Liputan6.com, Paris - Sendirian dan menjaga jarak, itu kesan yang ditunjukkan Donald Trump, saat Presiden Amerika Serikat tersebut menghadiri peringatan 100 tahun berakhirnya Perang Dunia I di Prancis akhir pekan lalu.
Hanya beberapa detik setelah Air Force One menyentuh landasan Bandara Orly di pinggiran Paris, Donald Trump sudah bikin panas lewat postingannya di akun twitter pribadinya, @realDonaldTrump.
Baca Juga
Advertisement
"Presiden Prancis Macron baru saja menyarankan agar Eropa membangun kekuatan militernya sendiri untuk bisa melindungi diri mereka dari AS, China, dan Rusia. Sungguh menghina, tapi mungkin Eropa pertama-tama harus membayar bagiannya yang adil dari (pembiayaan) NATO, yang sangat disubsidi oleh AS!," kata dia.
Trump dan Macron sebenarnya berteman baik sejak awal bos properti itu dilantik jadi Presiden AS. Namun, perbedaan pandangan soal kebijakan perdagangan, perubahan iklim dan keputusan Amerika Serikat menarik diri dari kesepakatan nuklir Iran, telah memperburuk hubungan mereka.
Sang miliarder pun belakangan seakan menjaga jarak. Di Paris, ia lebih banyak menghabiskan waktu di kediaman Dubes AS . Donald Trump juga tak nampak dalam foto dengan pesan terkuat yang diambil dalam momentum itu, kala para pemimpin dunia berjalan bersisian, di tengah guyuran hujan dari Champs-Elysees menuju Arc de Triomphe, untuk menghadiri hening cipta, Minggu 11 November 2018.
Saat hening cipta, lonceng dibunyikan untuk menandai berakhirnya perang global yang menewaskan lebih dari 8 juta nyawa manusia: 11 November 1918 pukul 11.00.
Sebagian besar kepala negara membawa payung. Lainnya, seperti PM Kanada Justin Trudeau, membiarkan rintik hujan membasahi tubuhnya.
Donald Trump tak ada dalam iring-iringan itu. Ia datang secara terpisah, naik mobil sendiri.
"Karena protokol keselamatan, presiden datang secara terpisah," kata juru bicara Gedung Putih, Sarah Huckabee Sanders seperti dikutip dari CNN, Senin (12/11/2018).
Di tengah jalan, iring-iringan mobil Trump nyaris dicegat tiga demonstran perempuan. Ada tulisan 'fake' (palsu) dan 'peace' (perdamaian) terpampang di bagian atas tubuh mereka yang telanjang.
Pemimpin lain yang juga datang sendirian adalah Vladimir Putin, presiden Rusia.
Sehari sebelumnya, Trump membatalkan agenda ke Aisne-Marne American Cemetery, makam para prajurit AS yang gugur di Paris di tengah Perang Dunia I, yang letaknya sekitar 60 mil atau 100 kilometer di luar kota Paris. Alasannya, hujan.
Gedung Putih beralasan, cuaca buruk membuat helikopter kepresidenan, Marine One tak bisa diterbangkan.
Keputusan itu menuai kritikan, salah satunya dari John Kerry, mantan Menlu AS sekaligus veteran Perang Vietnam.
"Presiden @realDonaldTrump tidak muncul karena hujan? Para veteran, yang tak diberi penghormatan oleh presiden, bertempur di tengah hujan, di kubangan lumpur, di salju -- dan banyak dari mereka tewas di dalam parit demi memperjuangkan kebebasan. Hujan tak menghentikan mereka dan seharusnya tak menghentikan seorang presiden AS," tulis Kerry dalam akun Twitternya, @JohnKerry.
Keputusan Trump juga disayangkan sejarawan sekaligus penulis buku Presidents of War, Michael Beschloss.
Ia membandingkan keputusan Donald Trump dengan apa yang dilakukan John F Kennedy.
