Irysad dan Ar Rabitah.
Namun, setelah melalui banyak pertemuan dan kompromi, berbagai masalah mulai teratasi, salah satunya adalah dihilangkannya gelar sayid.
Perselisihan lain kemudian juga dapat diselesaikan hingga terbentuklah Partai Arab Indonesia (PAI). Hal menarik adalah bahwa AR Baswedan terinspirasi oleh Partai Tionghoa Indonesia (PTI) dalam usaha mendirikan PAI.
Pada 1932, di Surabaya, AR Baswedan bertemu Liem Koen Hian, pemimpin redaksi harian Melayu-Tionghoa bernama Sin Tit Po. Kemudian ia bekerja sebagai jurnalis di surat kabar yang pro-pergerakan nasional itu.
Liem Koen Hian adalah wartawan dan penulis kelahiran Banjarmasin. Bersama sekelompok pemuda peranakan Tionghoa, ia mendirikan Partai Tionghoa Indonesia (PTI) pada 1932. PTI mengakui Indonesia sebagai tanah air dan aktif memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Ketika memberi tawaran AR Baswedan untuk bergabung dengan Sin Tit Po, Liem mengatakan, “Sin Tit Po bukan lagi koran Tionghoa, melainkan koran bagi bangsa kulit berwarna."
”Liem kemudian juga memberi kesempatan AR Baswedan untuk masuk sebagai anggota redaksi. Selama setahun di Sin Tit Po, AR Baswedan mengisi "Pojok Abunawas" tempat ia menuliskan kritik-kritiknya. Di surat kabar ini, ia juga bertemu Tjoa Tjie Liang, teman seperjuangannya di kemudian hari.
“(Liem) Koen Han adalah mentor AR Baswedan dalam dunia jurnalistik tahun 1930-an. Keduanya pernah tampil di antara bapak-bapak bangsa. ‘Lupakan itu Daratan China, lupakan itu Hadramaut. Tanah airmu bukan di sana, tetapi di sini, Indonesia’. Itulah filosofi keduanya,” tulis Buya Syafii Maarif dalam Kompas, 16 April 2011, yang dikutip Suratmin dan Didi Kwartanada dalam AR Baswedan: Membangun Bangsa, Merajut Keindonesiaan.
Pada 1934, AR Baswedan pindah ke Semarang dan menjabat sebagai staf redaksi harian Mata Hari. Koran Tionghoa-Melayu ini dipimpin Kwee Hing Tjiat yang mendukung gerakan kemerdekaan Indonesia. Kwee Hing Tjiat juga merupakan pencetus ide pembaruan total etnik Tionghoa ke dalam masyarakat Indonesia.
Ide-ide AR Baswedan untuk membentuk persatuan peranakan Arab memang datang dari banyak kejadian. Usaha awal untuk mencapai kerukunan peranakan Arab berlanjut ke persatuan melawan penjajah bersama kaum pergerakan nasional lain.
Sebagai kaum yang disebut sebagai “Timur Asing”, AR Baswedan membuktikan penggolongan etnis yang dibuat pemerintah Hindia Belanda dapat dipatahkan
Advertisement
Galang Dukungan Kemerdekaan di Timur Tengah
Anies Baswedan punya kenangan sendiri terkait perjuangan kakeknya saat kemerdekaan. Kakeknya yang merupakan Menteri Muda Penerangan menjadi salah satu delegasi yang ikut rombongan Menteri Muda Luar Negeri H Agus Salim ke sejumlah negara Timur Tengah. Kepergian mereka ke luar negeri untuk mencari dukungan dan pengakuan negara-negara lain atas kemerdekaan Indonesia. Salah satu yang dituju adalah Mesir.
"Kemerdekaan itu sendiri perlu pengakuan, dan pengakuan itu datang dari negara lain. Karena itu kemudian Indonesia mengirimkan sebuah delegasi untuk mendapatkan pengakuan itu. Kakek saya panggilannya AR Baswedan. Dia jadi salah satu yang berangkat waktu itu ke Mesir," ujar Anies saat berkunjung ke kantor Liputan6.com, Jakarta, Kamis (13/8/2015).
Anies mengatakan, perjalanan kakeknya bersama rombongan delegasi itu begitu sederhana. Termasuk pakaian para delegasi yang tak semewah pakaian pejabat sekarang. Bahkan, mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang tengah belajar di Mesir merasa iba saat melihat kondisi para delegasi tersebut.
"Mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang belajar di sana melihat kasihan dengan delegasi-delegasi kita yang ala kadarnya itu," ucap mantan Rektor Universitas Paramadina itu, mengingat-ingat lagi kisah yang pernah diceritakan kakeknya itu.
Di Mesir, Indonesia mencoba mendapat pengakuan. Tepat pada 10 Juni 1947, Menteri Luar Negeri Mesir menerima rombongan delegasi Indonesia.
Singkat cerita, Mesir menyetujui untuk menandatangani surat "Pengakuan Mesir terhadap Kedaulatan Republik Indonesia". Surat itu ditandatangani Perdana Menteri sekaligus Menteri Luar Negeri Mesir Nokrashi Pasha, sementara dari Indonesia ditandatangani oleh Agus Salim. Alhasil, Mesir menjadi negara pertama di dunia yang mengakui kemerdekaan Indonesia.
"Begitu mendapatkan pengakuan dari Mesir, lalu diputuskan surat ini harus sampai ke Tanah Air. Karena pengakuan internasional itu menjadi kunci," ucap Anis.
Akhirnya diputuskan salah satu delegasi yang pulang ke Tanah Air adalah AR Baswedan. Anggota Badan Penyelidik Usaha dan Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) itu bukan tak tahu akan bahaya yang mengancam dengan kepulangannya membawa sepucuk surat begitu berharga dan amat penting di tangannya.
Dalam berbagai catatan sejarah, Agus Salim bahkan sampai mengatakan, "Baswedan, bagi saya tidaklah penting apakah Saudara sampai Tanah Air atau tidak, yang penting dokumen-dokumen ini harus sampai di Indonesia dengan selamat." Tentu perjalanan yang ditempuh AR Baswedan juga harus jauh karena transit di sejumlah tempat, seperti Bahrain, Karachi, Kalkuta, Rangon, dan Singapura.
Anies menceritakan, ongkos perjalanan dengan pesawat yang dilakukan kakeknya itu merupakan urunan dari mahasiswa-mahasiswa Indonesia di Mesir. Ketika sampai di India pun orang-orang Indonesia di India juga turut patungan untuk membeli tiket pesawat.
Sesampainya di Singapura, yang artinya sudah dekat dengan Indonesia, AR Baswedan juga tidak serta langsung bisa masuk. Sebab, dia menunggu situasi Tanah Air setelah Belanda menggencarkan agresi militernya pada 1946 yang tengah tak menentu.
Apalagi pemerintahan Indonesia tengah "dipindahkan" ke Yogyakarta saat itu. Di samping itu, AR Baswedan juga menjadi orang-orang yang paling dicari militer Belanda agar surat pengakuan Mesir tak sampai ke tangan Sukarno.
Kehabisan Bekal
Saat menunggu berminggu-minggu itu, AR Baswedan pun kehabisan bekal dan uang. Di situ pula, kesulitan menghadang AR Baswedan.
"Tinggalnya juga numpang-numpang. Kumpulin uang-uang, kumpulinnya juga untuk beli tiket, supaya bisa terbang sampai ke Kemayoran. Problemnya, Jakarta waktu itu masih ada Belanda. Jadi untuk masuk ada checkpoint, pemeriksaan, dan macam-macam," ucap Anies.
AR Baswedan, kata Anies, tak hilang akal. Agar luput dari pemeriksaan, surat pengakuan itu kemudian dilipat-lipat dan dimasukkan ke dalam kaus kaki yang ia kenakan pada sepatunya.
"Jadi ketika checkpoint itu surat diinjak-injak di dalam kaus kaki sepatunya, surat pengakuan yang ditandatangani oleh Perdana Menteri Mesir," ujarnya.
Lolos dari pemeriksaan, AR Baswedan segera mencari taksi dan menuju rumah Amir Sjarifuddin yang menggantikan Sutan Sjahrir sebagai Perdana Menteri. Selanjutnya, ia pergi ke Yogyakarta dengan kereta api dan akhirnya bertemu Sukarno lalu menyerahkan surat pengakuan kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia dari Mesir tersebut.
"Dan itu menjadi dasar, bahwa proklamasi kita diakui internasional. Begitu ada pengakuan itu, kita bisa deklarasi bahwa kemerdekaan kita mulai diakui internasional," tukas Anies.
Advertisement