Tembakan Jokowi untuk Elite Politik Genderuwo

Jokowi meminta jangan sampai praktik tak baik itu terjadi. Sebab perilaku itu akan sia-sia dan tidak mendapatkan simpati di hati masyarakat.

oleh Muhammad AliHanz Jimenez SalimRatu Annisaa Suryasumirat diperbarui 13 Nov 2018, 00:02 WIB
Calon Presiden Nomor Urut 01 Joko Widodo (Jokowi) berdiskusi dengan masyarakat kreatif Bandung di Simpul Space, Bandung, Jawa Barat, Sabtu (10/11). Selain berdialog, Jokowi juga meninjau produk kreatif yang dipajang di ruangan. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Dalam pembagian 3.000 sertifikat tanah di GOR Tri Sanja, Tegal, Jumat 9 November 2018, Presiden Jokowi menyentil perilaku elite politik yang gemar menakut-nakuti masyarakat. Mereka disebut tak memiliki etika dan sopan santun serta acap menebarkan propaganda.

"Cara-cara seperti ini adalah cara-cara politik yang tidak beretika. Masak masyarakatnya sendiri dibuat ketakutan? Enggak benar kan? itu sering saya sampaikan itu namanya politik genderuwo, nakut-nakuti," ucap dia geram.

Jokowi meminta jangan sampai praktik tak baik itu terjadi. Sebab perilaku itu akan sia-sia dan tidak mendapatkan simpati di hati masyarakat.

"Masyarakat ini senang-senang saja kok ditakut-takuti. Iya tidak? Masyarakat senang-senang kok diberi propaganda ketakutan. Berbahaya sekali," lanjut dia.

Pernyataan Jokowi itu menimbulkan polemik. Masyarakat bertanya-tanya tentang maksud dan sosok yang disasar dari ucapan sang kepala negara tersebut.

Jokowi yang ditemui usai menghadiri acara Bandung Lautan Sepeda, Sabtu 10 November 2018 enggan berkomentar saat ditanya maksud ucapannya itu. Dia hanya menegaskan masalah itu sudah selesai.

"Saya kira kan sudah itu kemarin, sudah dijelaskan," kata Jokowi.

Sementara Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf Amin, Abdul Kadir Karding mengatakan, perkataan Jokowi bukan untuk menyerang politikus di Indonesia. Ungkapkan itu hanya simbolik semata.

"Soal politik Genderuwo itu satu pernyataan simbolik yang ditujukan semua orang, pemimpin, politisi yang dalam pernyataan-pernyataannya, kampanyenya selalu membangun narasi-narasi propaganda, tentang ketakutan, tentang kegalauan di tengah-tengah masyarakat," ucap Karding Jumat 9 November 2018.

Menurutnya, politik genderuwo yang disampaikan Jokowi menggambarkan situasi politik yang dinamis.

"Jadi rakyat sedemikian rupa dihantui oleh isu-isu palsu, isu-isu hoaks, fitnah, nyinyir, yang tujuannya adalah untuk menakut-nakuti rakyat," lanjut Karding.

Hal ini dinilainya membuat rakyat menjadi stres, galau, dan menurunkan optimisme. Dalam kata lain, rakyat menjadi semakin pesimis.

Padahal, harusnya politik menjadi suatu hal yang menyenangkan.

"Semestinya buat politik itu tenang, nyaman, bergembira, dan senang hati mendapatkan pendidikan. Itu yang disindir oleh Pak Jokowi," ujar Karding.

Sementara calon wakil presiden Ma’ruf Amin menilai, maksud perkataan Jokowi tentang Gendurowo untuk membangun optimisme.

"Maksudnya itu, kata Pak Jokowi, dalam membangun komunikasi politik jangan menakut-nakuti. Kalau nakut-nakuti, itu seperti genderuwo, itu ungkapannya bukan optimisme, tetapi rasa takut,” ujar Ma'ruf di Rumah Aspirasi, Menteng, Jakarta, Sabtu 10 November 2018.

Ma’ruf sendiri percaya, memang ada kelompok-kelompok dalam masyarakat yang sengaja menyebarkan kebohongan berupa hoaks dan fitnah. Hal ini tentunya membuat banyak dari rakyat menjadi takut.

“Kan Pak Jokowi yang mengatakan, kata beliau ada. Kalau pak Jokowi ada, saya ikut Pak Jokowi, saya bilang ada lah,” tandas Ma'ruf Amin.

 

 


Bahasanya Aneh

Wakil Ketua Umum PAN Dradjad Wibowo menambahkan reformasi brirokrasi mutlak dilakukan jika bangsa Indonesia mau keluar dari krisis multidimensi(Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Wakil Wakil Ketua Dewan Kerhormatan Partai Amanat Nasional (PAN) Dradjad Wibowo mengaku heran dengan gaya komunikasi belakangan ini. Pernyataan yang dikeluarkan tersebut dianggapnya sebagai hal yang aneh.