Belakangan, Gedung Putih mengatakan, Donald Trump memilih tak hadir karena tak ingin bikin macet lalu lintas Paris. Sebab, helikopter kepresidenan tak bisa diterbangkan dalam kondisi cuaca buruk dan 'jarak pandang nyaris nol'.
"Presiden Trump tidak ingin menyebabkan gangguan tak terduga semacam itu terhadap kota Paris dan warganya," kata juru bicara Gedung Putih Sarah Sanders.
Dia juga mengatakan bahwa perjalanan lewat jalur darat akan memakan waktu dua setengah jam.
'Setan Lama' Bangkit Lagi?
Pidato sepanjang 20 menit disampaikan Presiden Prancis Emmanuel Macron di tengah peringatan berakhirnya Perang Dunia I . Isinya tentang bahaya nasionalisme yang berlebihan atau chauvinisme.
Ia mengingatkan pada para pemimpin dunia, termasuk Donald Trump, untuk memetik pelajaran berharga dari masa lalu.
"Nasionalisme (chauvinisme) adalah sebuah pengkhianatan atas patriotisme," kata Macron, seperti dikutip dari SBS Australia.
"Dengan mengatakan bahwa kepentingan kita adalah yang paling utama, dan tak memedulikan yang lain, kita telah menghilangkan apa yang sejatinya membuat sebuah bangsa berharga, apa yang membuatnya hidup, apa yang membuatnya menjadi hebat dan yang paling penting dari semua itu: nilai-nilai moralnya."
Macron mengingatkan bahwa tindakan yang memupus harapan bagi tercipanya perdamaian melalui "isolasi, kekerasan atau dominasi" akan menjadi kesalahan fatal. Dan generasi yang akan datang akan menunjuk hidung kita, sebagai yang bertanggung jawab.
"Saya tahu, ada setan lama yang kembali muncul ke permukaan. Mereka siap untuk melampiaskan kekacauan dan kematian," kata dia.
Sejumlah analis menilai, kata-kata Macron menyasar pada Trump, yang dengan bangga menggelorakan kebijakan luar negeri "America First". Bahwa kepentingan Amerika adalah yang utama. Di atas segalanya.
Donald Trump tak langsung merespon pidato Macron. "Upacara yang indah hari ini di Paris, untuk memperingati berakhirnya Perang Dunia I. Banyak pemimpin dunia hadir. Terimakasih pada @EmmanuelMacron, Presiden Prancis! Kini sedang bertolak ke Suresnes American Cemetery untuk berpidato mengenang para pahlawan besar! Lalu, kembali ke AS," kata Donald Trump lewat akun Twitternya.
Trump juga tak membicarakan soal pidato Macron dalam sambutannya di Suresnes American Cemetery.
Saksikan video terkait pidato Presiden Prancis yang diduga mengarah ke Donald Trump:
Horor Perang Dunia Rentan Terulang?
Usai upacara peringatan Perang Dunia I, Donald Trump kembali ke AS. Ia tak hadir dalam pembukaan Paris Peace Forum yang digagas Presiden Prancis, Emmanuel Macron.
Kanselir Jerman Angela Merkel dan Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres didaulat memberikan sambutan dalam ajang itu. Keduanya mengingatkan, nasionalisme yang kebablasan mengancam tatanan internasional berbasis aturan dan akhirnya menghadirkan bahaya bagi perdamaian dunia.
"Ada banyak pararelitas kejadian saat ini dengan awal Abad ke-20 dan 1930-an, yang memberikan kita dasar untuk mengkhawatirkan bahwa rantai kejadian yang tak terduga bisa terjadi," kata Guterres, seperti dikutip dari SBS.
Ada apa dengan awal Abad ke-20 dan tahun 1930-an?
Sejarah mencatat, Perang Dunia I bermula pada 28 Juni 1914, awal Abad ke-20. Insiden pembunuhan putra mahkota Austria-Hungaria Archduke (Adipati) Franz Ferdinand dan istrinya Sophie di Sarajevo, ibukota Bosnia menjadi pelecut.
Bosnia sebelumnya adalah bagian dari Kekaisaran Ottoman tapi dianeksasi oleh Austria-Hongaria pada tahun 1908. Kunjungan sang adipati untuk mengecek kesiapan tentaranya itu menjadi kontroversial.
Pembunuhnya, adalah Gavrilo Princip, seorang Serbia. Ia menembak pasangan kerajaan itu dari jarak dekat. Upayanya bukan yang pertama, sebelumnya gerakan anti-Slavia 'Black Hand' sudah berusaha melempar granat tangan ke iring-iringan Franz Ferdinand.
Pembunuhan tersebut berujung pada ultimatum Habsburg terhadap Kerajaan Serbia. Sejumlah aliansi yang dibentuk selama beberapa dasawarsa sebelumnya terguncang, sehingga dalam itungan minggu saja, semua kekuatan besar terlibat dalam perang. Dan melalui koloni mereka, konflik ini segera menyebar ke seluruh dunia.
Menjadi casus belli, pemicu sebuah perang dahsyat, yang menyebarkan malapetaka hingga penjuru Bumi. Dua aliansi besar, Entente Powers -- Inggris, Prancis, Serbia, dan Kekaisaran Rusia (selanjutnya Italia, Yunani, Portugis, Rumania, dan Amerika Serikat ikut bergabung) -- bertempur melawan Central Powers -- Jerman dan Austria-Hungaria (selanjutnya Turki Ottoman dan Bulgaria ikut bergabung).
Jutaan nyawa melayang. Sejarah dunia berubah, empat dinasti -- Habsburg, Romanov, Ottoman, dan Hohenzollern, yang memiliki akar kekuasaan sejak zaman Perang Salib, seluruhnya jatuh setelah perang. Tinggal nama.
Pembunuhan tersebut berujung pada ultimatum Habsburg terhadap Kerajaan Serbia. Sejumlah aliansi yang dibentuk selama beberapa dasawarsa sebelumnya terguncang, sehingga dalam hitungan minggu saja, semua kekuatan besar terlibat dalam perang. Dan melalui koloni mereka, konflik ini segera menyebar ke seluruh dunia.
Sementara, Perang Dunia II dipicu sejumlah kejadian yang terjadi pada tahun 1930-an.
Kala itu, dunia kembali ke ambang konflik: Perang Saudara Spanyol, Anschlus atau aneksasi Austria, penjajahan Sudetenland, dan invasi Cekoslowakia.
Dan, penyebab langsung Perang Dunia II adalah invasi Jerman atas Polandia pada 1 September 1939.
Dua hari setelah serangan Jerman ke Polandia, Inggris dan Prancis menyatakan perang terhadap Adolf Hitler, pemimpin Jerman kala itu.
Jerman juga menyerang Uni Soviet pada bulan Juni 1941. Sementara, di Asia Pasifik, Jepang membombardir Pangkalan Armada Angkatan Laut Amerika di Pearl Harbour, Hawaii, pada tanggal 7 Desember 1941.
Negeri Sakura juga menyerang Persemakmuran Filipina yang dikuasai oleh Amerika Serikat, serta Malaya, Singapura, dan Hong Kong yang dikuasai oleh Britania Raya. Amerika dan Inggris kemudian menyatakan perang terhadap Jepang.
Amerika Serikat terseret dalam perang di Eropa ketika pada tanggal 11 Desember 1941, Nazi Jerman dan Fasis Italia menyatakan perang terhadap AS. Hitler mengumumkan Pakta Tripartit mengharuskan Jerman mengikuti pernyataan perang Jepang.
Episode Perang Dunia II berakhir dengan cara mengerikan, ketika Hitler terpaksa bunuh diri di bunkernya ketika tentara Rusia menyerbu masuk Berlin. Tak berapa lama kemudian, bom atom Amerika Serikat dijatuhkan ke Hiroshima dan Nagasaki. Jutaan nyawa menjadi tumbal.
AS Mengalienasi Diri?
Persahabatan AS dan Prancis serta negara anggota NATO yang dibangun melalui dua perang dunia dan seterusnya kini tampak rentan di bawah kepemimpinan Donald Trump.
Padahal, AS membutuhkan sekutunya saat menghadapi China dalam perang dagang dan Iran -- atas kebijakan luar negeri dan nuklirnya.
Sebelumnya, Trump bersitegang dengan para sekutunya di Eropa, atas keputusan AS menarik diri dari perjanjian nuklir era Perang Dingin atau Intermediate-range Nuclear Forces (INF) Treaty dengan Rusia yang disepakati pada 1987 -- yang membuat Benua Biru bebas dari rudal nuklir selama lebih dari 30 tahun.
Keputusan itu juga menggarisbawahi meningkatnya kekhawatiran atas keandalan jaminan keamanan AS di bawah kepemimpinan Trump, dan komitmennya yang lebih luas terhadap tatanan internasional pascaperang -- di mana AS bertanggung jawab membangunnya dan telah mendapat manfaat dari itu, termasuk secara ekonomi.
Sementara itu, seperti dikutip dari Straits Times, keputusan Trump untuk tidak menghadiri forum Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) di Papua Nugini dan KTT Asia Timur di Singapura juga memicu kekhawatiran di antara para sekutunya di Asia.
Wakil Presiden AS Mike Pence akan hadir dalam dua pertemuan tersebut, menggantikan Trump.
Advertisement
'Bertempur' dengan Media
Tak hanya kebijakan 'America First' Donald Trump yang jadi target kritik. Perdana Menteri Kanada, Justin Trudeau juga menyinggung soal permusuhan sang miliarder dengan pers.
Trudeau mengatakan, serangan terhadap pers adalah bagian dari upaya politik untuk mempertahankan kekuasaan dan membungkam setiap kritik.
"Serangan terhadap media bukan hanya soal membuat kandidat yang kau dukung terpilih, misalnya, tapi juga meningkatkan level sinisme yang dimiliki warga terhadap semua otoritas, terhadap semua lembaga yang ada untuk melindungi kita sebagai warga negara," kata Trudeau dalam Paris Peace Forum, seperti dikutip dari media Kanada, Global News.
"Saat orang-orang merasa tak terlindungi oleh lembaga, mereka akan mencari jawaban yang mudah dalam populisme, dalam nasionalisme, dalam menutup perbatasan, dalam menutup perdagangan, dalam xenophobia."
Hubungan Donald Trump dan media memang tak mesra. Ia kerap menuduh pers memproduksi 'berita palsu' (fake news) bahkan 'musuh rakyat'.
Baru-baru ini, pada Rabu 7 November 2018, Donald Trump berselisih dengan jurnalis CNN Jim Acosta dalam sebuah konferensi pers di Gedung Putih.
Perselisihan itu bermula ketika Acosta mengajukan pertanyaan kepada Trump seputar rombongan imigran dari Amerika Tengah yang berjalan menuju ke AS untuk mencari suaka. Acosta bertanya mengapa Trump " mendefinisikan mereka sebagai penginvasi".
Trump tak suka dengan pertanyaan Acosta, menyebut bahwa dirinya "memiliki pandangan berbeda" soal isu tersebut. "Saya ingin mereka datang dengan legal, dengan dokumen resmi," jawab Trump.
Acosta terus melontarkan pertanyaan kepada Trump, hingga presiden AS itu kehilangan kesabaran dan mengatakan bahwa jurnalis CNN itu tak diperkenankan untuk bertanya lagi.
Tak lama kemudian seorang staf perempuan berusaha mengambil mikrofon yang dipegang Acosta. Namun, jurnalis itu bertahan dengan mendekap mikrofon itu ke tubuhnya.
"Sudah cukup, itu sudah cukup," kata Donald Trump kepada Acosta lalu menyuruhnya duduk dan meletakkan mikrofon.
"CNN seharusnya malu pada diri mereka sendiri, karena Anda bekerja untuk mereka. Caramu memperlakukan Sarah Huckabee (Sanders) mengerikan," kata Trump.
Sebagai ujung perselisihan Gedung Putih menangguhkan akses pers Acosta. Kantor kepresidenan memboikot jurnalis CNN itu untuk melakukan kegiatan pers di Gedung Putih.
Aksi pemboikotan akses Jim Acosta menuai kecaman dari sejumlah jurnalis.
Asosiasi Koresponden Gedung Putih -- sebuah kelompok yang mewakili korps pers di kediaman presiden -- menyebut keputusan itu "di luar batas" dan "tidak dapat diterima". "Kami mendesak Gedung Putih untuk segera mencabut larangan itu."
Trump Gelisah?
CNN, dalam kolom opini yang ditulis oleh jurnalis Inggris Jane Merrick, menggarisbawahi bahwa apa yang ditunjukkan oleh Trump dalam konferensi pers pekan lalu merupakan "sikap seorang perundung yang marah dan kehilangan kendali setelah mengalami kehilangan kekuasaan."
"Ketika Partai Demokrat mengambil alih dominasi di DPR (House of Representatives) dalam pemilu paruh waktu, Donald Trump merasakan sekilas tentang bagaimana rasanya kehilangan beberapa --meskipun hanya beberapa-- kekuasaan," kata Merrick seperti dikutip dari CNN, Senin (12/11/2018).
Partai Demokrat (yang beroposisi) berhasil mengambil alih kekuasaan DPR dengan mengalahkan Partai Republik (yang memerintah) setelah merebut kursi dominan dalam pemilu paruh waktu (mid-term election) pekan lalu. Kemenangan Demokrat di DPR diprediksi akan membuat runyam pemerintahan Trump di sisa dua tahun masa jabatan kepresidenannya.
DPR mungkin akan menggencarkan kembali penyelidikan Kemeterian Kehakiman AS atas dugaan skandal campur tangan Rusia dalam Pilpres AS 2016 --yang berujung pada kemenangan Trump-- dan beberapa isu lain, seperti pembatalan Obamacare, kebijakan Demokrat yang pro imigran, hingga prospek pemakzulan Donald Trump.
"Dan ketika para perundung berpikir mereka kehilangan kontrol, mereka menyerang dengan marah. Reaksi presiden merespons pertanyaan-pertanyaan sulit dari Jim Acosta dari CNN tentang kampanye Republik, dan retorika 'invasi'-nya adalah perilaku perundungan klasik: menyebut koresponden Gedung Putih sebagai "orang kasar, mengerikan" menunjukkan betapa terganggu Trump tentang hasil (pemilu paruh waktu)," lanjut Merrick.
Sementara itu, wartawan senior dan kepala jurnalis The New York Times untuk pos Gedung Putih, Peter Baker menilai bahwa tindakan Trump bukan sesuatu yang pernah ia lihat "selama bertugas meliput Gedung Putih".
"Presiden lain tidak takut menghadapi pertanyaan-pertanyaan sulit," kata Baker seperti dikutip dari CNN.
Jane Merrick dalam kolom opininya kepada CNN, juga mendesak agar jurnalis pos Gedung Putih balas memboikot kantor kepresidenan itu dengan menolak untuk menghadiri undangan agenda media --sebagai respons atas keputusan Gedung Putih memboikot Acosta.
"Keputusan Trump untuk mencabut izin Acosta ke Gedung Putih adalah kampanye yang sangat mengerikan untuk melawan kebebasan pers," kata Merrick.
Sementara itu, Ezra Klein dari Vox.com dalam sebuah kolom opininya untuk outlet media itu pada Oktober 2018 lalu menjelaskan, "Dengan mengabaikan pemberitaan soal Trump yang penuh kontroversi, media justru menempatkan diri mereka dalam posisi yang beroposisi."
"Meski dengan begitu, media harus kehilangan pembaca kepada outlet media lain yang terus berfokus menyebarkan provokasi dan aktivitas sosial media Trump."
Berbeda dengan Jane Merrick yang menunjukkan amarahnya kepada Trump dengan mendesak agar wartawan Gedung Putih membalas memboikot Trump sebagai respons atas perlakuan kantor itu kepada Acosta, kolumnis majalah ternama The New Yorker Masha Green justru berpendapat sebaliknya.
Dalam sebuah kolom untuk The New Yorker, Green membangun argumennya dengan mengatakan, "Alasan Jane Merrick memboikot Trump dan Gedung Putih mungkin ide yang bagus ... itu menunjukkan kepada mereka bahwa berita dan kisah yang sebenarnya --tentang berbagai kebijakan Trump tentang imigran hingga intervensi militer AS-- bukan di Washington DC, tapi di perbatasan AS-Meksiko, di Yaman, di Afghanistan, hingga di Palestina."
"Tapi," ujar Green memulai kontra-argumennya, "Berita tentang bagaimana fungsi-fungsi Pemerintahan AS masih harus diamati dari dekat. Pergi menjauh akan memberi Gedung Putih apa yang diinginkannya: lebih sedikit kontak dengan pers.
Acosta bukan satu-satunya jurnalis CNN yang dicekal oleh Gedung Putih era Trump. Pada Juli 2018, koresponden CNN Kaitlan Collins dicekal untuk menghadiri acara kepresidenan Amerika Serikat oleh Gedung Putih, setelah mengajukan pertanyaan soal Rusia dan dugaan skandal perselingkuhan kepada Presiden AS Donald Trump dalam sebuah agenda peliputan.
Collins diketahui melontarkan pertanyaan dalam kapasitasnya sebagai 'pool reporter' kepada Donald Trump dalam sebuah sesi peliputan foto (photo-spray), ketika sang presiden AS menerima kunjungan Presiden Komisi Eropa Jean-Claude Juncker di Gedung Putih, Rabu 25 Juli 2018.
Usai agenda tersebut, Collins mendapat pencekalan dari Gedung Putih, yang 'tak mengharapkan kehadirannya' untuk datang pada konferensi pers Trump-Juncker di Taman Mawar Gedung Putih.
Selama berkuasa, Trump dianggap telah berusaha untuk mendelegitimiasi seluruh pers dan media dengan terus mengkonstruksikan fakta kepada para pendukungnya bahwa dialah yang benar.
"Tetap bersama kami," kata Trump dalam sebuah pidato kampanye pra-pemilu paruh waktu 2018 Agustus lalu.
"Jangan percaya omong kosong yang Anda lihat dari orang-orang ini, para media berita palsu. . . . Apa yang Anda lihat dan apa yang Anda baca bukanlah apa yang sedang terjadi," ujarnya --menyerupai doktrin-doktrin otoritarianisme dalam buku fiksi-politik George Orwell "1984".
Uniknya, publik AS menelan mentah-mentah doktrin Trump. Meski tak semua.
Dengan segala ketegangan yang dibuat Trump kepada Media, jajak pendapat dari CBS News pada akhir Juli 2018 menunjukkan, "91 persen dari pendukung kuat presiden mengatakan mereka percaya Trump sebagai pemberi informasi yang akurat. Hanya 11 persen yang pecaya dengan media arus utama. Sementara, 63 persen mengatakan mereka mempercayai 'teman dan keluarga' mereka sendiri," demikian seperti dikutip dari BBC.
Ini menunjukkan, perang Trump dengan media telah berkontribusi pada basis dukungan yang, secara efektif, kebal --atau setidaknya abai-- terhadap berita negatif tentang sang presiden.
Publik tinggal menunggu, sejauh mana itu akan bertahan dan efektif hingga Pilpres AS 2022 mendatang --itupun jika Trump ingin kembali maju sebagai presiden untuk dua periode.