Liputan6.com, Jakarta - Maraknya financial technology (fintech) atau pinjaman online memudahkan masyarakat untuk mendapatkan dana segar.
Meski begitu, bukan berarti kemudahan tersebut tidak disertai persoalan. Ada dugaan bahwa fintech abal-abal telah menyalahgunakan persetujuan saat menginstal aplikasinya untuk mengakses seluruh daftar kontak pengguna.
Imbasnya adalah bentuk penagihan yang dilakukan dengan mengancam hingga memberikan notifikasi adanya hutang pihak terkait kepada seluruh daftar kontak pengguna yang dimiliki. Jika hal ini benar, maka telah melanggar aturan.
Baca Juga
Advertisement
"Kalau fintech ini aturan bisnis ada di OJK. Tetapi, teknisnya ada di kami. Sesuai aturan UU ITE, penyalahgunaan data bisa kena sanksi. Setahu saya OJK sudah keluarin aturan jangan menyalahgunakan data pengguna," kata Dirjen Aplikasi dan Informatika (APTIKA), Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo), Semuel Abrijani Pangerapan kepada Merdeka, Jumat (9/11/2018).
Meski begitu, kejadian itu banyak dilakukan oleh pelaku kredit online yang belum terdaftar di OJK.
Terkait hal ini, pria yang akrab disapa Semmy tersebut, mengungkap kalau Kemkominfo telah memblokir 669 platform investasi bodong sejak 2012.
Maka itu, ia berharap agar masyarakat bisa lebih berhati-hati dengan platform semacam ini. Apalagi tak terdaftar di OJK.
"Jika pemberi pinjaman online tidak terdaftar di OJK, maka dia tidak dinaungi oleh OJK dan aturan terkait pinjam meminjam secara online tersebut. Jadi, jangan download aplikasi yang gak ada izinnya," tutup Semmy.
Dampak Buruk Pinjaman Online, Bikin Konsumen Trauma hingga Ingin Bunuh Diri
Maraknya platform pinjaman online berbasis aplikasi, dapat mempermudah masyarakat untuk meminjam melalui kecanggihan teknologi.
Kendati demikian, menurut laporan masyarakat yang diterima oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, platform pinjaman online atau pinjol ini telah melanggar hukum yang ditetapkan.
Menurut LBH, sekitar 283 korban pinjol telah mengadukan berbagai bentuk pelanggaran hukum. Mengutip situs web resmi LBH Jakarta, Rabu (7/11/2018), kasus pinjol sudah meluas sejak Juni 2018, salah satunya adalah cara penagihan pinjaman online kepada konsumen yang tidak dipatut dilakukan.
Berdasarkan pengaduan tersebut, LBH Jakarta mendapati temuan awal sebagai berikut:
- Penagihan dengan berbagai cara mempermalukan, memaki, mengancam, memfitnah, bahkan dalam bentuk pelecehan seksual;
- Penagihan dilakukan kepada seluruh nomor kontak yang ada di ponsel konsumen/peminjam (ke atasan kerja, mertua, teman SD, dan lain-lain);Bunga pinjaman yang sangat tinggi dan tidak terbatas;
- Pengambilan data pribadi (kontak, sms, panggilan, kartu memori, dan lain-lain) di telepon seluler (ponsel) konsumen/peminjam;
- Penagihan baik belum waktunya dan tanpa kenal waktu;Nomor pengaduan pihak penyelenggara pinjaman online yang tidak selalu tersedia;
- Alamat kantor perusahaan penyelenggara pinjaman online yang tidak jelas;
- Aplikasi pinjaman online yang berganti nama tanpa pemberitahuan kepada konsumen/peminjam selama berhari-hari namun bunga pinjaman selama proses perubahan nama tersebut terus berjalan.
Permasalahan-permasalahan yang merupakan temuan awal tersebut membawa dampak yang tidak ringan. Akibat penagihan ke nomor telepon yang ada di ponsel, peminjam menjadi di-PHK oleh perusahaan tempatnya bekerja, diceraikan oleh suami/istri mereka (karena menagih ke mertua), trauma (karena pengancaman, kata-kata kotor, dan pelecehan seksual).
Akibat bunga yang sangat tinggi misalnya, banyak peminjam yang tidak mampu membayar akhirnya frustasi, mereka kemudian berupaya menjual organ tubuh (ginjal) sampai pada upaya bunuh diri.
Oleh karena itu, LBH telah membuka pos pengaduan pinjol mulai 4-25 November 2018, yang dilakukan secara online melalui situs resmi LBH Jakarta.
Pengaduan dapat dilakukan dengan mengisi formulir di situs web LBH Jakarta, dengan menyertakan bukti-bukti terkait.
Pembukaan pos pengaduan dilakukan untuk mengetahui lebih dalam tentang permasalahan-permasalahan terkait pinjaman online.
Atas pengaduan yang telah dibuat, para pengadu selanjutnya akan dihubungi oleh LBH Jakarta untuk menentukan langkah selanjutnya atas permasalahan-permasalahan yang ada.
Advertisement
Tanggapan Asosiasi
Menanggapi hal itu, Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) sebagai asosiasi resmi bagi para penyelenggara layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi (fintech) memastikan perusahaan yang memiliki debt collector tersebut bukan bagian dari anggotanya.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), Sunu Widyatmoko, mengatakan 73 perusahaan fintech pendanaan yang mendapat izin dari OJK tak memiliki cara penagihan seperti yang diberitakan.
"Mereka itu adalah penyelenggara pinjaman online ilegal yang tidak terdaftar OJK dan bukan anggota asosiasi. Kalau ilegal, maka tugas penegak hukum yang harusnya menangani. Hal-hal seperti ini jangan sampai merusak industri yang sudah kita bangun," kata Sunu di Office 88, Jakarta, Selasa (6/11/2018).
Tak hanya mengkritisi perusahaan yang melakukan penagihan secara tidak manusiawi, Sunu juga mengkritisi cara nasabah yang hingga memiliki pinjaman hingga ke sembilan perusahaan fintech pembiayaan.
Ia menceritakan, setiap perjanjian pinjaman, pihak perusahaan dan calon peminjam sudah terinformasi dan sepakat mengenai berapa dana yang akan cair, berapa bunga yang harus dibayarkan.
"Memang menurut saya ada upaya mereka ingin menghindari kewajiban pinjaman yang mereka terima. Orang-orang ini bukan tidak mampu bayar tapi dari awal niatnya memang sudah ngemplang," tegas Sunu.
Reporter: Merdeka
Sumber: Merdeka.com
(Jek)
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini: