Liputan6.com, Purwokerto - Bagi masyarakat Banyumas, terutama Purwokerto, nama Raden Soetedja amat familiar. Sayangnya, kebanyakan hanya mengenal Soetedja sebagai Gedung Kesenian yang belakangan beralih fungsi menjadi Pasar Manis, Purwokerto, alih-alih sebagai komponis legendaris.
Tetapi, nama R Soetedja tak lantas hilang. Ia kemudian diabadikan sebagai Taman Budaya Soetedja. Dan Soetedja, tetap menjadi nama yang dikagumi.
Barangkali, Soetedja lebih dikenal di Jakarta atau bahkan Eropa, sebagai komponis musik modern pada masanya. Meski ia juga populer sebagai pencipta langgam keroncong berjudul “Di Tepinya Sungai Serayu” dan beberapa karya legendaris lainnya.
Seotedja adalah lulusan sekolah Konservatori Musik Roma, Italia, yang tentu tak melulu berhubungan denga musik keroncong.
Baca Juga
Advertisement
Tak banyak orang yang tahu tentang kisah hidup sang komponis legendaris yang memiliki nama lengkap Raden Soetedja Purwodibroto ini. Padahal, nama Soetedja sempat menjulang di tingkat nasional hingga Eropa.
Maklum, sejak 1947, waktu Soetedja dihabiskan di Jakarta, setelah kantor pusat Radio Republik Indonesia dipindahkan dari Purwokerto ke Jakarta.
Sebelumnya di Jakarta pada tahun 1942, ia memimpin Orkes RRI Jakarta. Sempat balik ke Purwokerto tahun 1946 menjadi Direktur musik RRI Purwokerto, tahun 1947 itu, praktis karir musiknya ada di Jakarta.
Pemindahan ini terkait dengan pengakuan kedaulatan Republik Indonesia Serikat. Di sana, Soetedja membentuk membentuk orkes simphony pertama di Indonesia dan grup musik orkes Melati.
Biasanya, Soetedja tampil di RRI Jakarta. Kadangkala, tampil di sebuah klub bernama Wisma Nusantara, di pojok Istana Negara. Bangunan itu kini tinggal kenangan. Komponis ini lihai mengaransmen lagu barat dalam irama keroncong.
Riset 8 Tahun Menyusuri Jejak R Soetedja
Kegemilangan karier Soetedja berlanjut tatkala dia bersahabat dengan Suyoso Karsono seorang perwira Angkatan Udara Republik Indonesia. Suyoso merupakan pendiri label rekaman pertama di Indonesia, Irama Nusantara. Dia meminta Soetedja untuk memimpin korps musik di AURI.
Tahun 1961, Sotedja wafat dalam usia yang relatif masih muda, 51 tahun. Soetedja meninggalkan istri dan sembilan orang anak.
Beberapa tahun kemudian, sekitar 1968, Gubernur Jakarta Ali Sadikin memberikan penghargaan di bidang kesenian bersama sejumlah seniman legendaris lainnya pada Hari Ulang Tahun ke-441 Jakarta. Di antaranya, WR Supratman, Chairil Anwar, Sanusi Pane dan Amir Hamzah.
Kisah perjalanan hidup Raden Soetedja yang melegenda ini, menarik perhatian Bowo Leksono, pegiat Cinema Lovers Comunity (CLC) Purbalingga, dia mencoba melacak Soetedja melalui karya-karyanya. Ia menggunakan media film untuk mendokumenkan jejak Soetedja.
Cukup sulit menyusuri jejak Soetedja di Banyumas. Tak banyak catatan maupun kerabat yang bisa ditemui di kota kelahirannya.
Bowo Leksono yang juga menyutradarai film ini mengaku, proses riset film dokumenter memakan waktu sekitar delapan tahun. Berbekal sebuah kliping fotokopian koleksi keluarga pengumpulan data primer dan sekunder dimulai.
"Proses pencarian narasi tentang Soetedja ini cukup sulit. Bahan artikel dari media massa, blog, tulisan salah satu narasumber film, Sugeng Wijono, hingga wawancara dengan putra-putri R Soetedja benar-benar harus melakukan penggalian secara mendalam," katanya, Kamis, 8 November 2018.
Proses riset, katanya, sempat menemui kendala. Sebab, tokoh-tokoh yang hidup sezaman atau masuk dalam perlintasan proses berkarya bersama Soetedja telah tiada, mulai dari S Bachri, Bing Slamet hingga Suyoso Karsono, perwira tinggi Angkatan Udara Republik Indonesia sekaligus pendiri Irama Record.
Advertisement
Wafatnya Penyanyi Lagu Karya R Soetedja, Nien Lesmana
Terakhir, Nien Lesmana, istri mendiang Jack Lesmana, orang tua musisi jazz Indra Lesmana, yang banyak menyanyikan lagu-lagu Soetedja meninggal di tahun 2017 lalu. Pun demikian dengan seniman-seniman Purwokerto yang pernah mengisi kesenian di RRI Purwokerto.
"Bagi kami pencarian R Soetedja ini takkan pernah selesai, hingga tak berbatas. Harapan kami, film ini menjadi pemancing riset, bahkan kepedulian pemerintah untuk menempatkan sosok Soetedja sebagai tokoh musik modern dan panutan para musikus. Setidaknya, bukan sekadar menjadi nama Gedung Kesenian yang tak kunjung selesai dibangun," ujarnya.
Akhirnya, film yang merupakan kerjasama Jaringan Kerja Film Banyumas Raya (JKFB), CLC Purbalingga bekerjasama dengan Direktorat Sejarah Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan meluncurkan film dokumenter bertajuk "Mencari Soetedja", di Rajawali Theatre Purwokerto, Kamis, 15 November 2018.
Bowo menerangkan, film dokumenter berdurasi 24 menit ini bertutur mengalir dari putra-putri dan keponakan Raden Soetedja, serta beberapa orang yang merasa bersinggungan secara kesejarahan.
Proses pengambilan gambar dilakukan di beberapa tempat yaitu sekitar Banyumas, komplek Pasar Purwareja Klampok, Banjarnegara, Jakarta Pusat, Bekasi, Depok, Tangerang dan Bandung.
Produser Film "Mencari Soetedja", Nanki Nirmanto mengatakan, film ini rencananya akan diputar berkeliling di ruang-ruang diskusi publik serta diapresiasi oleh komunitas film, musik maupun komunitas lainnya.
Terutama bagi masyarakat yang selama ini hanya mengenal Soetedja lewat lagu "Di Tepinya Sungai Serayu". Padahal masih banyak ratusan lagu, catatan-catatan sejarah dan penghargaan yang pernah diterimanya. Beberapa lagu, juga sempat didokumentasikan dalam film ini.
"Kami ingin seluruh masyarakat, dari Banyumas terutama, bangga dengan Raden Soetedja. Ia sebenarnya tidak hanya komponis keroncong seperti yang diketahui orang. Ia juga menguasai aliran musik lainnya, seperti hawaian, jazz dan klasik," Nanki Nirmato.
Saksikan video pilihan berikut ini: