Liputan6.com, Aceh - Pada Rabu, 7 November 2018, sejumlah tempat di Aceh menggelar tradisi Tulak Bala atau dikenal juga sebagai Rabu Abeh.
Tulak Bala pada hari Rabu Abeh ditandai orang berduyun-duyun datang ke tepi pantai sekadar duduk sambil makan bersama keluarga atau menggelar doa di tepi pantai atau surau. Tradisi ini adakalanya diselipi sejumlah ritual tertentu.
Tradisi yang masih kental di wilayah pesisir pantai barat selatan Aceh ini selalu dilakukan setiap tahun pada akhir bulan Safar dalam tarikh Islam.
Baca Juga
Advertisement
Bagi sebagian masyarakat di Aceh, bulan Safar identik dengan cuaca pancaroba atau suasana yang tidak menentu serta beraura kurang baik terhadap kebugaran fisik maupun psikis.
Aura yang tidak baik di bulan Safar dipercaya membuat manusia menjadi rentan oleh gangguan berbagai jenis penyakit. Orang Aceh menyebutnya sebagai 'bulan panas' atau 'buleun seuum'. Bulan ini diidentikkan dengan bulan 'turun bala'.
Keyakinan masyarakat mengenai bala di bulan Safar bukanlah tanpa dasar. Syekh al-Kamil Fariduddin as-Sukarjaanji menjelaskan dalam kitabnya al-Jawahir al-Khamsi.
Selayang Pandang Sejarah Rabu Abeh
Setiap tahun, Sang Pencipta menurunkan 320.000 macam bala bencana ke bumi dan semua itu pertama kali terjadi pada hari Rabu terakhir di bulan Safar.
Hari tersebut menjadi hari yang terberat sepanjang tahun. Pernyataan senada disebutkan dalam kitab Fawaidul Ukhrawiyah, Jam’ul Fawaid, Tuhfathul Mardhiyah, dan sejumlah kitab lainnya.
Sebagai bentuk preventif menghindari berbagai musibah yang dipercaya ada pada bulan Safar, dianjurkan melakukan salat sunah, berdoa, bersedekah, serta memperbanyak ibadah lainnya.
Salah satu di antara amalan yang dilakukan para ulama terdahulu menyambut bulan Safar, yakni melakakukan salat sunah yang dikenal dengan lidaf’il Bala (salat untuk menolak Bala).
Shalat lidaf’il bala' merupakan salat sunah hajat yang dikerjakan pada malam atau hari Rabu akhir bulan Safar, tepatnya pada hari Rabu pada pekan keempat.
Sementara itu, Sosiolog serta Petua Chiek Perkumpulan Prodeelat Aceh, Affan Ramli mengatakan, tradisi Tulak Bala secara historis dengan tradisi Asyura dan Arbain.
"Asyura atau tanggal 10 Muharam terjadi pembantaian keluarga nabi di Karbala. Pembantaian itu menyesakkan dada. Seluruh umat Islam kemudian memperingati tiap datangnya Asyura, termasuk di Aceh," kata Affan kepada Liputan6.com, Rabu, (7/11/2018).
Menurut Affan, dalam The Price of Freedom The Unfinished Diary karangan Dr Hasan Tiro, diungkap bahwa orang Aceh sudah memperingati tradisi Asyura sejak 500 tahun lalu.
"Sementara Arbain, yakni 40 hari pascapembantaian itu. Tradisi kenduri 40 di rumah orang meninggal juga di kampung-kampung kita awalnya dari tradisi Arbain atas pembantaian keluarga Sayyidina Husein di karbala itu," jelas dia.
Selanjutnya, imbuh Affan, hari Rabu setelah peringatan Arbain dipilih sebagai hari Tulak Bala. Hal ini terkait bala yang menimpa keluarga nabi, yakni Husein.
Pelaksanaan Rabu Abeh dan Filosofinya
Prosesi Tulak Bala dulunya dilakukan dengan cara upacara berdoa bersama-sama baik di meunasah (surau), dayah, sungai, pantai, ataupun pemandian.
Prosesi dipimpin oleh seorang teungku (ustaz) atau pemangku adat dengan membacakan doa-doa yang relevan atau berkenaan menolak bala.
Pada akhir prosesi Tulak Bala digelar kenduri berupa makan bersama-sama dari "bu kulah" (nasi di dalam bungkus) dan "eungkot punjot" (lauk berupa ikan) yang sudah dibawa dari rumah masing-masing.
Perlu dicatat, kendati menjadi kultur general yang hampir masyarakat sepanjang pantai barat selatan Aceh melaksanakannya, namun, tiap wilayah mempunyai sub kultur sendiri mengenainya.
Selanjutnya, setelah dilakukan ritual mandi kembang dan wangi-wangian, orang-orang bersama keluarga atau kerabat melakukan mandi bersama.
Mandi bersama ini dilakukan dengan intensi membuang seluruh aura negatif dari fisik dan psikis seseorang yang dapat mengundang bala.
Setiap tetes air dari tubuh dan jiwa yang jatuh ke aliran sungai, laut, ataupun pemandian, menjadi simbol gugurnya semua hal yang dianggap mengundang bala.
Tulak Bala, Sebuah Pergeseran
Saat ini, Tulak Bala atau Rabu Abeh dianggap tidak lagi bermakna sakral, tetapi sudah berwujud profan.
Tradisi ini dianggap sudah bengkok dari substansi atau esensi mengapa tradisi ini dilakukan. Saat ini, tradisi Tulak Bala yang dibuat di pantai malah menjadi ajang rekreasi pada tataran lokal.
Pada kondisi tertentu, tradisi ini menjadi ajang bisnis. Pergelaran Tulak Bala mendeterminan penggelembungan pengunjung di pantai.
Di banyak tempat, tradisi ini bergeser menjadi ajang untuk hura-hura yang hakikatnya jauh dari esensi Tulak Bala, sebagai refleksi spiritualitas.
"Kegiatan Tulak Bala jadi aneh-aneh. Banyak gembira dan rianya. Padahal, Tulak Bala itu harusnya hari yang penuh perenungan, kekhusyukan, dan refleksi-refleksi spiritualitas," ucap Affan Ramli.
Simak video pilihan berikut ini:
Advertisement