"Saya heran kok Pak Jokowi akhir-akhir ini bahasanya menjadi aneh. Habis sontoloyo, genderuwo. Habis ini apalagi Pak Jokowi. Saya rasa hal-hal seperti itu ya enggak produktiflah untuk dilakukan," kata dia di Media Center Prabowo-Sandi Jalan Sriwijaya I No 35, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Jumat 9 November 2018.

Dia pun ingin mengajak Jokowi dan timnya untuk berdebat secara substantif daripada melontarkan istilah-istilah aneh seperti sontoloyo maupun genderuwo.

Dia tak memungkiri pernyataan Jokowi itu mengarah ke kubu Prabowo-Sandi yang kerap mengkritisi soal kemandirian ekonomi. Menurut dia, kritikan itu bukan sebagai bentuk yang menakuti-nakuti tapi memang terjadi.

"Ini memang menakut-nakuti rakyat? Eggak menakut-nakut. Kita mengangkat fakta kok. Gini loh, faktanya mobil ini lampunya enggak bagus remnya rusak, ya masak kita membohongi rakyat dengan mengatakan remnya bagus," ujarnya.

"Ketika kita mengatakan ini loh rem-nya rusak, anunya enggak bagus itu bukan menakut-nakuti, kita menyampaikan fakta apa adanya dan rakyat berhak tahu untuk itu," pungkas Drajad.

Hal senada disampaikan Juru Bicara Badan Pemenangan (BPN) Prabowo-Sandi, Andre Rosiade. Dia menilai istilah politik genderuwo yang digunakan Presiden Jokowi kepada lawan politiknya sangat tidak tepat jika diungkapkan pada era milenial saat ini.

Menurutnya, rakyat saat ini lebih takut dengan kondisi ekonomi yang semakin tidak menentu.

"Ini kan era milenial. Masa masih saja bawa-bawa genderuwo? Apalagi genderuwo ini kan hanya mitos," ujar Andre dalam keterangan tertulisnya, Sabtu 10 November 2018.

"Saya yakin, kalau pun mitos genderuwo itu saat ini nyata, rakyat tetap lebih takut jika melihat harga kebutuhan pokok dan kondisi ekonomi," imbuhnya.

Andre mengingatkan, Jokowi sebagai presiden baiknya berbicara mengenai masa depan bangsa. Bukan berkutat dengan istilah atau mitos yang tidak ada kaitannya dengan cara memperbaiki kondisi ekonomi bangsa.

"Genderuwo ini coba digambarkan sosoknya. Jangan hanya berhalusinasi dan terperangkap dengan masa lalu apalagi yang berbau mitos. Lebih baik pikirkan bagaimana nilai tukar rupiah kuat menghadapi dolar. Itu yang harus dipikirkan," pungkas Andre Rosiade.

Namun pernyataan berbeda disampaikan calon Wakil Presiden Sandiaga Uno. Dia menilai pernyataan Jokowi soal genderuwo harus dilihat dari sisi positifnya.

"Saya tidak ingin berkomentar negatif tapi mungkin yang dimaksud Pak Presiden itu politisi atau politik genderuwo itu yang berkaitan ekonomi rente, mafia ekonomi, mafia pangan atau mafia lainnya sebagai genderuwonya ekonomi," kata Sandiaga, Jumat 9 November 2018.

Genderuwo itu menggerogoti ekonomi Tanah Air, sehingga ekonomi Indonesia menjadi lemah, tidak mandiri dan tergantung terhadap faktor eksternal.

"Jadi genderuwo ekonomi ini memang harus dienyahkan baik sebagai operator ekonomi yang bertindak sebagai genderuwo dan politisi yang back up," kata pasangan capres, Prabowo Subianto ini.

Genderuwo ekonomi ini yang membuat harga- harga melangit, lapangan pekerjaan semakin sulit didapat.

"Saya sependapat dengan Pak Jokowi, genderuwo ekonomi ini menjadi musuh bersama. Kita patahkan political genderuwo ekonomi dengan para politisi yang mendukungnya. Ini peringatan dari presiden," ucap Sandiaga.

Dia menambahkan, ciri ciri genderuwo, tidak terlihat tapi menakutkan dan merusak. Genderuwo senang berada di ruang gelap.

"Kita ingin ekonomi yang sehat, transparan, tidak ada ruang gelap. Supaya para genderuwo kabur," jelasnya.

Menurut Sandiaga, dirinya dan Prabowo fokus pada perbaikan ekonomi Indonesia di tahun 2019 dengan penciptaan dan ketersediaan lapangan kerja serta harga-harga bahan kebutuhan pokok yang stabil dan terjangkau.

 

Saksikan video menarik berikut ini:

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya