Analis Sebut Ada Puluhan Militan Ekstremis di Filipina, ISIS Bangkit?

Beberapa laporan menyebut bahwa ancaman ISIS kembali menguat di Pulau Mindanao, membuat Manila mulai pasang sikap waspada.

oleh Happy Ferdian Syah Utomo diperbarui 13 Nov 2018, 07:01 WIB
Kerusakan yang disebabkan oleh konflik berkepanjangan antara pemerintah Filipina dan kelompok pro ISIS di Pulau Mindanao (AFP/Ted Aljibe)
Kerusakan yang disebabkan oleh konflik berkepanjangan antara pemerintah Filipina dan kelompok pro ISIS di Pulau Mindanao (AFP/Ted Aljibe)

Liputan6.com, Manila - Eksistensi ISIS kembali mengancam Pulau Mindanao di selatan Filipina, di mana diperkirakan terdapat puluhan hingga seratus militan asing atau foreign terrorist fighter (FTF) yang mendukung kelompok separatis lokal, kata seorang ahli dari lembaga analis lokal.

Pada Mei tahun lalu, kota Marawi dikuasai oleh ISIS, dan butuh pengepungan hingga lima bulan berdarah oleh tentara untuk merebutnya kembali.

Hal itu terpaksa dibayar mahal. Sebanyak 1.200 orang dilaporkan tewas selama pertempuran yang berpusat di Marawi, Pulau Mindanao.

Tapi satu tahun setelah pembebasan Marawi, Prof Rommel Banlaoi, ketua lembaga think-tank the Philippine Institute for Peace, Violence and Terrorism Research, mengatakan bahwa ia telah melihat catatan tentang sekitar 40-100 militan asing yang masuk ke Pulau Mindanao, demikian sebagaimana dikutip dari The Guardian pada Senin (12/11/2018), 

Prof Rommel menilai bahwa perpaduan militan asing dan ekstremis lokal berkeinginan membangun kembali pengaruh terornya di Asia timur, atau provinsi ISIS Timur.

Ditamnbahkan olehnya, bahwa para FTF di Mindanao sebagian besar melakukan perjalanan dari negara tetangga Indonesia, Malaysia, juga dari Pakistan, Bangladesh, dan Timur Tengah.

Sementara itu, seorang perwira intelijen berpangkat tinggi memberikan angka-angka yang kurang lebih serupa dengan catatan Banlaoi.

"Ada sekitar 40 militan asing yang tersisa di negara ini, tetapi puluhan lainnya berada dalam daftar pantauan," kata petugas, yang meminta untuk ditulis anonim.

Kehadiran militan asing diketahui memberi energi dan menguatkan kelompok pro-ISIS setempat. Bahkan, ada kekhawatiran tentang meningkatnya kemungkinan untuk menyatakan kekhalifahan baru di Mindanao.

Ancaman itu kian diyakini setelah aksi bom bunuh diri oleh militan asing dari Maroko pada Juli lalu, yang menewaskan 11 orang, dan diklaim oleh ISIS sebagai operasi "syahid".

Ada juga dukungan berkelanjutan untuk kelompok-kelompok yang berafiliasi dengan ISIS di kalangan muslim setempat. Banyak dari mereka merupakan pengungsi dari konflik Marawi, yang merasa tidak puas dengan korupsi yang merajalela, serta janji-janji pemerintah yang menghancurkan perdamaian dan otonomi di Mindanao.

 

Simak video pilihan berikut: 

 


Mindanao Sebagai Pusat kelompok Militan Islam

Warga mengambil gambar bangunan yang hancur dari atas mobil saat memasuki Kota Marawi, Mindanao, Filipina, Minggu (1/4). Mereka hampir setahun mengungki akibat pertempuran militer Filipina dengan militan ISIS. (TED ALJIBE/AFP)

Selama beberapa dekade, Pulau Mindanao telah menjadi pusat kelompok militan Islam di Filipina.

Tetapi, setelah ISIS dideklarasikan di Irak dan Suriah pada 2014, beberapa kelompok membentuk koalisi yang pro-gerakan bentukan Abu Musab al-Zarqawi itu.

Mereka termasuk faksi-faksi militan Bangsamoro (BIFF), Abu Sayyaf, Ansar al-Khilafah, dan Maute.

Pada Mei 2017, ratusan militan turun memicu kekerasan di Marawi dan dengan lantang mengibarkan bendera ISIS di banyak wilayah kota.

Sekitar 80 militan asing berada di serangan tersebut, dan konflik terkait mendorong munculnya propaganda ISIS di Asia Tenggara.

Bahkan, satu video, berjudul Inside the Khilafah, mendesak pendukung ISIS untuk melakukan perjalanan ke Filipina.

Semenjak kejatuhan ISIS di Timur Tengah pada akhir 2017 lalu, semakin banyak militan asing yang datang ke Mindanao, termasuk berasal dari Inggris, Spanyol, Jerman, dan Swis.

"Militan asing berada di Filipina karena mereka menganggap negara, terutama Mindanao, sebagai tempat berlindung yang aman, pangkalan alternatif dan lahan baru bagi aktivitas jihad," jelas Prof Rommel.

"Mereka (militan asing) melatih dan belajar dari militan lokal. Mereka menyediakan dana. Mereka menyediakan jaringan dukungan global," lanjutnya memperingatkan.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya