Liputan6.com, Jakarta - Bank Indonesia (BI) mencatat dalam sepekan telah terjadi capital inflow atau arus modal asing yang masuk ke Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 14,4 triliun. Angka itu menambah jumlah capital inflow sejak awal tahun hingga per hari menjadi sekitar Rp 42,6 triliun.
"Kalau saya bisa update aliran modal asing kalau kita hitung bulan ini ke SBN itu Rp 14,4 triliun. Sehingga kalau SBN ytd (year to date) aliran modal asing 42,6 triliun," kata Gubernur BI Perry Warjiyo, saat ditemui di Kantornya, Jakarta, Jumat (9/11/2018).
Baca Juga
Advertisement
Perry mengatakan, yang juga cukup baik adalah kembali masuknya aliran modal asing ke saham. Tercatat hingga bulan November ini modal asing masuk ke saham mencapai Rp 5,5 triliun.
Meski secara hitungan instrumen saham tercatat baik, namun secara year to date masih negatif. Sebab banyak investor yang memindahkan dananya dari saham seiring pergerakan suku bunga dan kebijakan ekonomi di pasar keuangan global.
"Year to date masih negatif karena di awal periode ini banyak outflow dari asing ke pemilikan saham. Bulan ini aliran modal asing ke SBN yang semakin besar dan juga yang masuk itu juga memberikan kepercayaan dari investor global terhadap ekonomi Indonesia," pungkasnya.
Reporter: Dwi Aditya Putra
Sumber: Merdeka.com
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Rupiah Pimpin Penguatan di Asia
Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) mampu melanjutkan penguatan pada perdagangan Selasa pekan ini. Bahkan memimpin penguatan di Asia.
Mengutip data Bloomberg, rupiah menguat 1,22 persen terhadap dolar Amerika Serikat (AS) ke posisi 14.794 pada pukul 14.49 WIB dari penutupan kemarin di posisi 14.976 per dolar AS.
Pada pembukaan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS menguat 0,19 persen ke posisi 14.947. Sepanjang Selasa pekan ini, rupiah berada di kisaran 14.790-14.947 per dolar AS. Hingga tahun berjalan 2018, rupiah sudah melemah 9,14 persen terhadap dolar AS.
BACA JUGA
Berdasarkan data kurs referensi Jakarta interbank spot dollar rate (Jisdor), rupiah menguat 81 poin dari posisi 14.972 per dolar AS pada 5 November 2018 menjadi 14.891 per dolar AS pada 6 November 2018.
Melihat data Bloomberg, rupiah memimpin penguatan terhadap dolar AS di Asia. Sebagian besar mata uang di Asia menguat terhadap dolar AS kecuali mata uang ringgit Malaysia dan baht Thailand.
Mata uang China yuan menguat 0,10 persen terhadap dolar AS, kemudian, mata uang peso Filipina menguat 0,35 persen terhadap dolar AS, dan rupee India menguat 0,20 persen terhadap dolar AS.
Ekonom PT Bank Permata Tbk, Josua Pardede menuturkan, sentimen global dan domestik mendukung penguatan rupiah terhadap dolar AS.
Dari eksternal, indeks dolar AS cenderung melemah. Hal ini mengingat peluang pembicaraan mengenai perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China belum ada titik temu.
"Pelaku pasar cenderung menjual dolar AS sehingga berdampak terhadap mata uang negara berkembang," kata dia.
Ia menambahkan, bila AS dan China mencatatkan perkembangan pembicaraan soal sektor perdagangan juga akan membuat rupiah kembali lanjutkan penguatan. “Namun bila tidak ada negosiasi, rupiah bisa melemah lagi,” kata dia.
Sedangkan dari internal, menurut Josua pelaku pasar mengapresiasi pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,17 persen pada kuartal III 2018. Pertumbuhan ekonomi tersebut di atas harapan.
“Selain itu, Bank Indonesia awal bulan menerapkan non deliverable forward sebagai alternatif hedging bagi investor asing juga membuat rupiah menguat," kata dia saat dihubungi Liputan6.com.
Aliran dana investor asing masuk ke pasar saham dan obligasi, menurut Josua menambah tenaga untuk rupiah. "Month to date dana asing masuk ke pasar saham USD 217 juta hanya di pasar saham. Yield obligasi juga sudah turun dari 8,8 persen menjadi 8,21 persen," kata dia.
Josua menambahkan, nilai tukar rupiah dapat ke posisi 14.800-14.950 per dolar AS hingga akhir 2018 asal ditopang dari sentimen internal dan eksternal.
Saat ini ada beberapa risiko pengaruhi pergerakan rupiah baik dari internal dan eksternal. Dari risiko internal yaitu kekhawatiran defisit transaksi berjalan yang melebar.
“Pada kuartal II 2018 transaksi berjalan sudah capai tiga persen. Pada akhir pekan ini BI akan umumkan current account defisit yang diperkirakan melebar menjadi 3,3 persen-3,5 persen pada kuartal III 2018. Namun diprediksi akhir 2018, di bawah tiga persen (defisit transaksi berjalan-red),” ujar dia.
Selain itu, dari eksternal, kebijakan moneter bank sentral AS atau the Federal Reserve juga menjadi perhatian pelaku pasar. “Desember keputusan suku bunga the Fed akan naik. Namun, sentimen the Fed sudah mulai price in," kata dia.
Josua menambahkan, harga minyak mulai turun akibat sanksi AS terhadap Iran juga menjadi sentimen di pasar keuangan.
Advertisement